Masih hangat dalam ingatan kita saat pose timnas Jerman kala difoto menjelang pertandingan melawan Jepang. Aksi menutup mulut sebagai bentuk protes karena larangan FIFA untuk memakai ban kapten "one love" berwarna "pelangi". Â Tidak hanya itu, beberapa timnas juga memiliki inisiatif sama dengan timnas Jerman memakai ban kapten "warna pelangi". Bahkan, mereka mewacanakan untuk keluar dari FIFA jika FIFA tetap melarang memakai ban kapten pelangi.
Piala Dunia idealnya adalah pesta pora sepakbola dengan spirit kebersamaan dan perayaan bersama tanpa memandang suku bangsa, ras, warna kulit, tingkat kesejahteran ekonomi. Sekat-sekat itu hilang karena event empat tahunan itu memang menjadi milik bersama bangsa-bangsa di dunia. Selama ini sepakbola membebaskan manusia dari sekat jahiliyah karena perbedaan SARA. Maka kemudian dikenal dengan  kampanye "Say No to Racism". Sepakbola pda akhirnya juga dikenal sebagai media kampanye untuk menyampaikan hal-hal positif ke seluruh penjuru dunia.
Lalu, bagaimana dengan makna ban kapten "warna pelangi"? Kenapa sampai FIFA sebagai penyelenggara Piala Dunia menolaknya?
Warna pelangi dimaknai sebagai dukungan kepada kaum LGBT untuk dapat eksis serta mendapat pengakuan dunia. LGBT menjadi isu yang sangat sensitif karena mayoritas menyebutnya sebagai penyimpangan dan penyakit sosial. Apalagi saat ini Piala Dunia diselenggarakan di Negara Timur Tengah yang jelas aksen  dan konteks keagamaannya menentang LGBT. Jika "warna pelangi" dimaknai sebagai hak yang boleh disuarakan maka di sisi lain ada kewajiban untuk menghormati suara mayoritas agar tercipta kedamaian. Piala Dunia akan lebih asyik dan menarik jika diwarnai dengan kampanye nilai-nilai universal seperti kesetaraan bangsa, toleransi, budaya, dan nilai-nilai postif lainnya.
Akankah warna pelangi suatu saat akan muncul di sepakbola Indonesia?