Mohon tunggu...
irdayantidalimunthe
irdayantidalimunthe Mohon Tunggu... Mahasiswi S2

Jurusan Linguistik

Selanjutnya

Tutup

Financial

Fenomena Job Hugging Membuat Dilema Pekerja Muda di Indonesia: Antara Bertahan Hidup atau Penghambat Karier?

25 September 2025   19:26 Diperbarui: 25 September 2025   19:29 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Job Hugging Picture (https://share.google/images/wNPqXdpVbbMKImvcI)

Di era sekarang ini, mencari lapangan pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Faktor penyebab sulitnya mendapat pekerjaan diantaranya, persaingan semakin ketat, keterbatasan lapangan pekerjaan, dan jumlah lulusan baru yang meningkat setiap tahunnya juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh tinggi. Oleh karena itu, banyak para pekerja yang sudah memiliki pekerjaan lebih memilih untuk bertahan pada pekerjaannya, meskipun sebenarnya pekerjaan yang mereka jalani itu tidak lagi memuaskan. Fenomena ini bagaikan ungkapan pedang bermata dua; yang di satu sisi sebagai bentuk loyalitas, namun di sisi lain justru membuat para pekerja stagnan dan kehilangan semangat sehingga pengembangan diri jadi terhambat. 

Peristiwa tersebut serupa dengan yang sedang marak saat ini, yang dikenal dengan istilah Job Hugging, kondisi dimana para pekerja memilih untuk bertahan pada pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak lagi menikmati atau merasa berkembang didalam pekerjaan tersebut. Keputusan untuk bertahan bukan semata-mata karena pengabdian mereka pada perusahaan, melainkan rasa takut karena kehilangan penghasilan dan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi, pekerjaan yang mereka jalani demi kelangsungan hidup, bahkan untuk mereka yang sudah berkeluarga pastinya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. 

Pandangan dari Kalangan Akademis  

Fenomena Job Hugging ini mendapat perhatian dari beberapa kalangan akademis. Salah satu Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yakni, Dr. Rini Juni Astuti, menilai bahwa “faktor utama Job Hugging adalah rasa aman dan takut ambil risiko”. Menurutnya, para pekerja cenderung menghindari ketidakpastian seperti pilihan berpindah kerja ke tempat lain. Dalam ilmu psikologi, kondisi tersebut dapat dikaitkan dengan teori comfort zone, dimana seseorang lebih memilih berada pada zona aman meskipun penuh keterbatasan, daripada harus menghadapi hal yang belum pasti yang menjadi tantangan baru baginya.

Sementara itu, seorang pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP), Wahyu Widodo, juga ikut menanggapi bahwa fenomena Job Hugging ini bukan perihal yang baru. Menurutnya, dalam siklus pasar tenaga kerja, pola seperti ini sudah sering terjadi, hanya saja  untuk sekarang ini cukup banyak mendapatkan perhatian karena beriringan dengan kondisi ekonomi yang spesifik. Ia juga menambahkan bahwa meskipun indikator-indikator ekonominya secara keseluruhan di statistik pemerintah itu cukup baik, tetapi kenyataannya banyak perdebatan tentang angka dimana sebelumnya pertumbuhan quarter kedua yang meningkat cukup tinggi. (22/09/2025).

Data Pasar Tenaga Kerja

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penggangguran terbuka per Februari 2025 yang mencapai 4,76 %. Namun, lebih mengkhawatirkan lagi jika dilihat secara spesifik pada usia muda sekitar 15-19 tahun dengan angka pengangguran tertinggi yang mencapai 22,34 %, sementara pada usia 20-24 tahun mencapai 15,34 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kelompok usia produktif, misalnya fresh graduated akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, termasuk yang sesuai dengan bidangnya. Pasar tenaga kerja akan dinilai semakin buruk dan dapat mempengaruhi ketidakstabilan ekonomi. Kesempatan para pekerja untuk berpindah pekerjaan pun semakin tipis yang menyebabkan fenomena Job Hugging semakin meningkat. Dalam hal ini, ketidakstabilan ekonomi yang dimaksud meliputi tingginya biaya hidup, gelombang PHK yang cukup tinggi, dan juga krisis ekonomi. Hal ini membuat para pekerja muda baik kalangan Milenial maupun gen Z memilih untuk tetap berada pada titik aman yaitu bertahan dengan pekerjaannya.

Suara Para Pekerja: Bertahan demi Stabilitas

Fenomena yang dirasakan oleh banyak pekerja adalah peristiwa yang nyata, bukan sekadar data. Dalam wawancara Metro TV beberapa hari yang lalu, beberapa pegawai swatsa mengungkap alasan mengapa mereka bertahan meskipun merasa stagnan:

Tomo, seorang pegawai swasta mengatakan: “Alasan saya bertahan sih pertama karena saya sudah karyawan tetap dan kedua kalau pun saya resign saya tidak bisa menjamin bisa menjadi karyawan tetap lagi diperusahaan lain, kalau boleh jujur sih karena kestabilan ekonomi, kalau bicara berkembang sih masih gini-gini aja tidak ada peningkatan dan tidak ada kenaikan jabatan juga.”

Andi, pegawai swasta lainnya turut memberikan tanggapannya: “Pinginnya sih pindah tapi in this ekonomi susah banget dan susah pindah juga sama demi bertahan hidup, terus juga jenjang karir diprofesi ini  sedikit dan pengembangan dikantornya pun tidak ada.”

Joshua, pegawai swasta yang sudah bekerja selama tiga tahun di satu perusahaan: “karena cicilan sih, cicilan rumah dan cicilan yang lain-lain, dan sudah 3 tahun sayabekerja belum ada pengembangan karir, jadi masih sesuai sama profesi yang sekarang, makanya bertahan bukan karena loyalitas perusahan tapi karena kestabilan ekonomi.”

Perspektif Psikologi dan Ekonomi

Jika dilihat dari sisi psikologi dan juga ekonomi, sebenarnya fenomena Job Hugging ini menyimpan risiko yang cukup serius yang dapat memicu kestagnanan dan juga menghambat pertumbuhan karier. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi saat ini, yang memperkuat alasan para pekerja untuk memilih tetap bertahan pada pekerjaan yang mereka jalani. Mereka menganggap pilihan tersebut merupakan salah satu strategi untuk bertahan hidup dan aman secara finansial.

Dari segi psikologi, bertahan dalam suatu pekerjaan yang tidak lagi memberikan kepuasan dapat menyebabkan burnout, kondisi dimana seseorang merasa lelah secara mental dan emosional akibat pekerjaan yang mereka jalani terlalu monoton tanpa adanya peningkatan. Selain itu, dari segi ekonomi, para pekerja yang bertahan pada posisi stagnan dapat mengakibatkan berkurangnya mobilitas pasar tenaga kerja, sedangkan pasar tenaga kerja berperan penting untuk memastikan keoptimalan sumber daya manusia.

Sebagai contoh, jika seseorang lulusan pendidikan yang bertahan di pekerjaan administrasi marketing karena ia takut kehilangan penghasilan, maka potensi keterampilannya sebagai guru yang harusnya mengajar di sekolah tidak termanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, tingkat produktivitasnya pun terhambat sehingga memunculkan ketidakcocokan antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, pada akhirnya kualitas pasar tenaga kerja menjadi semakin menurun atau bahkan lebih buruk.

Keterkaitan Fenomena dengan Teori Retorika

Ahli Retorika Indonesia, Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.SC dalam bukunya yang berjudul “Retorika Modern: Pendekatan Praktis Berbicara di Depan Publik”, menunjukkan pentingnya menerapkan keseimbangan antara tiga elemen utama, yaitu ethos (kredibilitas), phatos (emosi), dan logos (logis). Dalam fenomena ini, elemen ethos menunjukkan pada posisi Wahyu Widodo sebagai akademisi Universitas Diponegoro (UNDIP) yang memberi kredibilitas pada pernyataan yang ia sampaikan, yakni mengenai hubungan fenomena Job Hugging dengan siklus pasar tenaga kerja. Sedangkan, elemen phatos dibuktikan pada kesaksian para pekerja yang memberi alasan bertahan dalam pekerjaannya demi stabilitas ekonomi. Ungkapan para pekerja seperti rasa khawatir karena sulit mendapatkan pekerjaan baru, takut kehilangan status karyawan tetap, dan memiliki tanggungan besar seperti cicilan rumah dan sebagainya, merupakan aspek emosional yang memengaruhi cara pandang publik dalam memahami permasalahan ini. Sementara itu, elemen logos mengarah pada pernyataan akademisi lainnya yaitu, Dr. Rini Juni Astuti dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dimana ia menggunakan logos untuk menjelaskan bahwa fenomena ini secara rasional, dimana para pekerja memilih bertahan karena takut mengambil risiko dan ingin tetap berada pada zona nyaman.

Selain itu, fenomena Job Hugging ini juga dapat dikaitkan dengan pandangan salah satu tokoh, Stephen Toulmin pada Retorika Modern dan Kontemporer. Dalam hal ini, Toulmin menggunakan enam kerangka untuk menguji kekuatan dalam sebuah argumen. Claim, menunjukkan bahwa Job Hugging adalah strategi untuk bertahan hidup bagi para pekerja muda walaupun stagnan namun merupakan pilihan rasional di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Data,  menunjukkan data pada Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai tingkat pengangguran terbuka pada usia muda per Februari 2025. Warrant, mengarah pada angka pengangguran yang tinggi menyebabkan peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan pekerjaan baru, sehingga bertahan adalah pilihan yang aman. Backing, mengacu pada pernyataan pakar Ekonomi UNDIP, Wahyu Widodo yang menjelaskan bahwa fenomena seperti ini sudah lumrah muncul ditengah kondisi ekonomi tertentu. Namun, dalam pernyataannya terdapat Qualifier, dimana umumnya benar bagi sebagian besar para pekerja muda, meskipun tidak selalu berlaku universal. Terakhir Rebuttal, menjelaskan bahwa Job Hugging dapat menghambat karir jangka panjang meskipun dikatakan aman, sehingga para pekerja kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Dalam hal ini, Retorika Kontemporer menekankan bahwa komunikasi publik tidak hanya berpusat pada persuasi klasik saja, tetapi juga pada pembentukan wacana yang dapat membangun realitas sosial. Fenomena Job Hugging ini bukan sekadar mengarah pada persoalan individu, melainkan bagian dari wacana besar mengenai perubahan pasar tenaga kerja, ketidakstabilan ekonomi, serta tuntutan hidup bagi kalangan muda. Retorika yang disebut sebagai seni berbicara atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman publik. Seperti contoh sebelumnya, bahasa yang digunakan oleh para pekerja, akademisi, atau bahkan media dapat membentuk persepsi masyarakat dimana pekerjaan yang stagnan merupakan hal yang wajar atau bahkan dapat dikatakan realistis. Namun, kondisi tersebut akan menormalisasi stagnasi sehingga dapat menghambat pengembangan diri. Oleh karena itu, teori Retorika Kontemporer ini dapat membantu pandangan masyarakat untuk bersikap kritis agar tidak mudah menerima narasi pasif pada ruang publik.

Di sisi lain, fenomena ini juga berkaitan erat dengan budaya masyarakat karena stabilitas dan keamanannya cenderung dihargai. Dalam budaya kelompok, para pekerja enggan untuk berpindah pekerjaan karena mereka menganggap status sebagai karyawan tetap itu penting. Ditambah lagi, dukungan keluarga yang menuntut individu untuk tetap bekerja serta menghindari risiko pengangguran meskipun kedepannya tidak ada perkembangan karier yang signifikan. Namun, fenomena seperti ini bukan berarti tidak bisa diatasi. Fenomena Job Hugging ini tidak menutup kemungkinan bahwa para pekerja juga akan melakukan hal yang sebaliknya. Mereka mungkin akan mengambil risiko untuk pindah ke posisi yang lebih menantang dan meninggalkan zona amannya demi meningkatkan karier dan memperoleh penghasilan yang lebih besar. Hal ini akan membuat perusahaan kesulitan mendapatkan pengganti yang tepat untuk mengisi posisi tersebut sehingga akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lambat.

Untuk itu, perlu adanya perubahan kebijakan dari masing-masing peran seperti pemerintah, perusahaan, dan para pekerja agar dapat meminimalisir fenomena Job Hugging. Pemerintah perlu memperluas program pelatihan dan peningkatan keterampilan untuk menumbuhkan rasa percaya diri kepada para pekerja dalam berpindah pekerjaan. Perusahaan harus menciptakan pengembangan karier untuk kedepannya agar para pekerja tidak stagnan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Terlebih lagi, para pekerja juga harus mengembangkan dirinya dengan menguasai keterampilan baru dan berani membuka peluang alternatif. Oleh karena itu, fenomena Job Hugging ini akan menjadi fase sementara untuk menuju pada transisi yang lebih baik.

Sumber: Job Hugging Picture (https://share.google/images/ASto5VO2645MiEfYF)
Sumber: Job Hugging Picture (https://share.google/images/ASto5VO2645MiEfYF)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun