Mohon tunggu...
Irfan Fitroturrohman
Irfan Fitroturrohman Mohon Tunggu... Seseorang yang sedang mencari Ilmu

Husnudzon.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Busana dan Persepsi Sosial

4 September 2025   22:21 Diperbarui: 5 September 2025   06:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: Kabarpendidikan)

Dalam kehidupan sosial, pakaian bukan hanya penutup tubuh atau sekadar urusan estetika. Busana berfungsi sebagai tanda identitas sosial sekaligus alat komunikasi nonverbal. Lewat jenis, warna, dan gaya berpakaian, orang sering menebak status, kepribadian, bahkan afiliasi kelompok. Karena itu, fashion punya peran besar dalam membentuk interaksi sosial, baik disadari maupun tidak.

Psikologi sosial juga menunjukkan hal yang sama. Pakaian memengaruhi cara orang lain menilai kita, sekaligus memengaruhi rasa percaya diri dan perilaku kita sendiri. Dengan kata lain, apa yang kita kenakan bukan hanya untuk dilihat orang lain, tapi juga untuk membantu kita merasa nyaman dalam berinteraksi.

Penelitian tentang OOTD (Outfit of The Day) menjelaskan bahwa pilihan busana sehari-hari bisa menjadi sarana menyampaikan identitas, sifat pribadi, dan nilai yang kita pegang. Unsur visual seperti warna, gaya, dan aksesoris ternyata berbicara banyak hal tanpa harus kita ucapkan.

Dari sisi psikologi, pakaian juga bisa memengaruhi suasana hati. Konsep “dopamine dressing” misalnya, menunjukkan bahwa memakai baju yang kita sukai dapat meningkatkan mood, rasa percaya diri, dan energi positif saat bertemu orang lain. Jadi, busana punya dampak langsung pada perasaan kita sendiri.

Kalau dilihat dalam konteks Indonesia, contoh-contohnya jelas terlihat. Laki-laki dengan baju koko dan peci sering dipandang religius, sementara perempuan berhijab kerap dianggap lebih sopan, meski kenyataannya belum tentu begitu. Anak muda di kota biasanya mengekspresikan diri lewat OOTD di media sosial, sedangkan di daerah gaya berpakaian yang terlalu “kekinian” kadang dipandang tidak sesuai norma. Di pasar tradisional, pakaian sederhana dianggap wajar, tetapi kalau ke mall banyak orang memilih tampil lebih rapi. Semua ini menunjukkan bahwa busana tidak bisa dilepaskan dari identitas, ekspresi diri, kelas sosial, dan ruang sosial tempat kita berada.

Coba bayangkan, ada orang datang ke acara resmi dengan kaos oblong dan sandal jepit. Kebanyakan orang mungkin langsung menilai ia tidak menghargai acara itu. Padahal bisa saja alasannya sederhana: ia tidak punya baju formal atau sedang terburu-buru. Sebaliknya, tamu dengan setelan jas sering dianggap profesional, berpendidikan tinggi, atau punya status tertentu, meski kita belum benar-benar mengenalnya. Artinya, pakaian sering menjadi pintu pertama dalam pembentukan persepsi sosial.

Lebih jauh, busana juga berperan sebagai simbol budaya dan penanda afiliasi sosial. Seperti yang dikatakan Rosenfeld dan Plax, pakaian adalah bagian penting dari komunikasi nonverbal karena membantu kita mengekspresikan identitas sekaligus keterikatan dengan norma dan nilai kelompok.

Namun, penting untuk diingat: menilai orang hanya dari pakaian bisa berbahaya. Tidak semua orang punya akses pada busana “ideal”. Faktor ekonomi, budaya, dan keyakinan juga memengaruhi pilihan berpakaian. Jika kita terlalu cepat menilai, kita bisa terjebak pada stereotip dan diskriminasi.

Jadi, pakaian memang bukan sekadar soal penampilan. Ia adalah bahasa sosial dan psikologis yang memengaruhi bagaimana orang melihat kita, bagaimana kita melihat diri sendiri, dan bagaimana interaksi sosial terbentuk. Karena itu, pilihlah busana dengan bijak: sesuaikan dengan situasi, tapi tetap nyaman untuk diri sendiri. Dengan begitu, pakaian bisa membantu kita mengekspresikan siapa diri kita sebenarnya, memberi kesan positif, dan memudahkan orang lain untuk berinteraksi tanpa perlu banyak bicara.

Oleh karena itu, memahami peran pakaian dalam kehidupan sosial bukan hanya relevan bagi studi mode atau estetika, tetapi juga penting dalam menganalisis dinamika psikologi dan struktur sosial masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun