Mohon tunggu...
Irvando Damanik
Irvando Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Mari hidup Cerdas di era Industry 4.0

mari berbagi sekalipun hanya dari pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya dan Anda adalah Anak Indonesia, Kita hanya Dibedakan Agama dan Budaya

2 Desember 2018   11:21 Diperbarui: 2 Desember 2018   11:32 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: kataindonesia.com)

Indonesia merupakan negara yang besar serta unik di mata dunia dengan keberagaman kepercayaan yang dianut dan khususnya budaya yang melimpah-ruah dari sabang sampai merauke. Wayang Kulit, Keris, batik, gamelan, Angklung, Tari Saman adalah beberapa contoh budaya Indonesia yang mendunia dan sudah dikenal sampai seluruh daratan di Bumi ini.

Belasan ribu pulau yang terhampar dari timur ke barat tentunya memberikan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain yang tentunya memberikan warna tersendiri dalam keberagaman bangsa Indonesia.

Apakah seluruh budaya tersebut diperankan oleh individu-individu yang mempunyai kepercayaan (agama) yang sama? Jawabannya jelas tidak. Bangsa ini memiliki sejarah Panjang serta dalam perkembangannya tidak bisa lepas dari budaya yang terbentuk baik dari para leluhur maupun adanya pengaruh bangsa asing saat masuk ke beberapa pulau di Indonesia. Sehingga peradaban yang terjadi dibeberapa daerah memang menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia dalam hal budaya dan agama.

Kemudian jikalau kita mengakui adanya interfensi budaya dan agama sejak dulu dalam sejarah Panjang proses pembentukan bangsa ini, kenapa selalu harus mempermasalahkan agama dan budaya?.

Bangsa yang harusnya kaya akan keanekaragaman sumber daya manusia dilengkapi dengan identitas budaya yang melekat pada masing-masing individu ternyata harus di hadapkan kepada banyaknya gesekan yang terjadi dimulai dari kalangan masyarakat pada level terbawah hingga pada level pemegang kekuasaan dan bahkan sering sekali perbedaan identitas (budaya dan agama) ini diangkat untuk menjadi penentu nilai seseorang/kelompok dalam status sosial.

Perbedaan agama dan budaya akhir-akhir ini justru lebih digiring kepada hal yang negatif sehingga setiap kelompok pemeluk budaya dan agama menjadi sensitif antara kelompok satu dengan lainnya.

Komponen yang seharusnya digunakan dalam menciptakan suasana saling menghormati dan menghargai antara individu/kelompok yang berbeda justru berubah menjadi bahan "pertimbangan" dalam mengambil suatu keputusan penting di tengah-tengah bangsa kita saat ini yang justru merugikan kelompok budaya dan agama tertentu.

(Ilustrasi: yukepo.com)
(Ilustrasi: yukepo.com)
Semua tak sama, tak pernah sama
Apa yang kusentuh, apa yang kukecup
Sehangat pelukmu, selembut belaimu
Tak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu

(Semua Tak Sama : Piyu)

Ya, penggalan lirik lagu diatas memang begitulah adanya pembaca sekalian. Kita memang terlahir berbeda, tidak sama dan tak akan pernah sama. Saudara kembar sekalipun secara fisik terlihat sama tetapi pada kenyataannya mereka berbeda sifat, karakter, kegemaran bahkan keyakinanpun bisa berbeda. Lalu mengapa selalu mempermasalahkan perbedaan? Apakah perbedaan itu sesuatu yang salah dan membuat batu sandungan?

Tidak.. mereka yang tidak bisa menerima perbedaan adalah mereka yang miskin kreatifitas. Mereka yang tidak bisa mengembangkan pemikiran dan ide ketika diperhadapkan pada situasi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Padahal mereka tidak sadar mereka sudah berada "1 inci" dari keberhasilan yang luar biasa akibat adanya keberagaman, namun mereka memutuskan untuk tidak mencari alternatif lain dan berhenti pada titik tersebut. Mereka tidak mampu mengubah keberagaman yang ada didepan mata mereka sebagai sesuatu sumber kekuatan yang luar biasa dalam menjalankan rencana mereka.

Ibarat dalam suatu rantai makanan, kenapa ada Pagi dimakan tikus, kemudian tikus dimakan ular, ular dimakan elang, elang ditembak pemburu sehingga elang mati menjadi bangkai dan bangkai yang terurai kembali menjadi tanah yang menyuburkan tanaman. Itulah mengapa tidak hanya dibuat semua tikus, atau semua elang. 

Demikian juga halnya dengan keberadaan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ketika keberagaman itu tidak ada maka kita juga tidak akan merasa bahwa adanya saling menghormati dan menghargai, kita tidak akan ada semangat dengan apa yang kita percayai, kita juga tidak akan merasa bahwa kita memang berbeda dengan orang lain yang mana perbedaan itu ternyata suatu warna yang bisa menambah wawasan kita.

Justru seharusya perbedaan itulah yang membuat kita bisa menilai antara satu dengan yang lain, karena yang lain (yang bukan milik kita) menjadi pembeda dan pembanding dan kita bisa banyak belajar tentang arti perbedaan itu.

Kembali kepada kehidupan berbangsa kita akhir-akhir ini yang mana kita dihadapkan pada banyaknya isu yang mengangkat perbedaan khususnya di tahun-tahun politik ini baik melalui media sosial, elektronika, media massa dan medial lainnya. Bahkan akhir-akhir ini keberagaman di Indonesia sepertinya semakin sulit diterima didalam kehidupan berbangsa dan Bertanah air.

(Ilustrasi: kemenag.go.id)
(Ilustrasi: kemenag.go.id)
Kita pantas mengapresiasi inisiatif Kementerian Agama yang menyerap masukan-masukan dari tokoh-tokoh terkemuka dibidang agama dan budaya serta dihadiri oleh agamawan dan budayawan yang dilaksanakan di Jogjakarta pada awal Nopember 2018 yang lalu.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang hadir dan membuka secara langsung acara sarasehan tentang Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya tersebut, diharapkan dapat menjadi sosok yang mampu menjembatani seluruh masukan-masukan yang sudah disampaikan para perwakilan tokoh-tokoh yang hadir pada kesempatan tersebut.

Abdullah Muhaimin, Acep Zamzam Noor, Agus Sunyoto, Agus Noor, Alissa Wahid, Aloyisius Budi Purnomo, Bhante Sri Pannavaro, Fatin Hamama, Jamhari, John Titaley, M Amin Abdullah, M Jadul Maula, Nasirun, Pandita Mpu Jaya Prema, Purwosantoso, Radhar Panca Dahana, Ridwan Saidi, Sudjiwo Agus Hadi (Sudjiwo Tedjo), Wahyu Muryadi, Wisnu Bawa Tenaya, Zakiyuddin Baidlawi merupakan nama-nama yang turut hadir dalam acara tersebut.

Ringkasan Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan yang merupakan hasil dari acara Sarasehan tersebut patut diapresiasi karena mengangkat beberapa poin penting diantaranya:

  • Memahami arti keberagaman sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain
  • Penghayatan tentang keagamaan
  • Pendidikan formal dan Non-Formal
  • Sikap dan perilaku sebagai pribadi, kelompok, golongan dan Bangsa
  • Memaksimalkan fungsi Negara untuk semua aspek hingga pengawasan
  • Mendorong praktik kehidupan beragama untuk melahirkan iman yang membuahkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.

(kemenag.go.id)

Poin-poin penting yang dihasilkan dalam sarasehan itu hanyalah perwakilan dari banyaknya hal kecil yang harus kita perhatikan bersama dalam hal hidup dalam keberagaman beragama dan berbudaya ini.

Intinya adalah mari saling menahan diri untuk memberikan ruang kepada siapa saja yang memang pantas untuk maju kedepan. Semua sama dan mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 27 UUD'45.

Kita kembali merenungkan nilai-nilai budaya dan agama yang kita diyakini yang mana akan menggiring persepsi kita kepada cita-cita mulia dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian dalam berbangsa dan bertanah air. Kepercayaan dan kebudayaan saya dan anda bisa berbeda tetapi ketika kita memang memahami arti mulia dari kepercayaan dan kebudayaan itu maka semuanya akan menegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun