Mohon tunggu...
Muhammad Irham Maulana
Muhammad Irham Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hidup Untuk Menulis dan Menulis untuk Menghidupkan. Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Jangan biarkan kata-kata bersarang di kepala. Biarkan ia menyelinap ke dalam kertas dan berkelana di halamannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gandeng Tangan Pahlawan Pangan

1 Juli 2022   16:27 Diperbarui: 1 Juli 2022   16:32 1633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
this photo taken from Pixabay

Gandeng Tangan Pahlawan Pangan

Selamatkan Petani, mereka adalah sumber daya yang menghidupi manusia yang juga mereproduksi manusia menjadi makhluk yang bermartabat dan berguna bagi nusa dan bangsa. 

Dari dulu hingga kini, belum ada sejarah buruh, nelayan, dan petani Indonesia yang makmur dan sejahtera. Yang ada mereka hanya ditunggangi untuk memenuhi kotak suara saat orasi pemilihan umum yang dibalut dengan obral janji berupa "kesejahteraan dan kemakmuran".

 Lebih tepatnya, mereka adalah kalangan yang paling menguntungkan untuk meningkatkan elektabilitas dari pada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Kalau saya menilai, tiga elemen di atas adalah kalangan yang paling menjanjikan untuk mengeruk keuntungan. Ini bukan bukan fiksi, tapi nyata. Titik. Tanpa koma.

 Menjadi petani memang bukan pekerjaan yang menguntungkan. Hal ini semakin jelas dengan konotasi dari waktu ke waktu yang menganggap bahwa petani bukan profesi yang menjanjikan dalam jangka panjang. 

Selain persedian musim yang harus disesuaikan, petani dianggap sebagai pekerjaan yang rendah. Bisa disebut petani termasuk komunitas pekerja kasar dan serabutan. 

Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan kita lebih banyak ditopang oleh produktivitas petani. Kebutuhan swasembada seperti padi, jagung, dan material pokok lainya dari mana lagi kalau bukan dari para petani.

Sayangnya, pekerjaan yang khas dengan lumpur ini kurang mendapat perhatian serius baik dari pemerintah atau topografi masyarakat masa kini. Sementara, pemerintah juga lebih memprioritaskan bahan pangan dari luar negeri (import) ketimbang negeri sendiri. 

Ini merupakan potret miris bagi nasib petani, di mana mereka yang bersusah payah memproduksi swasembada pangan tidak dihargai dan diperhatikan oleh negeri sendiri. 

Hal ini semakin diperburuk dengan asumsi dan stigma masyarakat modernisme yang menempatkan petani sebagai komoditas yang tidak menjanjikan di zaman milenial.

Sebagian besar masyarakat menilai bahwa petani atau menjadi petani tidak memiliki profit status yang menunjang. Asumsi ini berbanding lurus dengan keadaan perubahan gaya hidup dan perkembangan teknologi yang mengakibatkan pekerjaan "petani" ini dianggap kuno, basi, dan tidak elit. 

Pola pikir masyarakat yang mulai berubah bersamaan dengan stigma memperoleh pekerjaan layak, rapi, modis, AC kantoran, dan terdidik mengucilkan identitas petani bahwa mereka adalah kalangan yang tidak bisa menunjang daya karir dan profesi.

Pemikiran ini semakin kentara dengan stigma paradigma milenial yang mulai mengedepankan "pekerjaan" harus pekerjaan yang menunjang status terpandang, karir menjulang, dan identitas terhormat. 

Pekerjaan status terpandang ini tidak berbanding lurus dengan budaya petani yang kotor, berlumpur-lumpuran di lahan, dan mengenakan baju seadanya. 

Sementara, pekerja karyawan atau kantoran nampak lebih bersih, rapi, segar dan gaji yang matang. Dari dulu hingga kini, belum ditemukan sebuah pujian yang memuji karir petani dan identitas terhormat sebagai pahlawan pangan.

            Perlu Digandeng

Para petani ini sangat butuh digandeng oleh semua kalangan, termasuk kekuasaan pemerintah dan kalangan generasi milenial saat ini. Hal ini mengingat agraria atau industri pangan menjadi salah satu sektor utama yang mendukung perekonomian. 

Mengutip penelitian dari jurnal LIPI bahwa beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand, dan Kamboja, pemerintahanya sangat memperhatikan sektor agraria (komunitas petani). 

Pemerintah menilai bahwa pertanian adalah organ jantung paling berpengaruh untuk meningkatkan tubuh perekonomian. Pertanian menempatkanya sebagai basis " agriculture is the human life".

Selain sebagai modal meningkatkan ekonomi, stigma atau asumsi soal profesi petani atau menjadi petani ini harus diluruskan dengan keadaan dan kondisi kehidupan masyarakat milenial agar menyehatkan komoditas petani. 

Sekali lagi, petani bukan pekerjaan yang rendah atau tidak menjanjikan. Hal ini saya buktikan di kampung halaman saya bahwa mereka yang bertani memiliki kekayaan yang cukup besar. 

Sumber kekayaan ini dihasilkan melalui luasnya lahan, pengelolaan tanaman, dan cara pemasaran yang cerdas. Di sisi lain, tidak sedikit tamatan sarjana yang memilih menjadi petani. Mereka menilai ada kesempatan besar dalam mengolah soal pertanian.

Dari sini, sepatutnya kita mengingat pesan Bung Karno bahwa "soal pangan benar menentukan hidup matinya bangsa". Pernyataan ini benar adanya ketika presiden Joko Widodo mengumumkan gentingnya krisis pangan global. 

Krisis pangan merupakan permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh temeh karena menyangkut fundamental sumber daya dari berbagai wilayah dan sektor. 

Krisis pangan juga memberi dampak pada kesehatan bangsa yang menjadi aset ketahanan negara. Oleh karena itu, Indonesia yang kaya akan sumber daya agraria dan maritim ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. 

Pemanfaatan ini butuh gebrakan secara masif untuk lebih memberdayakan potensi dan kesejahteraan petani sebelum mereka memilih tutup kaki dan tangan, alias mogok yang bisa memperkeruh kehidupan nusa dan bangsa Indonesia.

Petani menentukan akal sehat bangsa. Apabila bangsa tidak memiliki akal sehat, maka mereka akan diombang-ambingkan dan dimanfaatkan. Sungguh miris!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun