Dia sangat santai dan menikmatinya.
"Aku mah percaya sama Allah aja, da berusaha mah udah maksimal."
"Mamah kamu pernah nanya?" tanya saya.
"Ga ... mamah aku mah bilangnya, ya udah lah kapan aja si jodoh datangnya, yang penting mah anak mamah jadi anak yang baik, jadi perempuan yang sanggup menjaga kehormatannya."
Saya langsung mengacungkan dua jempol.
Saat saya menuliskan ini, saya belum mendapat kabar lagi darinya. Semoga apapun statusnya hari ini, ia masih seceria dan sebahagia ketika saya mengenalnya.
Sebab tak ada yang lebih mengharukan ketimbang menyaksikan sesosok manusia yang begitu woles menghadapi hidup (plus jutaan pertanyaan dan tuntutan masyarakat), sebab ia pasrah sepenuhnya atas hasil yang akan diberikan Tuhan padanya.
Saya sendiri menikah di usia yang terbilang muda untuk jaman sekarang. Usia 21 tahun, saat teman-teman saya masih bergelut dengan beban SKS di kampus, saya malah sudah menghadapi beban tambahan yang berjudul pernikahan.
Setiap ada yang bertanya mengapa saya menikah cukup belia, saya selalu menjawab 'yah mumpung ada yang mau', sambil cengegesan. Sebab kuantitas perempuan semakin lama semakin jauh melebihi laki-laki, saya katakan. Jadi siapa cepat dia dapat. Ini jawaban tak serius tentu saja. Sebab saya tidak menikah karena dapat undian dari Chiki. Proses menuju pernikahan itu, mungkin sudah dimulai secara mental dari sejak saya menjejakkan kaki di bangku Universitas. Sesuatu yang tidak saya bagi dengan siapapun, melainkan hanya dengan Allah yang menggenggam hati dan jiwa saya.
Towards marriage is a long process, and after marriage is a never ending story.
Salah satu artikel di BKKBN.co.id bulan Maret 2017, disebutkan bahwa usia pernikahan ideal adalah 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Sementara,  berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menyebutkan  batas usia menikah bagi wanita adalah 16 tahun dan pria adalah 19 tahun.