Mohon tunggu...
Irvan Fadhil
Irvan Fadhil Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Curhat Anak SMA Soal Beratnya Program Full Day School

28 Februari 2019   17:38 Diperbarui: 28 Februari 2019   17:39 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagaimana jadinya, jika program full day school dari Kementerian Pendidikan yang keren itu dikritisi oleh anak SMA? Nah lho, pihak terdampak akhirnya bicara.

Mulai tahun 2017 lalu, seluruh SMA se-DIY ikut-ikutan menerapkan full day school. Tepatnya saat semester kedua tahun pelajaran 2016/2017. Ini jelas berita yang baik sekaligus buruk. Baik untuk Kementerian Pendidikan, buruk untuk saya anak SMA.

Sebagai siswa yang suka libur tentu saya awalnya merasa sangat senang dengan penerapan full day school. Waktu libur menjadi makin banyak (Sabtu dan Minggu libur), otomatis waktu buat hangout bareng teman-teman juga makin banyak. Persetan dengan pulang sore! Sebelum full day school saya dan teman-teman juga selalu pulang sore kok. Ya, maklum kecintaan saya terhadap sekolah lebih besar daripada cinta saya terhadap rumah.

Awalnya saya merasa enjoy-enjoy aja dengan program full day school. Setiap Sabtu saya bisa main ke rumah temen dari pagi sampai pagi lagi. Atau bisa juga saya tidur dua hari berturut-turut tanpa mendapat gangguan.

Tapi lambat laun hal yang mencekam menghantui saya dan juga teman-teman saya. Kami mulai merasakan dampak membosankannya dari full day school. Bukan hanya satu atau dua, tapi banyak banget. Kenangan indah tentang tidur dua hari berturut turut hanya tinggal mimpi belaka. Realitas sesungguhnya jebul sangatlah creepy.

Setidaknya saya menemukan beberapa alasan mengapa full day school yang katanya membentuk karakter siswa teladan, beriman, dan berbudi pekerti yang baik hanya omong kosong belaka. Berikut beberapa alasannya.

Otak kami butuh istirahat juga lho, Bu, Pak.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, awalnya saya cuek dengan pulang sore setiap hari. Toh, sebelumnya saya juga selalu pulang sore. Tapi ternyata terdapat definisi berbeda antara pulang sore sebelum program full day school berlaku dengan saat full day school sudah diterapkan.

Sebelum full day school berlaku, pulang sore kami diisi kegiatan non akademik, macam ekstrakurikuler atau nongkrong (ya nongkrong kan juga nama kegiatan). Kami tidak merasa capek saat menjalankan kegiatan tersebut, malahan kami senang. Pikiran kami terasa plong, berjam-jam menghafal rumus-rumus lalu diakhiri dengan haha-hihi saat ekstrakurikuler atau nongkrong---beban hidup seperti hilang begitu saja.

Akan tetapi, saat full day school diterapkan, definisi pulang sore mengalami diferensiasi yang mahadasyat. Pulang sore kami diisi kegiatan belajar, belajar, dan belajar. Silakan bayangkan otak kami yang harus tetap segar menangkap materi dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore.

Jangankan sampai jam empat, lha wong jam sebelas siang saja saya dan beberapa teman sering keblabasan nggambar peta Indonesia di meja sekolah ketika pelajaran berlangsung. Atau saat istirahat kedua, kami menggelar tikar di belakang kelas lalu tidur barengan (santai, kami semua laki-laki kok).

Guru-guru jadi manja.

(Sebelumnya saya mau minta maaf dulu ini. Untuk poin kedua ini nggak semua guru kok, Pak Kepala Sekolah. Saya jangan diskors ya, Pak? Cuma sebagian guru saja---sebagian besar, hehehe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun