Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dextromethorphan, Obat Batuk yang Sering Disalahgunakan untuk Timbulkan Efek Halusinasi

18 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 23 April 2021   17:53 13585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi obat batuk Dextromethorphan (Sumber: mediskus.com)

Suatu hari salah seorang teman saya berkata seperti ini setelah membaca salah satu berita online. "Eh, gue bingung deh. Kok ada ya orang yang bisa beli obat batuk banyak-banyak buat dapet efek nge-fly? Emang bisa ya obat batuk bikin orang kayak makan narkoba? Kalo kayak gitu harusnya tuh obat gak boleh sembarangan dijual dong."

Sebagai informasi, memang benar bahwa ada obat batuk yang jika digunakan dengan salah dan berlebihan (drug abusing), bisa menimbulkan efek nge-fly layaknya narkoba. Namanya Dekstrometorfan (Dextromethorphan). 

Kalau Kompasianer beli obat batuk, coba sesekali perhatikan komposisinya, apakah ada zat aktif tersebut? Meski begitu, ada atau tidaknya komposisi tersebut tidak jadi masalah jika digunakan sesuai peruntukkan. Namun akan jadi masalah jika obat tersebut disalahgunakan.

Dekstrometorfan (DMP) pada dasarnya termasuk dalam golongan antitusif (menekan batuk) untuk mengobati batuk kering yang tidak produktif (tidak menghasilkan dahak). DMP bekerja pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dengan berikatan pada reseptor sigma-1 yang ada pada medula dan terlibat dalam pengaturan refleks batuk.

Selain itu, DMP juga bersifat sebagai antagonis reseptor NDMA (N-Methyl D-Aspartate) yang ada dalam SSP, sehingga pada dosis tinggi efeknya akan menyerupai Ketamin yang juga merupakan antagonis NDMA. Antagonis terhadap NDMA dapat menimbulkan efek euforia dan halusinasi. Itulah sebabnya obat batuk tersebut berpotensi sering disalahgunakan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Dan oleh sebab banyaknya kasus penyalahgunaan DMP ini, akhirnya BPOM memperbaharui regulasi tentang DMP Agustus 2018 lalu. Dalam Peraturan BPOM nomor 28 tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan.

DMP akhirnya resmi masuk dalam golongan OOT (Obat-Obat Tertentu) bersama lima obat lainnya yang sudah masuk lebih dulu yakni Tramadol, Triheksifenidil, Klorpromazin, Amitriptilin, dan Haloperidol.

Obat-Obat Tertentu menurut Peraturan BPOM tersebut adalah obat yang bekerja di sistem susunan saraf pusat selain Narkotika dan Psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Berikut mengapa kelima obat tersebut di atas masuk dalam kategori OOT yang sering disalahgunakan:

Tramadol

Sejatinya Tramadol adalah golongan analgesik (penghilang rasa sakit/painkiller) opioid yang bersifat strong opioid (analgesik kuat). Tramadol biasanya digunakan sebagai analgesik untuk mengatasi nyeri sedang hingga hebat, misalnya nyeri pasca-operasi. Penggunaan berlebihan dapat menimbulkan efek mengantuk, mabuk hingga hipotensi dan depresi nafas.

Triheksifenidil

Obat ini bekerja pada SSP dan biasanya digunakan untuk mengobati penderita parkinsonisme.

Klorpromazindan Haloperidol

Kedua jenis obat ini juga bekerja pada SSP dan biasanya digunakan sebagai Antipsikotik untuk mengobati Skizofrenia dan Autisme pada anak.

Amitriptilin

Obat ini bekerja pada SSP sebagai antidepresan dengan efek penenang.

Keempat obat yang bekerja pada SSP seperti yang disebut di atas akan menimbulkan efek penenang tanpa mempengaruhi kesadaran jika digunakan sesuai dosis. Penggunaan berlebih (penyalahgunaan) baik dosis maupun frekuensi, akan menimbulkan efek fly dan berpotensi adiktif (ketagihan).

Regulasi Peredaran

Meski OOT dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan bahkan beresiko kematian, obat-obat tersebut bukan berarti membuat regulasi peredarannya super ketat layaknya obat-obat golongan narkotik-psikotropik lainnya karena memang dibutuhkan untuk pengobatan. 

Baik importasi maupun distribusinya (bahan baku maupun obat jadi) tetap sesuai peraturan obat keras yang berlaku. Misalnya untuk importasi tetap memerlukan Surat Keterangan Impor (SKI) dan distribusi obat jadinya tetap memerlukan resep dokter atau salinan resep seperti obat keras lainnya (kecuali DMP), seperti yang tercantum dalam PBPOM No. 28 tahun 2018.

Namun demikian tetap diperlukan pengawasan ketat dari farmasis yang bertanggung jawab mengeluarkan obat-obat tersebut baik di apotek maupun di rumah sakit. Skrining resep dan rekam medik pasien dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengeluaran obat-obat tersebut.

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan BPOM ini akan dikenai sanksi administratif berupa:

1. Peringatan

2. Peringatan Keras

3. Penghentian sementara kegiatan

4. Pembatalan persetujuan izin edar

5. Rekomendasi pencabutan pengakuan PBF (Pedagang Besar Farmasi) cabang, dan/atau

6. Rekomendasi pencabutan izin.

Pada tahun 2013 lalu, BPOM pernah menarik dan melarang peredaran seluruh obat jadi yang mengandung DMP sebagai komposisi tunggal akibat penggunaannya yang sering disalahgunakan oleh remaja. Saat itu ada sekitar 170an produk dari berbagai produsen yang ditarik dari seluruh Indonesia dalam rentang tahun 2013-2014.

Oleh sebab itu kini tidak ada lagi sediaan DMP tunggal dan biasanya DMP sebagai obat batuk akan disertai komposisi aktif lainnya seperti Guaifenesin (ekpektoran untuk pembersihan mukus/lendir) dan Chlorpeniramine Maleat/CTM (sebagai anti-alergi). 

Dengan demikian, produk dengan komposisi tersebut memiliki tanda lingkaran biru pada kemasannya yang berarti Obat Bebas Terbatas, yakni obat keras yang dapat dibeli tanpa resep dokter.

Jadi meski dapat dibeli secara bebas, penggunaan dan pendistribusiannya tetap perlu diawasi. Farmasis wajib mencurigai pembelian obat yang mengandung DMP dalam jumlah berlebihan, frekuensi penyerahan obat yang berlebih pada pasien yang sama, atau tidak sesuai indikasi.

Referensi:

Dextromethorphan WHO; Pionas;

Peraturan BPOM

British National Formulary 70th Edition (2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun