Dua dekade lebih sejak diberlakukannya otonomi daerah, Indonesia sempat dipuji sebagai salah satu negara dengan praktik desentralisasi fiskal yang progresif. Pemerintah daerah memperoleh porsi besar dalam mengelola anggaran, terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH). Namun, dinamika beberapa tahun terakhir memperlihatkan gejala yang berbeda, peran pemerintah pusat kembali begitu dominan, sementara kapasitas dan kewenangan daerah semakin terbatas.
Secara empiris, meski nominal transfer pusat ke daerah meningkat dari sekitar Rp 813 triliun pada 2019 menjadi Rp 857 triliun pada 2024, proporsinya terhadap APBN justru menurun dari 35,2% ke 25,8%. Ini menunjukkan ruang fiskal APBN semakin menyempit bagi transfer daerah. Ketergantungan fiskal daerah juga tetap tinggi, rata-rata mencapai 79,4%, dan di Papua bahkan lebih dari 92%. Transfer pusat mendominasi penerimaan daerah DAU saja menyumbang 60% penerimaan dan membiayai 75% belanja daerah sementara PAD berkisar hanya 16-28%, menimbulkan fenomena flypaper effect.
Menariknya, meskipun nominal TKD sempat menguat dari Rp 785,7 triliun (2021) hingga mencapai Rp 864-920 triliun di 2025, RAPBN 2026 justru mencerminkan penurunan tajam sekitar 24--29% menjadi hanya Rp 650 triliun. Ini adalah alokasi transfer terendah sejak 2021. Pemerintah memang mengalihkan sebagian anggaran ke belanja pusat yang langsung 'menembus' ke daerah, tetapi bagi banyak pemerintah daerah terutama yang masih sangat bergantung pada TKD kebijakan ini bisa mempersempit ruang fiskal, menghambat pelayanan, dan pembangunan di level lokal.
Sentralisasi fiskal kini makin terasa dengan menurunnya tren transfer pusat ke daerah. Realisasi Dana Transfer kerap terkoreksi oleh kebijakan fiskal nasional yang lebih berorientasi pada stabilitas makro, pengendalian utang, atau pembiayaan proyek strategis berskala nasional. Akibatnya, ruang fiskal daerah untuk membiayai layanan dasar, pembangunan infrastruktur lokal, hingga pemberdayaan masyarakat menjadi semakin sempit.
Fenomena ini memunculkan paradoks, di satu sisi, pemerintah pusat menuntut kinerja daerah dalam mendukung pembangunan nasional dan pencapaian target-target SDGs. Di sisi lain, instrumen anggaran dan kewenangan yang seharusnya menjadi modal daerah justru tergerus. Pemerintah daerah seringkali menjadi "kepanjangan tangan" pusat, bukan sebagai pengambil keputusan yang otonom sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokalnya.
Secara politik-ekonomi, arus balik ke sentralisasi ini bisa dimaknai sebagai strategi pemerintah pusat untuk menjaga konsistensi pembangunan nasional dan mengurangi fragmentasi kebijakan. Namun, risiko yang timbul adalah hilangnya inovasi dan kepekaan lokal. Daerah dengan karakteristik unik misalnya wilayah kepulauan, daerah perbatasan, atau daerah 3T tidak selalu bisa diselesaikan dengan pendekatan seragam dari pusat.
Selain itu, minimnya kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alam dan fiskal memperlebar jurang ketimpangan. Banyak daerah kaya sumber daya justru memiliki kinerja pembangunan rendah karena hasil eksploitasi sumber daya lebih banyak terserap ke pusat. Di titik ini, otonomi daerah seperti kehilangan ruhnya, sementara jargon "pembangunan dari pinggiran" menjadi kontradiktif.
Masa depan kebijakan ekonomi Indonesia tampaknya membutuhkan keseimbangan baru. Sentralisasi memang dapat menjamin koordinasi makro dan konsistensi kebijakan nasional, tetapi desentralisasi tetap relevan untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik lokal. Alih-alih memperdebatkan dikotomi keduanya, yang diperlukan adalah desain "desentralisasi adaptif" di mana pemerintah pusat mengarahkan hal-hal strategis, sementara daerah diberikan keleluasaan dalam inovasi, pengelolaan fiskal, dan penguatan ekonomi lokal.
Dengan realitas transfer fiskal yang menurun dan kewenangan daerah yang terbatas, opini publik perlu menyoroti urgensi reposisi peran daerah. Pemberdayaan fiskal daerah, penguatan PAD, serta ruang inovasi kebijakan lokal harus menjadi bagian dari agenda reformasi ekonomi ke depan. Tanpa itu, otonomi hanya akan tinggal nama, dan sentralisasi bisa berujung pada stagnasi pembangunan di level akar rumput.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI