Dalam sebuah obrolan, saya dan seorang teman membicarakan seorang pendatang di kampung kami. Ia jarang bergaul, dan ketika berbicara sering menyinggung. Kebiasaannya adalah memanggil orang dengan imbuhan “si”, bahkan kepada yang lebih tua. Dalam budaya Sunda, cara itu dianggap kurang sopan.
“Si A sudah datang belum?”
“Si B tadi lewat sini.”
Bagi dirinya mungkin terasa biasa, namun bagi kami yang mendengar ada rasa kurang hormat. Kami sebagai warga lokal sebenarnya ingin ia diterima dengan baik. Hanya saja, kebiasaannya itu membuat orang perlahan menjaga jarak. Tidak ada yang menegur secara langsung, tapi kehadirannya semakin terasa asing.
Hidup di tanah rantau menuntut adab lebih tinggi dibanding di kampung halaman. Lingkungan baru membuat setiap perilaku menjadi sorotan. Lisan yang tidak terjaga lebih cepat terlihat daripada kebaikan yang dilakukan. Satu ucapan kasar saja bisa menghapus banyak hal baik yang sudah dilakukan sebelumnya.
Sebagai warga lokal, kami memahami bahwa setiap pendatang membawa nama keluarganya. Orang lain menilai bukan hanya dirinya, tetapi juga asal-usulnya. Kehormatan yang dibangun dengan susah payah bisa runtuh hanya karena ucapan yang sembrono. Dari situlah rasa malu muncul, ketika orang tidak lagi ingin mendekat.
Lisan adalah amanah. Setiap kata meninggalkan bekas: ada yang menguatkan, ada yang meruntuhkan. Banyak hubungan baik terjalin karena lisan yang lembut, dan banyak pula yang putus karena lisan yang tajam. Kami sendiri sering merasakan, ucapan sederhana bisa membuat hati hangat, sebaliknya ucapan kecil bisa membuat hati terluka.
Nasihat lama mengingatkan, keselamatan manusia bergantung pada kemampuannya menjaga lisan. Tidak semua yang terpikir perlu diucapkan. Tidak semua yang terlihat pantas diceritakan. Tidak semua candaan bisa diterima. Satu kalimat saja kadang cukup untuk meruntuhkan harga diri seseorang.
Kami yang hidup bersama di kampung melihat jelas akibatnya. Teman menjauh, tetangga enggan berinteraksi, dan akar persoalannya tetap sama: lisan yang tidak terkendali. Saat itu, kami belajar bahwa martabat bukan hanya soal status sosial, melainkan juga cara berbicara. Orang yang rendah hati akan dihormati, sementara orang yang lisannya melukai akan kehilangan tempat di hati orang lain.
Menjaga lisan memang tidak mudah, tetapi bisa dilatih. Mengingat bahwa setiap ucapan akan dipertanggungjawabkan membuat kita lebih waspada. Hidup di rantau adalah ujian kesabaran dan kedewasaan. Orang lain menilai bukan dari latar belakang keluarga, melainkan dari perilaku sehari-hari. Cara berinteraksi menjadi ukuran utama.
Seorang perantau yang menjaga lisannya akan lebih mudah diterima. Ucapannya menumbuhkan rasa aman, bukan rasa terancam. Kehadirannya dirindukan karena tutur katanya menenangkan. Dalam lingkaran pertemanan, ia menjadi pengikat, bukan pemecah.