Batas usia pernikahan untuk wanita ini pernah dimohonkan untuk ditingkatkan menjadi 18 tahun oleh Yayasan Kesehatan Anak dan Yayasan Pemantauan Hak Anak. Sensus nasional pemerintah yang bekerjasama dengan UNICEF menyebutkan satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, yang biasanya berujung ke perceraian. Permohonan ini ditolak Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak ada jaminan ketika usia dinaikkan, kemudian angka perceraian akan turun. MK juga menyebutkan, bahwa secara hukum agama, tidak ada penjelasan mengenai batas usia.
Pada kenyataannya di lapangan, ada begitu banyak faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk menikah, dan tidak menikah.
Secara demografis misalnya, ada perbedaan antara warga yang tinggal di kota besar dan pedesaan. Perempuan desa cenderung menikah lebih cepat ketimbang sesamanya di kota besar. Meskipun belum ada penelitian lengkap mengenai ini (sejauh yang saya baca), bisa kita asumsikan bahwa para gadis di kota cenderung memutuskan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi, sehingga pernikahan kemudian tidak lagi menjadi prioritas utama.
Dari sisi kultur dan agama, ada anggapan bahwa menikah di usia tua dianggap tidak elok, sebab nantinya perempuan akan melahirkan keturunan, hamil dan melahirkan di usia 35-an ke atas dikatakan akan lebih sulit dibanding di usia muda. Agama pun menganjurkan pernikahan disegerakan untuk menghindari perzinahan.
Pun begitu, ada juga banyak alasan mengapa banyak orang menunda pernikahan. Ketidaksiapan mental dan ekonomi adalah salah duanya.
Bohong ketika ada orang mengatakan pernikahan itu gampang dan tidak susah. Pasti ia belum pernah menyaksikan pasangan menikah yang saling menyalahkan karena salah satu salah membeli merek diaper anak. Pernikahan itu tidak mudah, maka dibutuhkan mental sekuat baja untuk bisa menaklukannya.
Faktor ekonomi juga mendominasi alasan orang menunda pernikahan. Di Indonesia ini, pernikahan itu mahal. Sebab yang harus disiapkan tidak hanya biaya KUA, melainkan juga biaya sewa gedung, catering, souvenir, Â sampai seragam pagar ayu.
Maka, kembali ke cuplikan tulisan di bagian pertama, sungguh saya terperangah dengan pola pikir "Budi" yang ingin meyakinkan "Wati" bahwa perempuan idealnya menikah sebelum usia 26 tahun, karena semakin tua perempuan, maka ia akan semakin tidak laku. Dan laki-laki mengharapkan keturunan yang mungkin tidak bisa diberikan oleh para wanita di usia 'senja'.
Seolah-oleh nilai perempuan hanya terletak pada bentuk fisik dan endurance dalam menghadapi kehamilan dan persalinan.
Emang perempuan cuman jadi pabrik anak? Begitu komentar salah seorang teman saya.
Menyoal kebahagiaan orangtua pun menjadi sesuatu yang sangat relatif. Bahagianya orangtua itu ketika apa?