Ya, selain tidak relevan, jawaban seperti ini adalah gambaran nyata tentang rendahnya pengetahuan dalam melihat daya rusak pertambangan terhadap lingkungan. Mereka tak sadar bahwa alam adalah bagian dari tubuh manusia yang lain dalam perspektif kosmologi.
Mereka tak sadar bahwa ketika lingkungan di Luwuk dan Lingko Lolok tercemar, akan berdampak kepada desa-desa tetangga bahkan kabupaten tetangga, mengingat wilayah itu adalah perbukitan karst. Wilayah yang akan ditambang itu merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Flores. Keputusan ini telah ditetapkan dalam keputusan menteri lingkungan hidup dan kehutanan nomor sk.8/menlhk/setjen/pla.3/1/2018Â tentang penetapan wilayah ekoregion Indonesia.Â
Mereka juga tak berpikir jauh, bahwa ketika orang-orang Luwuk dan Lingko Lolok kehilangan lahan garapan usai tambang, maka akan berdampak pada kemiskinan yang kemudian melahirkan masalah sosial baru seperti pencurian, perampokan, buruh migran illegal, dll. Fakta ini sudah pernah terjadi di kampung tetangga dalam desa yang sama yakni di Sirise. Selain kehilangan lahan, petani di sana juga menderita penyakit ISPA akibat debu mangan yang dihirup dan mencemari mata air.
Saya tentu tak tega, cerita nyata tentang anak-anak tadi, akan terjadi di Manggarai Timur. Mengingat pertambangan sebagai investasi jangka pendek, jika sumber daya sudah dikeruk, perusahaan pergi, maka mereka kehilangan lahan garapan untuk bertahan hidup. Suatu saat, bukan tak mungkin cerita tentang anak-anak yang dilatih mencuri dan menipu serta harus mengais sisa makanan di dalam periuk akan terjadi di sana.
Tak hanya itu, masyarakat lingkar tambang juga akan kehilangan identitas budaya ya mereka. Selain menimbulkan perpecahan sosial akibat pro-kontra, situs-situs budaya terancam hilang. Masyarakat setempat menganut 5 filosofi budaya yang membentuk identitas mereka.  Filosofi itu terungkap dalam ungkapan "Gendang one lingkon peang (rumah adat dan kebun garapan), natas bate labar (halaman kampung untuk bermain/ruang publik), mbaru bate kaeng (rumah sebagai tempat tinggal),  wae bate teku (mata air kehidupan) dan compang (mezbah persembahan)." Kelima prinsip ini merupakan satu kesatuan yangutuh dan saling menopang. Jika satunya saja hilang, maka akan mempengaruhi siklus kehidupan orang Manggarai umumnya.
Kita tentu tidak mau tanah sebagai sumber peradaban dan kehidupan lenyap dimangsa perkakas tambang, batu-batu gamping menjadi batu-batu nisan, dan lubang galian tambang menjadi makam kehidupan.Â
CATATAN: Tulisan ini saya olah lagi dari tulisan yang sudah ditayang di laman VoxNtt.com