Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Masih Ada Obat Keras yang Dijual Tanpa Resep Dokter?

2 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 29 Maret 2022   10:47 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kendal via unsplash.com

Harga yang dikenakan pada pelayanan resep dan racikan bisa jadi lebih mahal dari penjualan Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA), Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Suplemen Kesehatan, Obat Tradisional, dan alat kesehatan. Tapi masalahnya jika jumlah pelanggannya tidak sesuai target, tentu balik modalnya berat bukan?

Apalagi pembelian Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Suplemen Kesehatan, dan Obat Tradisional bisa kita lakukan juga di toko obat dan toko retail seperti minimarket dan supermarket yang jumlahnya lebih menjamur dari apotek. Tentu apotek harus bersaing dengan ketat, bukan?

Secara perizinan, persyaratan pendirian toko obat boleh dibilang sedikit lebih ringan. Salah satunya tidak mewajibkan Apoteker sebagai penanggung jawabnya. Tenaga Teknis Kefarmasian boleh menjadi penanggung jawab teknis karena toko obat tidak diperbolehkan menjual obat keras dan melayani resep dokter.

Tapi kenapa tetap saja masih ada toko obat yang menjual obat keras? Ya balik lagi ke masalah profit tadi.

Dengan segala keterbatasan, pemilik toko obat juga harus memutar otak supaya bisnisnya dapat berjalan. Salah satunya dengan menyediakan komoditi consumer good lainnya. 

Mulai dari susu, kosmetik, toiletries, dan lainnya. Nah, tidak sedikit juga yang nakal dengan menjual obat keras, walaupun mungkin yang dijual tidak sampai golongan '3 Diva' alias NPP (Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor).

2. Akses untuk Memperoleh Obat di Daerah 3T

Meskipun saat ini teknologi sudah berkembang pesat dan fasilitas pelayanan kefarmasian sudah sudah banyak bertambah, tidak bisa disangkal bahwa akses masyarakat terhadap ketersediaan obat dan fasilitas pelayanan kesehatan masih terbatas terutama di daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar).

Dulu waktu saya ikut ke kampung orangtua di Onan Runggu (salah satu kecamatan di Pulau Samosir), kebetulan ada salah seorang sanak saudara yang sudah beberapa hari sakit batuk dan demam.

Tidak ada klinik. Jarak puskesmas terdekat pun cukup jauh. Satu-satunya tenaga kesehatan yang ada di sana hanya satu orang bidan dan kebetulan si bidan sedang pergi ke desa lain. Si pasien sudah minum obat batuk, namun tidak juga sembuh.

Maksud hati mau dibawa ke dokter, tapi kondisi pasien juga sudah lemas karena batuk terus-menerus dan tidak nafsu makan. Kalaupun dibawa ke dokter, tentu agak menyulitkan karena kendaraan yang ada hanya sebuah sepeda motor tua dan rumah sakit terdekat ada di Pangururan yang jaraknya sekitar 50an km.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun