Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"A Speaker's Corner" dan Kebebasan Berpendapat

3 Desember 2018   06:49 Diperbarui: 3 Desember 2018   09:35 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pun begitu, sampai sejauh mana kebebasan berpendapat ini dibebaskan, diberi ruang dan dibiarkan? Sebab kebebasan kita sejatinya dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Contoh sederhananya, Anda bebas saja menyetel lagu Black Pink lengkap dengan "ye ye ye" dengan volume maksimal di rumah Anda pada jam 12 malam, namun kebebasan ini dibatasi oleh kebebasan tetangga di kiri kanan Anda, yang keesokkan harinya harus bangun pagi, sebab ada ulangan atau rapat penting.

Hari ini, kebebasan berpendapat di media sosialpun terganjal oleh UU ITE. Sehingga, tak sembarangan kita berujar, jika tak ingin dianggap menyebarkan kebencian.

Suatu hari, murid saya bertanya benarkah setiap perusahaan biasanya mengecek status/postingan calon pekerjanya di medsos. Ini karena saat itu kami membaca sebuah artikel yang menyebutkan, salah satu hal yang biasanya dilakukan perusahaan adalah melakukan "social media screening" terhadap calon pekerjanya.

"Isn't it unfair Miss? How we see and think of people and things probably have nothing to do with the company and our performances later?" murid saya yang sudah semester 7 di universitas itu berkata.

Betul, saya katakan. Tak adil memang, jika, katakanlah Anda pendukung salah satu Capres, kemudian perusahaan menolak Anda hanya karena itu. Namun, saya katakan padanya bahwa, perusahaan juga punya kepentingan dan tujuan yang akan dicapai. 


Jika Anda dilihat tidak satu visi dengan arah perusahaan, untuk apa susah-susah Anda diterima? Jika sudah terlihat tak sejalan, mengapa hubungan ini penting untuk dilanjutkan, demikianlah kira-kira.

"Furthermore, the way you see and think of things would tell people of who you are. That's what more important. They want to see what kind of person you are. Do you easily get offended? Are you persistent? Are you a mocker? Do you hate people easily? Do you see people as equal or not? They won't mind what you are standing for or against, they would mind of what you are."

Kembali ke soal kebebasan berpendapat; bahkan pendapat kita, tentang kebebasan berpendapatpun berbeda. Ketika si A mengutarakan pendapatnya dengan kalimat vulgar, kemudian ramai-ramai dihujat sebagai ujaran kebencian; tidak demikian dengan si B, padahal kontennya mirip-mirip dengan A. Mengapa? Simple, sebab si A ada di kubu berbeda, sementara B ada di kelompok yang sama.

Mungkin Indonesia belum bisa memiliki tempat seperti A Speaker's Corner di Hyde Park, London. Meski kita memiliki bunderan HI tempat para dedek mahasiswa berorasi, namun kebebasan berpendapat kita belum bisa dikatakan seluas di negara lain.

Sebab jika mau, kita bisa menerapkan prinsip "open minded" yang sama tentang kebebasan berpendapat. Tapi tidak, kita masih mengerenyit atas kelakuan para komika dengan Teknik "roasting" mereka dan bergidik ketika seorang habib menuduh seorang lelaki mengalami haid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun