Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana di Usia ke-4 Tahun : Bagaimana Sebaiknya Pendanaan Sebuah Situs Jurnalisme Warga

20 November 2012   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:00 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ajang Kompasianival sudah 3 hari berlalu. Yang tersisa mungkin sedikit kepenatan bagi mereka yang berjibaku mendekor booth dan standby seharian, atau keriaan yang kesannya masih terkenang di sanubari bagi mereka yang sekedar hadir dan happy-happy bertemu dengan sesama Kompasianer seperti yang saya lakukan. Sudah banyak sekali tulisan dalam 3 hari ini yang menuliskan kemeriahan acara Kompasianival, yang bercerita lewat foto pun komplit. Saya sengaja tak akan menuliskan gemerlapnya ajang Kompasianival, sebab selain kualitas jepretan foto saya jauh dari menarik, juga karena saya hadir di situ cuma dari siang sampai jam 7 malam saja. Jadi tak terlalu banyak yang bisa saya ceritakan dan tentunya ilustrasinya pun kalah menarik dibanding yang lain.

Namun ada satu hal yang justru menarik saya pikirkan. Seusai event Kompasianival yang jadi puncak perayaan HUT ke-4 Kompasiana, berarti saat ini Kompasiana kita telah memasuki tahun ke-5. Meski terbilang masih “balita”, Kompasiana telah tumbuh menjadi balita hebat. Setidaknya di Indonesia telah jadi situs jurnalisme warga terbesar yang tingkat trafficnya selalau tinggi. Membernya mencapai lebih dari seratusan ribu – termasuk ribuan akun kloningan yang sengaja dibuat menjelang Pilkada, ketika ada kisruh di tubuh PSSI atau ketika ada konflik antar Kompasianer. Jumlah tulisan yang diposting mencapai hampir seribuan tulisan perhari. Prestasi yang membanggakan untuk sebuah situs yang baru berusia 4 tahun.

Dari hasil kopdar dan ngobrol-ngobrol santai sambil makan siang di Cafe DeResto, Pasar Festival kuningan, hari Minggu kemarin, kami beberapa Kompasianer yang sering meramaikan kanal Polhukam, sempat membicarakan fenomena para politisi yang belakangan ini mulai “melirik” para blogger. Sebab, media mainstream kini mulai mengalami krisis kepercayaan dari pemirsa/ pembacanya karena adanya kooptasi kepentingan pemilik media. Belakangan memang muncul pengusaha-pengusaha besar yang mulai menerjunkan diri ke dunia politik, lalu dengan modal yang dimiliki, mereka membangun bisnis media, baik berupa media TV, koran, radio maupun portal berita. Akibatnya, netralitas berita yang dipublikasikan seringkali tidak cukup berimbang bahkan terang-terangan berpihak. Tentu ini tak salah, sebab bukankah sebagai owner mereka membangun industri media memang untuk menyebarkuaslan kepentingannya?

Nah, di tengah menipisnya kepercayaan pada media mainstream, di sisi lain tumbuh kembang dunia cyber yang sedemikian pesat di Indonesia telah melahirkan banyak blogger yang tulisan-tulisannya dianggap mampu mempengaruhi dan menyebarluaskan opini. Itu sebabnya, sejak Pilpres 2009, kelompok blogger termasuk komunitas baru yang seolah “wajib disambangi” dan diajak berdialog oleh para kandidat atau wakilnya, selain pasar tradisional dan terminal bis.

[caption id="attachment_217262" align="aligncenter" width="400" caption="foto : lipsus.kompas.com"]

13534063981366473517
13534063981366473517
[/caption]

Kompasiana, sebagai blog keroyokan tentu juga punya kontribusi tak sedikit dalam hiruk pikuk perpolitikan tanah air. Terbukti, menjelang event Pilkada, ada saja pejabat atau politisi yang berniat maju dalam ajang Pilkada, kemudian membuat akun di Kompasiana, meski setelah Pilkada berlalu, akun itu tak pernah lagi aktif bahkan tak pernah tertarik membaca tulisan yang mengupas mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerahnya. Akun Ibu Ratu Atut Chosiyah, misalnya.

Begitupun menjelang dan selama Pilgub DKI, mendadak muncul ratusan – bahkan kabarnya ribuan – akun-akun baru yang tak pernah memposting tulisan tapi rajin berkomentar bahkan saling serang di tulisan yang khusus membahas masalah Pilkada DKI. Apalagi ketika Pilgub hendak memasuki putaran ke-2, kubu pendukung Foke-Nara dan Jokowi-Ahok pun saling mengerahkan akun-akunnya di dunia maya untuk melakukan perang opini.

Fenomena lain, ketika DPR sedang dihujat karena kebijakan-kebijakannya yang kontroversial dan tak berpihak pada rakyat, ketua DPR Marzuki Alie yang juga Kompasianer, menyempatkan diri menulis di Kompasiana, untuk mencoba mengkomunikasikan pemikiran para wakil rakyat yang hampir selalu tak sinkron dengan pemikiran rakyat yang diwakilinya.

Itu hanya sebagian dari fenomena yang sudah terjadi. Menjelang 2014 nanti, bisa jadi akan makin banyak saja aktivis parpol atau politisi yang memanfaatkan situs jurnalisme warga menjadi penyambung lidahnya. Perang kepentingan antar member akan makin seru. Itu sah-sah saja, sebab setiap orang berhak menuliskan opini, perspektif dan fakta yang dialami/dilihatnya, sepanjang tidak menjurus pada tindakan fitnah dan pembunuhan karakter yang tidak benar.

[caption id="attachment_217263" align="aligncenter" width="400" caption="Dua Purnawirawan Jendral yang ikut ngeblog di Kompasiana (foto : oase.kompas.com)"]

13534068111792695679
13534068111792695679
[/caption]

Nah, kembali ke Kompasiana, sudah siapkah Kompasiana menyambut tahun politik itu? Ke depan member Kompasiana akan makin banyak. Ribuan akun yang terverifikasi maupun tidak, yang asli memang dimiliki oleh seseorang atau yang kloningan dioperasikan oleh satu orang atau organisasi tertentu, akan makin meramaikan Kompasiana. Bagaimana kesiapan Kompasiana mengantisipasi semua ini? Traffic akan makin padat, frekwensi kunjungan akan makin tinggi dengan makin serunya perdebatan di kolom-kolom komentar. Tentu semuanya membutuhkan dukungan sistem IT yang handal dan bisa diandalkan. Seperti kita tahu, sebulan terakhir ini Kompasiana justru sering “sakit”. Hari ini pun, sempat tak bisa mengakses laman dashboard dan profil serta tak bisa meng-click “write a post”. Tentunya, pengguna dan pembaca Kompasiana berharap banyak, semua kekacauan ini dapat segera teratasi.

Untuk membangun sistem IT yang handal, tentu butuh biaya tak sedikit. Agar moderasi tulisan bisa terlaksana dengan baik dan masukan/ laporan dari pengguna lebih cepat tertangani, butuh makin banyak Admin yang mumpuni dan itu juga butuh biaya. Tak dipungkiri, situs jurnalisme warga pun butuh pasokan dana yang besar dan lancar. Dari mana semua itu bisa di dapat? Tentu dari sponsor, sama seperti media mainstream. Hanya saja, media warga memiliki keterbatasan soal iklan yang patut dan tak patut ditayangkan. Saya menggunakan istilah “patut” dan “tak patut”, dan bukan istilah “boleh” dan “tidak boleh”.

Jurnalisme warga seyogyanya pengelolaannya bebas dari kooptasi kepentingan kubu politik manapun. Para penulisnya, yang hanya terikat oleh Term and Condition dan tidak terikat kode etik jurnalis profesional, bisa saja punya beragam kepentingan dan mengusung warna politiknya masing-masing. Tulisan yang diposting bisa saja terang-terangan mempropagandakan kepentingan kelompok atau golongan tertentu tergantung siapa penulisnya. Pengelola akan menindak tulisan jika melanggar TaC. Selama masih dalam koridor TaC, maka muatan politis dari sebuah tulisan tetap sah-sah saja. Penulis lain yang tak sependapat bisa membuat tulisan tandingan. Publik/ pembaca lah yang akan menentukan mana tulisan yang lebih “laku” dijual atau penulis mana yang lebih bisa mempengaruhi opini publik. Hubungan penulis dengan pengelola sifatnya free lance dan sukarela alias tak berbayar. Tapi tanpa kontribusi penulis, maka media warga tak punya konten yang bisa dipasarkan.

[caption id="attachment_217264" align="aligncenter" width="500" caption="Jangan sampai wajah Kompasiana bopeng dengan iklan politik (kapita-fikom-untar.blogspot.com)"]

1353408481152767955
1353408481152767955
[/caption]

Lalu bagaimana batas kelayakan iklan yang boleh mendanai sebuah media jurnalisme warga? Selain tak menayangkan iklan yang melanggar norma sosial dan susila yang berlaku di masyarakat, iklan produk yang membahayakan kesehatan, tak kalah penting pula media warga harus steril dari iklan politik. Bang Iwan Piliang yang hadir di acara kopdar itu, terang-terangan mengatakan situs jurnalisme warga tak boleh menggantungkan dananya dari phak yang sedang berkuasa. Lebih luas dari itu, saya justru berpendapat tak sebatas pada pihak yang sedang berkuasa, namun juga dari semua kekuatan sosial politik yang ada. Sebab tak menutup kemungkinan, suatu organisasi sosial atau parpol yang saat ini sedang tak berkuasa, bisa saja kemudian memenangkan kontestasi politik. Dengan tidak menerima iklan atau pendanaan dari kelompok orsospol manapun, pengelola media warga akan tetap bisa menjaga independensinya dari kooptasi kepentingan politik.

Lebih jauh lagi Bang Iwan Piliang mengusulkan agar lebih akuntable, sebaiknya pengelolaan pendanaan media warga dibuat transparan, ibaratnya seperti “kotak amal masjid”. Misalnya diumumkan dalam bulan ini berapa pemasukan dari iklan, digunakan untuk apa saja, apakah itu pengembangan sistem, investasi piranti, bahkan untuk penyelenggaraan event-event tertentu semacam Kompasianival dan lomba-lomba penulisan. Dengan demikian, para member yang juga sekaligus menajdi “stake holder” dari situs media warga itu akan lebih percaya bahwa mereka tak salah bergabung dalam suatau wadah yang dijamin independensinya karena tak ada pendanaan yang didapat dari unsur politik.

Tahun 2013, beberapa Propinsi besar seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan  menggelar hajatan Pilgub. Semoga saja Kompasiana tak lagi menyediakan diri menjadi sarana kampanye bagi salah satu atau lebih pasangan Cagub, seperti yang terjadi saat Pilgub DKI dengan mengusung pasangan Hidayat – Didik, meski diakui itu murni iklan komersiil. Pun juga saat Pileg dan Pilpres di 2014 nanti, jangan sekali-kali Kompasiana melacurkan integritasnya dengan menjual kolom atau rubrik pada partai politik atau pasangan Capres-Cawapres tertentu.

Semoga di usianya yang memasuki tahun ke-5 ini Kompasiana benar-benar bersiap menjadi situs jurnalisme warga terbesar dan paling dipertimbangkan, yang mampu menebarkan pengaruhnya dan menginspirasi warga untuk menyuarakan aspirasinya. Bravo Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun