Dulu, punya wajah menarik dan usia muda bisa jadi tiket emas buat masuk dunia kerja. Banyak lowongan kerja terang-terangan nyantumin batas usia maksimal, bahkan nggak jarang menyelipkan "berpenampilan menarik" sebagai syarat. Lucunya, syarat ini sering banget dijadikan penentu awal sebelum CV dibaca lebih jauh. Mau jagoan sedetail apa pun portofolio kamu, kalau dinilai "nggak cocok di depan kamera" atau "kurang segar dilihat klien," siap-siap tereliminasi diam-diam.
Tapi sekarang, angin mulai berubah. Makin banyak perusahaan yang (katanya) mulai sadar pentingnya inklusivitas, dan mulai menghapus batasan umur serta syarat penampilan. Di satu sisi, ini bikin dunia kerja terasa lebih adil. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan baru: selama ini, orang-orang yang "diterima karena cakep dan muda," itu sebenarnya kerja karena apa? Dan sekarang, kalau bukan karena itu, lantas kompetensi kerja ada di posisi mana?
Nggak sedikit orang yang dulu diterima kerja karena memenuhi "selera visual" perusahaan. Entah sebagai frontliner, sales, atau bahkan konten kreator, penampilan sering dijadikan tolak ukur utama. Saking kuatnya pengaruh ini, banyak yang merasa harus tampil glowing dulu baru berani apply. Padahal kalau dipikir-pikir, cantik atau ganteng nggak pernah jadi pelatihan wajib di training kerja, kan?
Fenomena ini nggak hanya berlaku di industri hiburan atau hospitality aja. Bahkan di sektor formal seperti perbankan atau admin kantor, kriteria good looking sering disisipkan secara halus. Lalu soal umur? Banyak yang mentok di usia 25 atau 30, kayak dunia kerja cuma buat yang fresh dan muda. Alhasil, mereka yang mungkin baru punya kesempatan belajar atau pindah karier di usia lebih dewasa jadi tersisih, bukan karena nggak mampu, tapi karena kalah start dari segi umur dan visual.
Selama ini, kompetensi kerja sering jadi "tokoh pendukung" dalam cerita pencarian kerja. Padahal idealnya, dialah pemeran utama. Banyak orang yang punya skill luar biasa entah itu di bidang analisis data, komunikasi, desain, atau hal teknis lainnya tapi harus kalah duluan gara-gara "belum masuk kriteria umur ideal" atau "kurang representatif". Iya, kompetensi bisa dipoles, tapi kalau nggak dikasih panggung buat unjuk gigi, ya nggak akan kelihatan juga.
Sekarang, saat aturan tentang umur dan penampilan mulai dipangkas, harapannya kompetensi bisa lebih punya ruang untuk bicara. Tapi pertanyaannya: apakah perusahaan benar-benar siap melihat kualitas di balik CV tanpa foto? Apakah HRD bisa lebih jeli menilai soft skill dan problem solving daripada sekadar look yang "cocok kamera"? Karena meskipun regulasi berubah, bias bawah sadar di dunia kerja kadang masih nyangkut juga.
Selama ini, banyak talenta hebat yang "gagal tampil" hanya karena CV-nya tidak dilengkapi usia muda atau wajah menarik. Padahal, di balik batasan umur dan wajah yang dianggap menjual, ada orang-orang dengan kompetensi matang, daya tahan tinggi, dan pengalaman hidup yang membentuk profesionalisme sejati. Sayangnya, sistem kerja baik korporat maupun instansi publik masih lama berkutat di permukaan.
Peluang kerja seolah jadi panggung estetika, bukan arena produktivitas. Maka ketika aturan mulai digeser, ini bukan cuma perubahan administratif, tapi pergeseran nilai. Dunia kerja ditantang untuk mulai benar-benar melihat orang dari kualitas pikirannya, ketepatan kerjanya, dan kejujuran etikanya. Profesionalisme yang selama ini tertunda, kini punya ruang untuk unjuk gigi.
Perubahan aturan soal syarat usia dan penampilan di dunia kerja seharusnya jadi titik balik. Bukan cuma soal memberikan kesempatan yang lebih adil, tapi juga soal membangun budaya kerja yang benar-benar fokus pada kualitas. Kompetensi, pengalaman, dan semangat belajar semestinya punya bobot lebih berat daripada sekadar usia di KTP atau penampilan di foto lamaran.
Bagi generasi pencari kerja, ini momen buat tetap percaya diri. Jangan minder kalau belum "glowing" atau bukan fresh graduate. Perkuat skill, terus upgrade diri, buat CV yang menarik, perbanyak portofolio dan yakini bahwa yang sedang diincar bukan lagi siapa yang paling muda dan menarik, tapi siapa yang paling mampu bekerja cerdas dan kolaboratif.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI