Mohon tunggu...
irdayantidalimunthe
irdayantidalimunthe Mohon Tunggu... Mahasiswi S2

Jurusan Linguistik

Selanjutnya

Tutup

Financial

Fenomena Job Hugging Membuat Dilema Pekerja Muda di Indonesia: Antara Bertahan Hidup atau Penghambat Karier?

25 September 2025   19:26 Diperbarui: 25 September 2025   19:29 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Job Hugging Picture (https://share.google/images/wNPqXdpVbbMKImvcI)

Joshua, pegawai swasta yang sudah bekerja selama tiga tahun di satu perusahaan: “karena cicilan sih, cicilan rumah dan cicilan yang lain-lain, dan sudah 3 tahun sayabekerja belum ada pengembangan karir, jadi masih sesuai sama profesi yang sekarang, makanya bertahan bukan karena loyalitas perusahan tapi karena kestabilan ekonomi.”

Perspektif Psikologi dan Ekonomi

Jika dilihat dari sisi psikologi dan juga ekonomi, sebenarnya fenomena Job Hugging ini menyimpan risiko yang cukup serius yang dapat memicu kestagnanan dan juga menghambat pertumbuhan karier. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi saat ini, yang memperkuat alasan para pekerja untuk memilih tetap bertahan pada pekerjaan yang mereka jalani. Mereka menganggap pilihan tersebut merupakan salah satu strategi untuk bertahan hidup dan aman secara finansial.

Dari segi psikologi, bertahan dalam suatu pekerjaan yang tidak lagi memberikan kepuasan dapat menyebabkan burnout, kondisi dimana seseorang merasa lelah secara mental dan emosional akibat pekerjaan yang mereka jalani terlalu monoton tanpa adanya peningkatan. Selain itu, dari segi ekonomi, para pekerja yang bertahan pada posisi stagnan dapat mengakibatkan berkurangnya mobilitas pasar tenaga kerja, sedangkan pasar tenaga kerja berperan penting untuk memastikan keoptimalan sumber daya manusia.

Sebagai contoh, jika seseorang lulusan pendidikan yang bertahan di pekerjaan administrasi marketing karena ia takut kehilangan penghasilan, maka potensi keterampilannya sebagai guru yang harusnya mengajar di sekolah tidak termanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, tingkat produktivitasnya pun terhambat sehingga memunculkan ketidakcocokan antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, pada akhirnya kualitas pasar tenaga kerja menjadi semakin menurun atau bahkan lebih buruk.

Keterkaitan Fenomena dengan Teori Retorika

Ahli Retorika Indonesia, Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.SC dalam bukunya yang berjudul “Retorika Modern: Pendekatan Praktis Berbicara di Depan Publik”, menunjukkan pentingnya menerapkan keseimbangan antara tiga elemen utama, yaitu ethos (kredibilitas), phatos (emosi), dan logos (logis). Dalam fenomena ini, elemen ethos menunjukkan pada posisi Wahyu Widodo sebagai akademisi Universitas Diponegoro (UNDIP) yang memberi kredibilitas pada pernyataan yang ia sampaikan, yakni mengenai hubungan fenomena Job Hugging dengan siklus pasar tenaga kerja. Sedangkan, elemen phatos dibuktikan pada kesaksian para pekerja yang memberi alasan bertahan dalam pekerjaannya demi stabilitas ekonomi. Ungkapan para pekerja seperti rasa khawatir karena sulit mendapatkan pekerjaan baru, takut kehilangan status karyawan tetap, dan memiliki tanggungan besar seperti cicilan rumah dan sebagainya, merupakan aspek emosional yang memengaruhi cara pandang publik dalam memahami permasalahan ini. Sementara itu, elemen logos mengarah pada pernyataan akademisi lainnya yaitu, Dr. Rini Juni Astuti dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dimana ia menggunakan logos untuk menjelaskan bahwa fenomena ini secara rasional, dimana para pekerja memilih bertahan karena takut mengambil risiko dan ingin tetap berada pada zona nyaman.

Selain itu, fenomena Job Hugging ini juga dapat dikaitkan dengan pandangan salah satu tokoh, Stephen Toulmin pada Retorika Modern dan Kontemporer. Dalam hal ini, Toulmin menggunakan enam kerangka untuk menguji kekuatan dalam sebuah argumen. Claim, menunjukkan bahwa Job Hugging adalah strategi untuk bertahan hidup bagi para pekerja muda walaupun stagnan namun merupakan pilihan rasional di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Data,  menunjukkan data pada Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai tingkat pengangguran terbuka pada usia muda per Februari 2025. Warrant, mengarah pada angka pengangguran yang tinggi menyebabkan peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan pekerjaan baru, sehingga bertahan adalah pilihan yang aman. Backing, mengacu pada pernyataan pakar Ekonomi UNDIP, Wahyu Widodo yang menjelaskan bahwa fenomena seperti ini sudah lumrah muncul ditengah kondisi ekonomi tertentu. Namun, dalam pernyataannya terdapat Qualifier, dimana umumnya benar bagi sebagian besar para pekerja muda, meskipun tidak selalu berlaku universal. Terakhir Rebuttal, menjelaskan bahwa Job Hugging dapat menghambat karir jangka panjang meskipun dikatakan aman, sehingga para pekerja kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Dalam hal ini, Retorika Kontemporer menekankan bahwa komunikasi publik tidak hanya berpusat pada persuasi klasik saja, tetapi juga pada pembentukan wacana yang dapat membangun realitas sosial. Fenomena Job Hugging ini bukan sekadar mengarah pada persoalan individu, melainkan bagian dari wacana besar mengenai perubahan pasar tenaga kerja, ketidakstabilan ekonomi, serta tuntutan hidup bagi kalangan muda. Retorika yang disebut sebagai seni berbicara atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman publik. Seperti contoh sebelumnya, bahasa yang digunakan oleh para pekerja, akademisi, atau bahkan media dapat membentuk persepsi masyarakat dimana pekerjaan yang stagnan merupakan hal yang wajar atau bahkan dapat dikatakan realistis. Namun, kondisi tersebut akan menormalisasi stagnasi sehingga dapat menghambat pengembangan diri. Oleh karena itu, teori Retorika Kontemporer ini dapat membantu pandangan masyarakat untuk bersikap kritis agar tidak mudah menerima narasi pasif pada ruang publik.

Di sisi lain, fenomena ini juga berkaitan erat dengan budaya masyarakat karena stabilitas dan keamanannya cenderung dihargai. Dalam budaya kelompok, para pekerja enggan untuk berpindah pekerjaan karena mereka menganggap status sebagai karyawan tetap itu penting. Ditambah lagi, dukungan keluarga yang menuntut individu untuk tetap bekerja serta menghindari risiko pengangguran meskipun kedepannya tidak ada perkembangan karier yang signifikan. Namun, fenomena seperti ini bukan berarti tidak bisa diatasi. Fenomena Job Hugging ini tidak menutup kemungkinan bahwa para pekerja juga akan melakukan hal yang sebaliknya. Mereka mungkin akan mengambil risiko untuk pindah ke posisi yang lebih menantang dan meninggalkan zona amannya demi meningkatkan karier dan memperoleh penghasilan yang lebih besar. Hal ini akan membuat perusahaan kesulitan mendapatkan pengganti yang tepat untuk mengisi posisi tersebut sehingga akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lambat.

Untuk itu, perlu adanya perubahan kebijakan dari masing-masing peran seperti pemerintah, perusahaan, dan para pekerja agar dapat meminimalisir fenomena Job Hugging. Pemerintah perlu memperluas program pelatihan dan peningkatan keterampilan untuk menumbuhkan rasa percaya diri kepada para pekerja dalam berpindah pekerjaan. Perusahaan harus menciptakan pengembangan karier untuk kedepannya agar para pekerja tidak stagnan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Terlebih lagi, para pekerja juga harus mengembangkan dirinya dengan menguasai keterampilan baru dan berani membuka peluang alternatif. Oleh karena itu, fenomena Job Hugging ini akan menjadi fase sementara untuk menuju pada transisi yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun