Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejawat Apoteker, Berkacalah sebelum Menuntut

20 September 2016   21:56 Diperbarui: 21 September 2016   06:20 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source: www.scozzarolaw.com

Sebenarnya topik ini pernah dibahas beberapa waktu yang lalu. Saya pikir issue ini tidak jadi direalisasikan. Namun ketika siang ini mendapatkan pesan terusan dari salah seorang rekan sejawat apoteker, hal yang terlintas dalam pikiran saya adalah, "Wah, jadi juga nih SK diterbitkan".

Dan tak lama kemudian, berkat bantuan media sosial didukung jaringan internet yang kencang, tersebarlah berita tentang SK (Surat Keputusan) ini kemana-mana. Ketika melihat dan membaca secara lengkap isi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) ini, hal yang terlintas di benak saya adalah, betapa naifnya kita sebagai penyandang profesi apoteker. Menuntut imbal jasa sedemikian rupa, tanpa menyadari kontribusi apa yang sudah kita berikan kepada masyarakat.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dalam SKB yang dikeluarkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Pengurus Daerah DKI Jakarta, disebutkan bahwa jasa pokok profesi untuk apoteker yang bekerja di apotek dan klinik adalah Rp. 3.500.000, sementara yang bekerja di Pedagang Besar Farmasi (PBF) / Rumah Sakit / Industri adalah Rp. 7.000.000, ditambah dengan uang transport, uang makan, tunjangan profesi dan bonus tahunan. Saya sendiri sebagai karyawan di salah satu PBF Jakarta, melihat angka ini cukup fantastis ya. 

Karena faktanya, saat ini jarang sekali perusahaan yang memberikan upah karyawan apotekernya sebesar itu kecuali memiliki jabatan khusus di perusahaan. Untuk lebih lengkapnya isi SKB ini dapat dilihat pada link berikut

Yang menjadi pertanyaan saya sekarang adalah:

1. Apakah sebuah organisasi profesi berhak menentukan besaran upah profesi yang dinaunginya? Karena setahu saya, besaran upah karyawan ditentukan oleh Kemenakertrans melalui standar upah minimum / UMR yang disesuaikan dengan masing-masing wilayah provinsi / kabupaten, dengan pertimbangan tingkat ekonomi dan kebutuhan hidup di wilayah tersebut. Selanjutnya, upah yang diberikan perusahaan adalah hasil negosiasi antara calon karyawan dan perusahaan. Tentunya karena setiap perusahaan mempunyai standar upah masing-masing.

2. Ketika kita menuntut perusahaan untuk memberikan upah sebesar itu, nilai jual apa yang bisa kita berikan kepada perusahaan, sehingga perusahaan merasa pantas mengabulkan permintaan kita? Karena faktanya, tidak semua apoteker memiliki kualitas yang sama. Bagaimana dengan apoteker yang masih belum berpengalaman alias fresh graduate, kira-kira apakah perusahaan mau memberikan upah awal sebesar itu?

3. Pada akhir SKB, dinyatakan bahwa kenaikan jasa pokok profesi tahunan minimal 10%. Apakah nilai ini bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan hasil kinerja tahunan karyawan? Karena faktanya, nilai 10% untuk kenaikan gaji sudah bisa dibilang sangat besar.

4. Setelah IAI PD DKI Jakarta ini menerbitkan SKB ini, apa langkah yang akan diambil selanjutnya? Karena tentu kita tidak bisa hanya memegang SKB ini sebagai dasar "meminta" upah kepada perusahaan tempat kita bekerja, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup. Sebab seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, perusahaan memberikan upah karyawan berdasarkan standar UMR masing-masing provinsi.

Saya bukannya tidak mendukung organisasi profesi dalam usahanya membantu peningkatan taraf hidup profesi apoteker yang dinaunginya. Ketika kita hendak menuntut hak, alangkah baiknya kita lebih dulu melaksanakan kewajiban dengan baik dan benar, serta memberikan kontribusi berarti. Jika kita asal menuntut seperti ini, yang ada kita akan ditertawakan oleh pemberi kerja dan organisasi profesi tenaga kesehatan lain.

Bagaimana jika nanti kita dibandingkan dengan organisasi profesi lain? IDI misalnya. Sampai sekarang saja, masih banyak dokter yang rela bekerja di berbagai sudut pedalaman Indonesia dengan standar gaji yang rendah, atau mungkin bahkan menerima gaji tiga bulan sekali. Memang kita semua butuh uang untuk bertahan hidup. Namun, bukan tidak mungkin nantinya tuntutan ini malah akan "membelokkan" sumpah profesi yang tadinya untuk melayani masyarakat, menjadi money oriented, karena kita terlalu fokus pada berapa imbalan yang kita dapat, bukan apa yang bisa kita berikan. Kalau sudah seperti itu, ujung-ujungnya image apoteker yang kini timbul tenggelam, akan tenggelam betulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun