Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Janda" Status yang Ditakuti dan Dihindari Perempuan (Bagian-2)

28 Mei 2012   10:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41 2952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_184138" align="aligncenter" width="533" caption="(foto : karya Arif Subagor dari Grup KAMPRET)"][/caption]

CERITA SEBELUMNYA ADA DI SINI

17 Agustus 2007

Aku dan Rosda dalam perjalanan pulang dari kantor, usai menjadi panitia HUT Kemerdekaan RI yang ke – 62 tahun. Tahun ini perusahaan tempat kami bekerja mengambil thema game-game building teamwork untuk dilombakan. Aku dan Rosda satu Divisi hanya beda Departmen. Dulu kami pernah seruangan selama beberapa tahun. Usia yang sama membuat kami akrab dan bersahabat. Hanya saja, sudah cukup lama aku dan Rosda tak bertukar serita masalah pribadi, sejak aku harus ikut pelatihan di LN selama setahun dan Rosda cuti melahirkan, kami

Sebuah tembang lawas milik Vina Panduwinata mengalun dari radio mobil. “Mengapa cinta kita yang t’lah lama ada, s’lalu penuh dengan amarah dan prasangka. Apakah karna kita manusia biasa yang mudah alpa dan melupakannya…”. Belum usai lagu itu berkumandang, dari mulut Rosda sudah meluncur curhatan tentang rumah tangganya. Makin lama Rosda makin larut dalam ceritanya, akhirnya kuputuskan kami menuju ke sebuah kedai makan lesehan, hari libur nasional begini pasti sepi.

Ternyata, pernikahan Rosda dan Alif yang sudah berjalan 8 tahun, kini di ujung tanduk. Alif yang kini sukses dengan kantor Notaris miliknya di Kalimantan, mulai melupakan Rosda. Repotnya, dalam kondisi seperti ini Rosda tak bisa mengadu pada orang tuanya, terlebih ibunya. Sebab pernikahannya 8 tahun lalu ditentang habis-habisan oleh ibunya.

Rosda dan Alif teman sekantor ketika mereka masih sama-sama bekerja di sebuah bank swasta. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997, membuat Pemerintah mengambil kebijakan melikuidasi sejumlah bank, termasuk bank tempat mereka bekerja. Rosda dan Alif menerima pesangon yang jumlahnya tak seberapa, sebab asset bank tempat kerjanya kini dalam penguasaan BBPN. Rosda yang seorang sarjana Psikologi lalu bergabung bersama teman-temannya yang memiliki lembaga psikologi. Dari sana ia mendapat pekerjaan part-time sambil mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan. Sedang Alif yang Sarjana Hukum memilih melanjutkan studinya dan mengambil spesialisasi Notariat.

Rosda yang berasal dari keluarga terpanda, anak pertama dari 2 bersaudara, telah disiapkan jodoh oleh ibunya dengan anak seorang ulama asal Jawa Tengah. Tapi Rosda menolak, hatinya telah tertambat pada Alif yang asal Kalimantan. Akhirnya, keduanya menikah di tahun 1999, meski hanya atas restu ayah Rosda. Setelah menikah, Rosda langsung hamil dan selang beberapa bulan setelah melahirkan ia diterima bekerja di perusahaan tempatku bekerja dan mulai bersahabat denganku.

[caption id="attachment_184139" align="aligncenter" width="400" caption="(foto : ehow.com)"]

1338199738982661267
1338199738982661267
[/caption]

Selama Alif belum bekerja, praktis Rosda yang membiayai rumah tangga mereka. Sejak kelahiran cucunya, Ibunda Rosda luluh hatinya dan mengajak Rosda tinggal di samping rumah mereka, yang memang dipersiapakna untuk Rosda jika telah menikah. Tapi rupanya Alif memang tak pintar mengambil hati mertua. Hari demi hari pertengkaran selalu saja terjadi antara Alif dan Ibunda Rosda. Tingkah polah Alif dianggap kurang sopan oleh Ibunda Rosda. Ini menempatkan Rosda pada posisi sulit.

Akhir 2001, Alif yang sudah keluar ijinnnya mendirikan kantor Notaris, bertekad untuk memulai langkahnya di Kalimanatan. Rosda menjual rumah yang dibelinya ketika masih gaids dan seperangkat perhiasan emas pemberian ortunya, tanpa sepengetahuan ibunya. Semua itu untuk membiayai kepindahan Alif dan menyewa rumah sekaligus kantor dan pengadaan berbagai ATK dan perlengkapan kantor. Sementara Rosda dan Erfan, anak semata wayangnya, tetap tinggal di Surabaya.

Singkat cerita, dalam hitungan 3 tahun, kantor Notaris Alif maju pesat. Alif bisa mengirim uang bulanan yang cukup besar untuk Rosda, tapi seiring itu, ia makin otoriter dan diktator pada Rosda. Tahun 2005, Rosda hamil anak kedua sementara ia harus menyelesaikan pendidikan S2-nya. Ironisnya, kehamilannya ini justru seolah tak didukung oleh Alif. Saat kelahirannya pun, Alif datang terlambat meski telah diberitahu jauh-jauh hari perkiraan jadwal kelahirannya.

Akhirnya, tahun 2006 Rosda tahu suaminya berselingkuh dengan pegawainya, Christien. Singkat cerita, segala upaya baik-baik telah dilakukan Rosda baik dengan menghubungi Christien maupun menasehati suaminya, tapi Alif tetap saja berselingkuh. Sampai suatu malam Erfan rewel dan minta diteleponkan Papanya. Alif pun ditelepon dan Rosda membiarkan anaknya ngobrol dengan Papanya. Saat Erfan menyodorkan kembali telepon itu padanya, Rosda mengira Alif telah mematikan telepon. Rupanya Alif lupa belum mematikan telepon dan memasukkan HP ke saku kemeja. Dari sanalah Rosda mencuri dengar obrolan Alif dengan rekan-rekan prianya, yang rupanya sedang hang out di café, pria-pria nakal itu sedang bertukar cerita tentang wanita-wanita jalang yang pernah mereka nikmati.

Rosda shock! Kini ia tahu kenapa setiap kali pulang ke Surabaya, Alif menolak tidur dengannya. Bahkan pernah tangannya tak sengaja menyentuh kaki Alif karena akan mengambil selimut, reflek Alif menepisnya. Sakit sekali hati Rosda diperlakukan seperti itu. Terlebih Alif pernah mengusirnya di depan Christien, karena berani-beraninya datang ke rumah sekaligus kantornya di Kalimantan tanpa seijin Alif. Padahal, rumah itu disewa dengan uang Rosda, hasil penjualan rumahnya di Surabaya.

“Soal cinta, sekarang aku sudah gak punya rasa sedikitpun, Mbak Ira”, ucap Rosda. Lalu kutanya, kenapa ia tak mengajukan cerai saja. Rosda cantik, masih muda, potensial dari sisi akademis, anak orang terpandang. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Toh selama ini Alif yang “menumpang hidup” darinya? “Aku gak mau merusak nama baik orang tuaku, Mbak”, jawab Rosda. “Apa kata orang kalau aku sampai bercerai. Apalagi dengan ibuku”. Kukatakan pada Rosda, meski dulu dia pernah melawan kehendak ibunya dengan menikahi lelaki pilihannya sendiri, kurasa ibunya tetap akan berpihak padanya jika tahu putri cantiknay diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Tapi Rosda tetap tak berani bercerai.

Singkat cerita, Rosda keluar dari perusahaan tempat kami bekerja dan pindah ke perusahaan lain. Karirnya kini makin cemerlang. Belakangan ia bahkan membangun bisnis konsultan sendiri dan membuatnya makin sibuk terbang ke seantero tanah air, memenuhi undangan perusahaan yang meminta jasanya atau menjadi pembicara dalam seminar dan lokakarya.

[caption id="attachment_184140" align="aligncenter" width="300" caption="(foto : psicozoo.it)"]

1338199831700982317
1338199831700982317
[/caption]

Pertengahan Agustus 2011, 4 hari sebelum aku berangkat umroh, Rosda menulis inbox di FB-ku, titp agar didoakan segera mendapat jodoh. Aku kaget! Kubalas inboxnya dan bertanya apa mereka sudah bercerai. Rosda hanya menjawab tepat seminggu yang lalu, hari ke-6 Ramadhan, Alif mengajaknya bicara dan mereka sepakat untuk bercerai. Entah kapan realisasinya, sampai saat ini baru mereka berdua yang tahu. Anak-anak dan ortu Rosda maupun Alif belum diberitahu. Aku orang ketiga yang tahu. Aku hanya bisa mendoakan agar Rosda diberi yang terbaik.

Lama tak terdengar kabar, aku hanya sempat membaca status facebook Rosda yang sedikit membingungkan. Akhirnya cerita lengkap malah kudapat dari seorang teman, Mirna, yang tak sengaja bertemu Rosda di sebuah Perusahaan tempat klien Mirna. Ia dan Rosda sama-sama sedang menunggu kesempatan presentasi. Maklum keduanya sama-sama bekerja di Perusahaan konsultan. Sambil menunggu itulah Rosda cerita, ia telah resmi dicerai Alif secara sepihak. Rupanya persetujuannya untuk bercerai langsung ditindaklanjuti Alif dengan mendaftarkan gugatan, tanpa memberitahu Rosda. Surat panggilan dari Pengadilan Agama diterima bapak Rosda, karena dialamatkan ke rumah bapaknya. Dari sanalah Rosda dan keluarganya tahu ia digugat cerai Alif.

Rosda yang sejak awal takut bercerai, tak berani menjanda karena khawatir perceraiannya akan mencemarkan nama baik orang tuanya, kini justru harus menerima kenyataan dicerai sepihak oleh Alif, karena wanita selingkuhan Alif sudah hamil tua dan menuntut segera dinikahi. Perjuangannya menahan derita disakiti dan dilecehkan suami selama hampir 6 tahun, hanya agar tak menjadi jandi, ternyata tetap berujung pada perceraian dan Rosda pun tak bisa memungkiri takdir untuk menjanda.

KEJAMNYA STIGMA JANDA YANG DILEKATKAN MASYARAKAT

Kisah Nia yang tetap berusaha bertahan tak mau bercerai dari Judith serta Rosda yang mati-matian untuk tak bercerai dari Alif, hanya sedikit dari sekian banyak perempuan yang memilih “emnikmati” deritanya hanya karena tak mau mendapat cap “janda”. Keduanya wanita yang mandiri secara ekonomi, berpendidikan cukup tinggi, berasal dari keluarga kelas menengah yang mapan, sama-sama wanita baik-baik, terjaga perilaku dan pergaulannya, tapi tetap saja mereka enggan menyandang status janda yang hampir selalu konotasinya negatif di tengah masyarakat.

[caption id="attachment_184141" align="aligncenter" width="300" caption="(foto : gulyswr.net)"]

1338199908441899547
1338199908441899547
[/caption]

Nuri, sahabat saya yang lainnya, terpaksa menjanda karena takdir memisahkannya dengan Dedy saat usia pernikahannya baru 16 bulan dan bayi mungil buah cinta mereka baru berumur 6 bulan. Dedy meninggal mendadak usai makan sahur dan menunggu adzan Subuh. Saat waktu imsyak tiba, Dedy tiba-tiba mengeluh sakit perut yang luar biasa lalu menyerang ulu hati dan saat adzan Subuh berkumandang, ia menghadap Ilahi Robbi. Nuri yang putri seorang tokoh agama di lingkungan tempat tinggalnya, sepeninggal Dedy langsung kembali pulang ke rumah orangtuanya.

Meski begitu, Nuri tetap merasa sorot mata tetangga meliriknya dengan penuh tatapan curiga jika ia menerima tamu laki-laki. Padahal, tamu itu teman baiknya sejak dulu. “Makanya kalau ada teman cowok, pintu rumah sengaja aku buka lebar-lebar Mbak, biar tetangga bisa lihat kami lagi ngapain, saya duduknya dimana” ujar Nuri tersenyum kecut. Padahal sejak masih gadis Nuri dikenal sebagai wanita yang santun. Tapi tetap saja stigma janda dan kecurigaan tetangga ikut berimbas padanya, yang terpaksa menjada bukan atas pilihannya, tapi karen atakdir menentukan demikian.

Lain lagi dengan Kenny. Perempuan yang cuek dan ndableg ini memilih bercerai dari suaminya yang kedapatan menikahi wanita simpanannya. Kenny sendiri bukannya tak tahu suaminya mulai berselingkuh. Ia pun membalas perselingkuhan suaminya dengan balik berselingkuh. Tapi ketika akhirnya suaminya malah menikahi selingkuhannya dan punya anak dari perkawinan sirrinya, Kenny akhirnya menyerah dan meminta cerai. Segenap harta suaminya sudah dikuasainya lebih dulu. Jadi Kenny tak perlu pusing memikirkan soal ekonomi.

Lalu, beranikah Kenny yang cuek ini mengemban status janda? Ternyata tidak! Ia sengaja tak mau mengubah status “MENIKAH” yang ada di KTP-nya, meski putusan pengadilan sudah jatuh sejak tahun 2005 lalu. 2x memperbarui KTP karena habis masa berlaku, Kenny tetap tak mau mengubah statusnya. Ia bahkan kesal kenapa status “Janda” harus dicantumkan dalam KTP. Meski tampak cuek, memilih gaya hidup sedikit bebas dan sering berpetualang ke berbagai negara hampir semua benua telah disinggahinya, toh Kenny tetap risih jika harus disebut “janda”.

Kerabat jauh sepupu saya, seorang dokter gigi yang telah setahun bercerai dengan suaminya, terpaksa “meminjam” mantan suaminya untuk mendampinginya saat pengukuhan gelar Doktor-nya. Ini dilakukan karena ia tak mau relasinya tahu ia tak lagi bersuami.

Semua contoh yang saya ceritakan, berasal dari kalangan terpelajar, kelas menengah atas, tidak tinggal di kampung padat penduduk yang memiliki aktivitas sosial bersama atau di jaman para tetangganya suka ngerumpi sambil mencari kutu. Tapi tetap saja mereka terbebani dengan status janda sehingga akhirnya dengan caranya masing-masing mereka mencoba menghindari atau memerangi kejandaan mereka.

Dulu, sekitar tahun ’70-an citra seorang ibu tiri sangatlah buruk. Terutama akibat film “Ratapan Anak Tiri” yang dibintangi Faradilla Sandi. Ibu tiri identik dengan perempuan kejam, mirip tokoh ibu tiri dalam dongeng Cinderella. Kini, perlahan-lahan image itu hilang. Anak tak lagi terlalu takut dengan ibu tiri. Banyak anak yang bahkan menyuruh ayahnya mencari ibu baru, jika terjadi perpisahan diantara kedua orang tuanya.

Nah, mungkinkah suatau saat nanti citra yang melekat pada status “janda” juga akan mengalami metamorfosis seperti ibu tiri? Saya rasa sudah saatnya kita memulai menghapus konotasi negatif yang disandangkan pada seorang janda. Bukankah mereka pun tak ingin mengalami perpisahan dalam rumah tangganya? Bukankah dengan menjadi orang tua tunggal saja sudah berat bagi mereka? Lalu kenapa masyarakat kita masih harus menambah berat beban itu dengan menyandangkan stigma negatif pada perempuan yang menjanda? Marilah berempati pada luka batin mereka. Kalau kita mau melihat mereka tidak dengan sebelah mata, banyak sekali janda-janda yang baik, yang mereka pun ingin tetap memelihara citra baik diri mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun