"Ya ... mungkin usia 26 tahun ..."
"Yakin sudah ada yang langsung mau? Ga mudah loh mbak, menuju pernikahan itu butuh proses. Kalau nanti ga ada yang mau, bagaimana? Malah orangtua Mbak ga bahagia ..."
Begitu seterusnya Budi mendesak Wati untuk memikirkan pernikahan, meskipun Wati sudah mengelak dengan mengatakan ia ingin bersekolah sampai ke jenjang tinggi terlebih dahulu.
"Mbak, kalau sudah di atas tigapuluh tahun, laki-laki bukannya tidak mau. Tapi berpikir masalah keturunan. Menurut medis, semakin bertambah usia, semakin mengecil kemungkinan punya anak. Memang semua takdir Allah, tapi laki-laki berusaha agar punya keturunan ..."
Budi terus memaparkan alasan demi alasan saat Wati terus menerus mengelak dan mengatakan tidak masalah jika ia harus menikah di usia 30-an.
Percakapan di atas saya sarikan dari status seseorang di media sosial Facebook, yang dibagikan oleh salah seorang teman.
Kening saya berkerut.
That doesn't sound right.
Ini mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal. Ia perempuan yang belum juga menikah hingga usia akhir 30-an. Pun begitu, tak pernah saya melihatnya galau, atau tiba-tiba menuliskan postingan dengan kata-kata macam, "ku ingin kamu di penantianku yang tak berujung ini".
Sungguh, setiap kali saya membaca postingan merindu macam itu, benak saya melayang ke video klip musik tahun 80-an dengan latar belakang pantai dan hembusan angina, kamera menampilkan wajah si penyanyi yang sendu dengan lagu mendayu-dayu.
Si teman saya ini sangat santai menjalani hidupnya. Orangtuanya pun begitu. Tidak pernah saya dengarnya minder, karena di usianya yang sudah menjelang 40 ia mesti bersaing dengan dedek-dedek emeush yang tidak hanya lebih junior tapi juga lebih memiliki manuver menukik tajam dalam hal pencarian jodoh.