Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sampai Kapan Kita Akan Membayar Uang Diyat?

28 Maret 2014   00:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_317404" align="aligncenter" width="504" caption="Darsem ketika baru tiba di tanah air dan diundang TV One di acara Karni Ilyas untuk mendapatkan sumbangan pemirsan sebesar 1,2 miliar (foto : www.lensaindonesia.com)"][/caption]

Hidup merantau di negeri orang memang tidak mudah. Banyak hal yang berbeda sama sekali, mulai dari bahasa, adat istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari sampai aturan hukumnya. Yang sederhana saja: di Indonesia, buang puntung rokok sembarangan tak ada yang melarang, sebab yang melarang hanya tulisan. Kalau dilanggar, siapa yang tahu? Kalaupun ada yang tahu, siapa yang akan memperkarakan di jalur hukum? Alhasil, di Indonesia kebiasaan buang sampah, buang puntung rokok yang masih menyala, buang ingus (maaf) sembarangan seperti sudah jadi kebiasaan. Juga menerobos lampu lalin yang sedang merah atau menyerobot antrian. Di negeri orang kita mau tak mau harus tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku di sana.

Itu baru soal “kecil”. Soal yang lebih besar adalah hukum yang berlaku bagi tindak kriminal. Kita tentu tak bisa memaksa negara lain mengikuti sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Di Arab Saudi misalnya, berlaku hukum potong tangan untuk pelaku pencurian. Untuk kasus pembunuhan, berlaku hukum “qishash” (nyawa dibalas nyawa). Artinya jika seseorang membunuh, maka ia harus menjalani hukuman pancung. KECUALI jika ahli waris korban memaafkan. Tentu kita tak bisa memprotes kenapa negara Arab memberlakukan hukum qishash, apalagi memaksa Arab menggunakan KUHP seperti di negara kita.

Karena menyangkut nyawa, maka proses penjatuhan hukuman qishosh pun tidak gegabah. Melalui serangkaian sidang pengadilan dan pemaparan bukti-bukti serta pengakuan saksi maupun pelaku di bawah sumpah. Bisa memakan waktu bertahun-tahun hanya untuk sidang saja. Apalagi kalau ada anak korban yang masih kecil, harus menunggu si anak akil balik, agar bisa mengambil keputusan apakah memaafkan pembunuh orang tuanya atau tidak. Keluarga bisa memaafkan dan berhak atas uang tebusan (diyat) yang sepenuhnya jadi hak keluarga untuk menentukan berapa nilainya. Sebaliknya jika keluarga tidak memaafkan dan tetap menuntut pelaku dihukum setimpal, maka hukuman pancung mau tak mau harus dilaksanakan dijalani.

Sayangnya, tak semua TKI yang merantau di negeri orang paham aturan dan sistem hukum yang berlaku di negara tempatnya bekerja. Ketika Darsem dibebaskan setelah ditebus diyatnya oleh Pemerintah Indonesia pada 2011 lalu, ia diundang ke TV One dan bercerita bahwa di penjara tempat dia menjalani hukuman, masih puluhan lagi rekan yang senasib dengannya. Sama-sama menanti kepastian hukum karena kasus pembunuhan. Artinya, masih banyak kasus TKW seperti Darsem. Dulu diyat Darsem “hanya” Rp. 4 miliar, Pemerintah mampu membayarkan. Kini, Satinah diminta membayar diyat Rp. 21 M, itupun sudah hasil negosiasi panjang, dari semula permintaan keluarga korban sebesar 15 juta reyal (+/- Rp. 45 M) lalu turun menjadi 10 juta reyal (Rp. 30 M) dan akhirnya turun lagi menjadi 7 juta reyal (Rp. 21M).

[caption id="attachment_317407" align="aligncenter" width="600" caption="Selebaran untuk mendapatkan keadilan bagi Siti Zaenab. Keadilan dati sisi siapa? Dari sisi keluarga korban atau pelaku? Keadilan menurut sistem hukum mana? Sistem hukum di negara TKP atau di Indonesia? (foto : m.okezone.com)"]

1395915103222260668
1395915103222260668
[/caption]

Semalam, saya menonton berita di salah satu TV swasta, ada lagi TKW bernama Siti Zaenab asal Madura yang sedang menunggu vonis pancung jika gagal memenuhi pembayaran diyat. Pada masa mendiang Presiden Gus Dur, upaya memperjuangkan Siti Zaenab sudah dilakukan. Saat itu banyak yang beranggapan Siti Zaenab dibebaskan dari hukuman. Padahal yang terjadi sebenarnya: ditunda penjatuhan hukumannya karena masih menunggu anak korban (saat itu masih anak-anak) mencapai usia akil balik. Anak itu baru berusia 17 tahun pada pertengahan 2013 lalu.

Akhirnya, kini Siti Zaenab mendapatkan putusan untuk membayar diyat sebesar Rp. 90 M! Satinah dan Siti Zaenab bukan TKI terakhir yang sedang menunggu vonis atas perbuatannya membunuh. Masih ada Tuti Tursilawati. Apalagi jika benar kata Darsem, di penjara Saudi masih banyak rekannya senasib. Lalu, bagaimana kalau ke depan ada lagi TKI-TKI yang terancam hukuman pancung jika gagal membayar diyat? Sementara nilai diyat makin membesar. Dari “hanya” Rp. 4 M untuk kasus Darsem, kini sudah mencapai Rp. 90 M untuk kasus Siti Zaenab. Akankah kita terkaget-kaget lagi dan mengumpulkan dana dari masyarakat? Atau dana APBN akan terus digelontorkan untuk membebaskan para terpidana kasus pembunuhan yang telah melalui serangkaian sidang, telah cukup fakta hukum bahwa mereka memang pelaku pembunuhan, telah ada pengakuan dari pelaku dan sejumlah bukti lain yang menguatkan? Sampai kapan kita – baik negara melalui APBN atau masyarakat melalui aksi penggalangan dana – sanggup menutup uang-uang diyat yang kita tak pernah tahu sampai seberapa nilainya?

Satu hal harus dipahami dulu: bagaimana sistem hukum yang berlaku di negara tersebut dan bagaimana proses peradilannya. Jika dalam persidangan terdakwa mengakui perbuatannya atau kalaupun berkilah namun ada cukup bukti dan saksi yang menguatkan bahwa benar dia pelaku pembunuhan yang dituduhkan, maka betapa pun Pemerintah RI menyediakan pengacara dan pendampingan, hukum qishash akan tetap dijalankan. Upaya maksimal yang bisa dilakukan adalah memohon pemaafan keluarga. Namun jika keluarga korban menuntut diyat sebagai ganti hukuman pancung, maka diyat itu harus dibayar. Lalu siapa yang seharusnya membayar? Semestinya pelaku pembunuhan dan keluarganya.

Mari kita ambil contoh pembunuhan Ade Sara. Kedua pelaku mengakui perbuatannya, barang bukti ada. Kedua orang tua Ade Sara sudah memaafkan pelaku. Tapi sesuai hukum di Indonesia, kedua pelaku tetap akan diadili. Andaikan kelak keduanya divonis hukuman mati, lalu meminta grasi kepada Presiden dan dikabulkan, maka keduanya hanya terlepas dari hukuman mati tapi tidak berarti bebas dari penjara, bukan? Hukuman matinya diganti dengan hukuman penjara seumur hidup. Siapa yang harus menjalani hukuman kurungan? Pelaku, bukan? Seandainya dalam sistem hukum Indonesia seorang terpidana bisa bebas dari hukuman kurungan asalkan menebus dengan sejumlah uang, maka siapa yang harus membayar tebusannya? Terpidana atau keluarga terpidana bukan? Fakta bahwa terpidana mengakui perbuatannya, menyatakan menyesal, keluarga korban menerima permintaan maafnya, tidak berarti sama sekali menghapus tanggung jawab hukum.

[caption id="attachment_317408" align="aligncenter" width="600" caption="Darsem menggelar pesta besar khitanan putranya, Syafei. Sebuah pesta yang digelar 2 hari 2 malam dengan mengundang pertunjukan sandiwara segala (foto : www.inilah.com)"]

13959152351861872591
13959152351861872591
[/caption]

Dalam hal “saudara” kita sebangsa mengalami kasus seperti itu dan menjadi terdakwa/ terpidana di manca negara, wajar jika kemudian muncul rasa solidaritas atas nama nasionalisme sedarah. Namun, hendaknya kita tetap bisa menempatkan pada porsinya secara proporsional. Saya ingat jaman Orba dulu, pernah juga masyarakat kita “berjuang” membebaskan seorang WNI dari hukuman gantung Malaysia, karena kedapatan membawa ganja/narkoba (kejadiannya sekitar dekade ’90-an, seingat saya Mbak Tutut ikut “memperjuangkan”). Padahal, hukum di Malaysia memang menghukum gantung siapapun yang kedapatan membawa narkoba dalam jumlah tertentu. Tapi begitulah nasionalisme yang emosional : dengan berapi-api kita berteriak meminta “sodara” kita dibebaskan. Padahal, seandainya saat itu dia tidak tertangkap, lolos dan meneruskan bisnisnya berjualan narkoba, siapa yang menikmati keuntungan?

Dalam kasus TKI yang melakukan pembunuhan, kita memang tak bisa menyamaratakan semua kasus. Ada yang membunuh karena terdesak untuk membela diri, saat itu kondisi psikis pelaku juga sedang tidak stabil, misalnya akibat tekanan yang terus menerus selama sekian lama. Namun ada pula yang melakukan pembunuhan karena sebab lain, bahkan diikuti tindak pidana lainnya, semisal pencurian harta benda milik korban. Karena itu, sangat penting bagi KBRI Jeddah, Kemenakertrans atau pihak manapun yang berkompeten, untuk menjelaskan secara gamblang apa kasus yang dituduhkan kepada Satinah dan bagaimana proses peradilannya. Sebab, dalam kasus Darsem, saya baca dari beberapa berita, ternyata pembunuhan yang dilakukannya cukup keji juga. Bahkan selama di penjara pun dia sempat berjoget-joget, artinya tak ada penyesalan dann perasaan tertekan.

Satu hal lagi, jika Darsem mentalitasnya baik, tentu dia tak menggunakan uang sumbangan pemirsa TV One sebesar Rp. 1,2 miliar rupiah untuk berfoya-foya. Bahkan pengacaranya pun – Elyasa Budianto – menyebutnya “toko emas berjalan”. Bahkan, uang yang diamanatkan untuk dibagi dengan ahli waris keluarga almarhum Ruyati (TKW yang dihukum pancung), akhirnya hanya diberikan Rp. 20 juta saja, itupun setelah didesak oleh Migrant Care dan putri almarhum Ruyati pergi ke rumah Darsem di Subang di dampingi staf Migrant Care. Padahal, Darsem bisa bebas dengan ditebus diyatnya oleh Pemerintah RI berkat tekanan pasca dipancungnya ibu Ruyati. Dengan kata lain, Darsem “diuntungkan” kasus Ruyati.

[caption id="attachment_317409" align="aligncenter" width="565" caption="Darsem yang mendadak kaya karena sumbangan pemirsa TV untuk menebus diyatnya (foto : www.tribunnews.com)"]

13959153781170286420
13959153781170286420
[/caption]

Tidak semua warga negara kita sudah pasti tidak bersalah. Jika ada bukti kuat bahwa dia melakukan tindak pidana, apalagi ada pengakuan dari pelaku, maka memang sudah selayaknya dia menjalani hukumannya. Contoh lain misalnya, saya pernah menonton acara 3_60 di Metro TV tentang Rumah Penampungan Anak TKW yang letaknya tak jauh dari Bandara Soetta. RPA TKI itu didirikan untuk menampung bayi-bayi yang ditinggalkan begitu saja oleh ibunya di toilet bandara ketika seorang TKW tiba di Indonesia, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya. Dengan keberadaan RPA TKI, bayi-bayi itu ditampung sementara, sedangkan ibunya diberi kesempatan hingga 6 bulan untuk mengambil kembali anaknya. Jika lebih dari itu, maka bayi itu akan diasuh RPA TKI.

Ternyata, tak semua bayi itu hasil perkosaan, ada pula yang hasil hubungan gelap. Jangan salah, meski seorang TKW berangkat dengan status sudah bersuami, di sana tak dijamin akan tetap setia dan mampu menjaga diri dari hubungan dengan sesama TKI atau bahkan dengan warga negara lain (Bangladesh, India, dll.) yang juga mencari peruntungan di Arab. Tak jarang, dalam hubungan pacaran itu mereka melakukan hubungan badan yang berakibat kehamilan. Ketika majikan tahu, si TKW diusir, lalu menuntut pertanggungjawaban pacarnya. Akhirnya, meski biaya persalinan ditanggung dan dipulangkan ke tanah air, bayi itu terpaksa dibawa. Tapi untuk dibawa sampai ke kampung halaman, oh..., nanti dulu! Disana sudah ada suami dan sudah punya anak, belum lagi pandangan sinis tetangga. Karena itu, akhirnya bayi tak berdosa itu ditinggalkan di toilet bandara, sampai akhirnya ada RPA TKI. Artinya : terkadang TKW/TKI kita di manca negara ada yang berbuat kesalahan fatal bahkan melakukan tindak kriminal. Inilah yang seharusnya kita pahami dan coba kita ketahui lebih jauh, sampai sejauh mana kesalahan TKI/TKW kita.

Kalau seandainya kita terus menerus begini, tak kunjung belajar dari kasus Darsem, maka sampai kapan kita akan menebus diyat-diyat yang makin lama makin membengkak nilainya? Sementara TKI kita di sana tidak juga berhati-hati dalam bertindak, tidak paham sistem hukum yang berlaku, bahwa jika dia melakukan pembunuhan maka resikonya akan dihukum pancung. Kalau tak ingin dipancung, sediakan diyat yang nilainya milyaran. Kalau sekarang Siti Zaenab nilai diyatnya Rp. 90 miliar, bisa jadi 2-3 tahun ke depan kita akan disuguhi fakta TKI kita dihukum membayar diyat lebih dari Rp. 100 miliar. Akankah kita sanggup urunan sejumlah itu? Padahal, dompet kemanusiaan yang dibuka stasiun TV swasta untuk menggalang dana bantuan bencana alam saja sampai berbulan-bulan baru terkumpul jauh di bawah Rp. 10 M. Bagaimana jika misalnya ada TKI yang harus membayar diyat puluhan miliar sementara di tanah air ada saudara kita yang tertimpa musibah bencana alam? Apakah kita akan mengumpulkan dana untuk menolong ribuan saudara kita yang kena bencana atau menolong satu orang yang terpidana akibat perbuatannya? Apakah kita kemudian akan meminta Pemerintah untuk menganggarkan pos “Pembayaran Diyat” di APBN? Sampai sejumlah berapa dan untuk berapa orang?

[caption id="attachment_317410" align="aligncenter" width="620" caption="Bahkan mantan pengacaranya pun menyebut Darsem bak toko emas berjalan yang sombong (foto : www.kaskus.co.id)"]

1395915449918706901
1395915449918706901
[/caption]

Tidakkah lebih baik kita meletakkan solidaritas dan nasionalisme dalam ruang yang lebih luas, tidak sempit kasus per kasus? Sebaiknya, lakukan moratorium total pengiriman TKI sektor informal ke negara Arab (minimal) dan tarik pulang semua TKI yang saat ini over stay dan menggelandang di kolong-kolong jembatan. Mereka yang masuk secara illegal atau menggunakan visa umroh, berkedok beribadah namun ternyata bekerja, semuanya dipulangkan saja. Lebih baik negara keluar uang untuk ongkos mencarter kapal/pesawat untuk memulangkan mereka. Lalu setiba di tanah air, mereka tetap harus menjalani hukuman akibat perbuatan/pelanggarannya. Ini akan memberikan pembelajaran sekaligus efek jera agar warga negara kita tak hanya tergiur gaji besar jadi PRT di manca negara, tanpa paham resikonya. Tanpa ada penghentian pengiriman TKI unskilled yang bekerja di sektor informal, masalah demi masalah akan terus ada dan eskalasinya makin besar.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun