Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita dari Holyland Bagian 1 (Mesir): Serunya Naik Unta di Gunung Sinai

5 Mei 2017   16:54 Diperbarui: 5 Mei 2017   19:14 3485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks Piramida Cheops di Giza (DokPri)

Minggu lalu, saya mendapatkan kesempatan yang sangat luar biasa dalam hidup saya (setidaknya sejauh ini), yakni menginjak Holyland yang telah menjadi mimpi saya sekian lama.

Yap, Holyland atau Tanah Suci yang dimaksud adalah Mesir dan Israel (sama seperti halnya Mekkah bagi umat Muslim sedunia), dimana peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam Alkitab terjadi di tempat-tempat ini.

Dari sekian banyak tempat yang saya datangi, ada dua tempat yang menurut saya paling berkesan. Pertama untuk negara Mesir, selain Piramida Cheops, yaitu Mount of Sinai di St. Catherine. Mount of Sinai atau Gunung Sinai merupakan salah satu tempat wisata religius yang sangat terkenal. Karena letaknya yang cukup jauh dari Kairo, ibukota Mesir, biasanya wisatawan yang sebelumnya berwisata di Kairo, harus berangkat pagi-pagi supaya sampai di sana tidak terlalu malam.

Rangkaian Gunung Sinai (DokPri)
Rangkaian Gunung Sinai (DokPri)
Sepanjang perjalanan, pemandangan yang terlihat tak lain dan tak bukan hanyalah padang gurun yang panas. Selain itu kita juga harus melewati beberapa Checkpoint (semacam pos penjagaan), di mana di setiap Checkpoint ada tentara yang bertugas untuk memeriksa kelengkapan administrasi orang-orang dan kendaraan yang akan lewat. Pemerintah tidak mau mengambil resiko dengan masuknya kaum-kaum radikal yang bisa berpotensi merusak keamanan negara. Oleh sebab itu, Checkpoint merupakan hal yang lumrah ditemui di beberapa lokasi Mesir. Hal yang perlu diperhatikan ketika melewati Checkpoint adalah, persiapkan paspor dan jangan mengambil foto!

Para wisatawan atau peziarah yang datang ke St. Catherine biasanya memiliki misi khusus, yakni mendaki Gunung Sinai, sebagai bagian dari napak tilas Nabi Musa saat menerima kesepuluh Perintah Allah (10 Commandements). Di sini, peziarah akan diberi pilihan untuk naik pada pukul 20.00 atau pukul 23.00 waktu setempat. Pendakian tidak dilakukan siang hari, dengan pertimbangan suhu di sana akan terasa panas saat siang hari, terutama saat musim panas tiba. Pendakian ini juga bersifat optional, sehingga peziarah yang merasa tidak kuat (atau memiliki penyakit tertentu seperti jantung, asma dan lainnya) boleh tinggal di hotel.

Pemandangan sore hari di sekitar St. Catherine (DokPri)
Pemandangan sore hari di sekitar St. Catherine (DokPri)
Rombongan saya akhirnya memilih waktu pendakian pertama, yakni pukul 20.00. Usai makan malam, kami bersiap dengan beberapa peralatan standar seperti jaket wind breaker (karena angin di atas sana cukup kencang, sebagai salah satu ciri iklim gurun di mana malam hari terasa sangat dingin sementara siang hari terasa sangat panas), air minum, sepatu yang nyaman, tongkat pendakian dan senter.

Jarak lokasi pendakian dari hotel hanya sekitar lima belas menit. Dan setelah melalui pos pemeriksaan yang juga dijaga oleh tentara (Pos A), kami mulai berjalan melewati Biara St. Catherine menuju Pos B. Kontur jalan menuju Pos B masih boleh terbilang mudah karena landai. Perlu diketahui, kontur Gunung Sinai tidak seperti gunung-gunung di Indonesia yang memiliki tanah yang lembab dan tumbuh-tumbuhan tropis, melainkan seratus persen bebatuan dan pasir tanpa ada pepohonan. Khas padang-padang pasir gitu deh. Dari Pos B menuju Pos C, jalan mulai mendaki dan berkelok-kelok dengan waktu tempuh sekitar 1- 1.5 jam. Oleh sebab itu peziarah boleh memilih jalan kaki atau naik unta (tentunya ada tarif terpisah, yakni sekitar 30 USD). Dan karena rombongan saya termasuk rombongan yang cukup kepo, maka kami memilih naik unta (maklum, kepingin tahu rasanya naik unta sambil mendaki gunung di malam hari).

Unta-unta di Gunung Sinai (DokPri)
Unta-unta di Gunung Sinai (DokPri)
Lalu bagaimana rasanya? RUARRR BIASA... SAKITNYA! Maklum, tidak seperti unta-unta elit di kebun binatang atau taman safari, unta-unta di sana hanya dilengkapi peralatan sederhana. Hanya pelana dengan selapis karpet, tanpa pijakan kaki, pegangan apalagi tali kekang. Bisa terbayang ngerinya? Duduk di punggung unta setinggi itu tanpa pegangan / pijakan apapun. Kalau saya tidak konsentrasi penuh menjaga keseimbangan, pasti muka saya sudah menyentuh batu saat unta itu berdiri. Itu baru naiknya. Kebetulan, saat turun dari Pos C ke Pos B rombongan saya juga memilih naik unta. Dengan sangat terpaksa, saya kembali ikut. Dan rasanya lebih mengerikan! Saya baru tahu kalau unta tidak bisa berjalan saat menuruni tangga. Lalu bagaimana dong? Yap,si  unta harus lompat! Oh my God! Dan berhubung di beberapa lokasi jalannya terdiri dari tangga batu, maka jadilah Gunung Sinai yang gelap itu dipenuhi jeritan-jeritan para peserta yang ketakutan sambil menahan sakit, saat unta-unta itu mengambil kuda-kuda untuk lompat. Dan karena saya tidak kuat, akhirnya di tengah jalan saya memilih turun dan berjalan kaki. Sesampainya di bawah hari sudah terang, saya melihat rombongan saya hanya bisa berdiri terdiam dengan posisi kaki yang aneh karena kaku. Beberapa teman ingin  mengambil foto, tapi saya tidak mau ikut karena saya yakin tampang saya sudah kacau balau. Ck!

Tentunya, insiden unta bukan satu-satunya yang saya alami di atas sana. Dari Pos C, dengan ditemani seorang guide lokal bernama Sulaiman, saya masih harus menaiki tangga berbatu menuju puncak sekitar 1.5 jam. Semakin ke atas, tempat itu semakin benar-benar sunyi. Tidak terdengar apapun selain suara nafas kami yang megap-megap karena kekurangan oksigen dan semilir angin dingin yang kadang berhembus melewati lembah-lembah. Di sana juga sangat gelap karena tidak ada cahaya lain selain senter kami. Bintang-bintang di atas kepala terasa begitu dekat. Bahkan untuk pertama kalinya, saya melihat bintang jatuh dan Milky Way dengan jelas! Ini merupakan pengalaman sangat langka bagi saya. Di puncak, kami melihat sebuah gereja yang sudah tidak dipakai dan gua yang dipercaya sebagai tempat Nabi Musa beristirahat. Maka kamipun beristirahat sejenak dan merenung, sebelum kembali ke Pos C.

Setelah dipikir-pikir, nyatanya saya seperti Bangsa Israel pada zaman itu yang terus-menerus mengeluh selama dibimbing Musa menuju Tanah Perjanjian, hingga perjalanan terasa begitu lama.

Bersambung...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun