Mohon tunggu...
Irvando Damanik
Irvando Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Mari hidup Cerdas di era Industry 4.0

mari berbagi sekalipun hanya dari pikiran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Energi Itu Datang dari Matahari, Lalu Mengapa Kita (Terus) Menggali Bumi?

29 Agustus 2017   15:39 Diperbarui: 29 Agustus 2017   16:17 2855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: halofisika.blogspot.com

Energi Baru Terbarukan (EBT) akan menjadi pembahasan yang sangat menarik sampai puluhan tahun kedepan. Betapa tidak, hingga saat ini terdapat banyak kendala tentang kemampuan sumber daya alam untuk menyuplai energi yang dibutuhkan. Bahkan saat ini sumber daya alam tersebut mulai terbatas dan menipis seiring waktu berjalan. Hal tersebut terjadi diseluruh belahan dunia dan termasuk juga dengan kita di Indonesia yang saat ini masih bergelut dengan keterbatasan energi listrik yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Bahkan dibeberapa wilayah di Indonesia sudah dilakukan pemadaman bergilir apabila strategi brownout (penurunan level tegangan) sudah tidak memadai.

Hal ini sangat disayangkan sampai terjadi, dimana keterbatasan sumber energi listrik menjadi masalah disaat substitusi sumber energi listriknya belum sepenuhnya dikembangkan ataupun dimanfaatkan dengan maksimal. Saat ini kita sudah mengenal luas dengan energi baru terbarukan yaitu yang bersumber dari alam seperti: Surya, Panas bumi, angin, air, biomassa, biogass, dan lain sebagainya. Menurut "Engineer Weekly" yang diterbitkan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih pada angka 19,1% pada tahun 2013 sementara dari Bahan Bakar Fosil (BBF) sebesar 78,3% dan 2,6% sisanya adalah dari Energi Nuklir. Perbandingannya dapat kita lihat pada bagan Berikut ini:

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dari data diatas terlihat begitu minimnya kontribusi dari Energi Baru Terbarukan terhadap total Konsumsi Energi di Dunia. Dari 19,1% Energi terbarukan tersebut terdiri dari PLTA 3,9%,  Biomassa Tradisional 9%, EBT Modern 10,1% , Enegri Panas terbarukan 4,1% dan 1,3% itu merupakan dari Energi Panas Bumi, Surya dan Angin.

Kemudian di Indonesia sendiri, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) masih belum maksimal. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan sumber energi per 2015 masih dikuasai oleh energi fosil. Perinciannya, sumber energi minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyarakat Indonesia dengan mencapai 43%. Diikuti energi batubara sebesar28 % dan gas bumi 22 %. Sedangkan penggunaan EBT baru mencapai 6,2 %.

Statistik diatas sangat menarik, dimana persentasi penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sangat minim bahkan tidak sampai 1%. Hal ini semakin menjadi perhatian dikarenakan Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp.

Sementara jelas kita ketahui bahwa matahari merupakan salah satu sumber energi alternatif yang diperkirakan dapat dimanfaatkan sampai miliaran tahun ke depan (tidak ada habisnya). Secara umum ada dua cara yang digunakan untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Cara pertama adalah menggunakan energi panas yang dipancarkan oleh matahari. Cara kedua adalah dengan memanfaatkan energi yang dibawa oleh cahaya matahari, melalui partikel foton.

Energi panas matahari dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan sistem energi matahari terkonsentrasi atau concentrated solar power system (CSP system). Dalam sistem ini, panas dari matahari dikonsentrasikan untuk memanaskan air atau fluida lain yang nantinya akan menghasilkan uap dan digunakan untuk memutar turbin sehingga menghasilkan listrik.

Untuk menghasilkan listrik dengan foton, dibutuhkan perangkat khusus berupa sel fotovoltaik / photovoltaic(PV), atau yang lebih dikenal dengan nama sel surya. Sel fotovoltaik terbuat dari semikonduktor yang memiliki sambungan p-n. Sel fotovoltaik yang terkena sinar matahari akan melepaskan elektron yang nantinya akan menjadi arus listrik. Untuk dapat menghasilkan arus listrik, foton harus memiliki energi yang lebih tinggi daripada pita energi (band gap) material pembentuk sel fotovoltaik tersebut. Band gap adalah jumlah energi minimal yang diperlukan elektron pada suatu material untuk dapat tereksitasi.

Mengingat permasalahan energi dunia saat ini, pengolahan sumber energi dengan efisiensi tinggi menjadi sangat diperhitungkan. Namun diantara begitu besarnya potensi dari penggunaan matahari ini sebagai sumber energi masalah yang paling mendasar dihadapi saat ini adalah efisiensi matahari yang dapat dikonversikan. Material paling umum digunakan pada sel fotovoltaik terbuat dari bahan silikon dan memiliki satu sambungan p-n hanya dapat menghasilkan listrik dengan efisiensi maksimum sebesar 31%. Angka efisiensi ini masih sangat rendah untuk ukuran konversi energi. Hal ini dikarenakan sebagian besar cahaya matahari yang mengenai sel fotovoltaik memiliki energi lebih rendah daripada band gap sehingga tidak dapat diubah menjadi listrik. Faktor lain yang mengurangi efisiensi dari sel fotovoltaik tipe ini adalah cahaya matahari dengan energi yang lebih tinggi daripada band gap mengubah kelebihan energinya menjadi radiasi panas, bukan listrik.

Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi dari sel fotovoltaik. Salah satunya adalah dengan menggunakan beberapa sel yang memiliki band gap yang berbeda secara bersamaan sehingga bisa menyerap seluruh energi dari cahaya matahari baik yang memiliki energi rendah maupun tinggi. Cara berikutnya adalah dengan menggunakan sistem sel termofotovoltaik / thermophotovoltaics (TPV).  Bahkan saat ini sudah banyak metode yang dikembangkan para peneliti dengan metode Maximum Power Point Tracking (MPPT) untuk lebih memaksimalkan efisiensi sel surya tersebut.

Namun masalah yang masih dihadapi sampai saat ini adalah belum ditemukannya material yang mampu mengkonversikan energi matahari kedalam energi listrik yang mencapai 60% atau lebihnya. Untuk implementasi dilapangan saat ini, kebanyakan jenis semikonduktor yang digunakan pada sel surya, efisiensinya masih mencapai 15-20%.Sedangkan pada skala Laboratorium sudah mencapai 60-70%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun