Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Dan Para Ikan pun Urung Mengajukan Petisi

10 Januari 2012   06:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:05 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_155002" align="aligncenter" width="500" caption="Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Ikan"][/caption]

Perhatian : dilarang baca tulisan ini sambil makan! Banyak kata-kata “kotor” didalamnya.

Suatu hari, di suatu tempat di dasar selat Sunda terjadi kesibukan luar biasa. Pagi itu matahari masih malas menampakkan senyumnya. Sinarnya belum menembus sampai ke dasar laut. Tapi tak mengurangi kesibukan di ruang Samudera II, tempat akan dilangsungkannya sidang Paripurna DPR RI – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Ikan. Jam 8.30 Waktu Selat Sunda (WSS) ratusan ikan dari berbagai spesies sudah berdatangan. Sepintas parkiran memang terlihat sepi, tak satu pun kendaraan terparkir. Semua ikan-ikan itu datang tanpa naik kendaraan, meski ada yang habitatnya nun jauh dari Selat Sunda. Alasan mereka sederhana : kalau sirip tak dipergunakan nanti bisa lemot, sama dengan otak, kalau tak sering-sering diajak mikir hal-hal yang penting, nanti bisa karatan dan berkerut.

Jam 8.45 WSS, 560 ekor ikan sudah berkumpul di ruang Samudera II dan absensi mereka sudah penuh. Cara absennya masih tradisional : masing-masing ikan menempelkan siripnya ke dasar laut sampai meninggalkan jejak. Dengan cara itu, tak satupun ikan yang bisa titip absen. Tepat jam 09.00 WSS, Ikan Piranha yang menjabat sebagai Ketua DPR RI mengetukkan palu tanda sidang dimulai. Kontan para ikan itu berkonsentrasi mendengarkan pidato Ketuanya. Sidang Paripurna kali ini bisa dibilang sangat penting sebab mereka akan membawa hasilnya kepada sekelompok manusia terhormat yang berkantor di Senayan. Masalahnya ikan-ikan itu tak terima akhir-akhir ini nama mereka dijadikan bahan olok-olok oleh para anggota Dagelan Parodi Rakyat Republik Indungnesa. Kebetulan singkatannya sama : DPR RI.

[caption id="attachment_155003" align="alignleft" width="300" caption="Piranha Sang Ketua DPR Rep. Ikan"]

13261781101472816001
13261781101472816001
[/caption]

“Saya sangat tersinggung dan merasa terhina dibilang saya berbeda antara pikiran dan perbuatan!” lantang Ikan Piranha meneriakkan kemarahannya. “Padahal apa buktinya saya punya sifat seperti itu? Tampang saya yang serem, sorot mata saya yang tajam menantang dan taring saya tajam menakutkan ini selalu saya perlihatkan tiap kali melihat manusia, supaya mereka waspada terhadap saya. Saya memang pemakan daging, sesuai fitrah saya sebagai carnivora. Karenanya saya selalu menampilkan tampang seram dan garang. Coba, mana pernah saya bertampang sok alim, sok kalem, tapi tiba-tiba menghancurkan mangsa saya?! Saya selalu memberi sinyal pada manusia dengan tampang garang saya, supaya mereka jangan sekali-kali memasukkan jari tangannya ke akuarium saya, sebab dalam tempo semenit bisa tinggal tulang! Jadi saya justru ikan yang paling extrovert! Tidak jaim!” protes Piranha. “Mana lebih konsisten saya dengan manusia yang ngatain saya? Saya tak pernah mengklaim diri saya bersih dan peduli, saya gak pernah pakai atribut supaya kelihatan alim. Dan saya gak pernah berpura-pura gak suka makan daging!” Piranha masih marah.

[caption id="attachment_155004" align="alignleft" width="300" caption="Salmon"]

13261782072389188
13261782072389188
[/caption]

“Saya juga gak terima Boss!” Ikan Salmon menambahkan. “Mosok saya yang kalem dan santun begini dibilang asal ngomong. Boss kan tau sendiri saya type ikan pendiam,gak banyak omong. Itu makanya saya jadi hidangan kelas menengah atas” Salmon yang rada narsis menambahkan. “Padahal yang menyebut itulah yang suka asal ngomong. Dia sendiri kayak ikan Mas Koki!” si Salmon menambahkan. “Stop! Jangan ngawur kau Salmon! Aku tak terima manusia itu disamakan dengan diriku!” Ikan Mas Koki menginterupsi. “Oke, maaf Mas Koki, aku salah ucap. Kutarik lagi ucapanku” dengan nada memelas Salmon meminta maaf pada Mas Koki.

“Pak Ketua yang terhormat, saya ijin bicara” kata Teri Asin yang bertubuh kecil. “Silakan Teri Asin”, Piranha dengan tegas menyilakan. “Saya juga tak terima Pak Ketua, dibilang saya ini suka teriak sana sini. Padahal dari dulu saya ini dikatain dan dihina-hina terus, tak pernah protes. Coba, apa saja yang paling tak berkelas pasti dibilang ‘kelas teri’. Padahal gini-gini saya setia lho dengan manusia-manusia berpenghasilan pas-pasan. Mentang-mentang yang ngatain saya naik mobil Bentley 7 milyar, seenaknya saja dia menghina saya yang asin ini. Rasa saya memang cuma asin doang, soalnya pembeli saya umumnya tukang becak, sopir angkot, kuli bangunan, buruh tani, kuli angkut barang di pelabuhan, dan orang-orang yang kerjanya mengeluarkan keringat berember-ember, supaya bisa membeli saya untuk dijadikan lauk. Jadi rasa saya ya asin se-asin keringat mereka. Saya juga solider, harga saya murah, se-ons cuma 5000 perak, sudah bisa dibikin berpuluh-puluh bungkus ‘nasi kucing’. Coba orang-orang di Senanyan yang ngatain saya itu, mereka gajinya 50 juta rupiah, kalo dibelikan saya bisa dapat 1 ton! Dengan 1 ton teri asin bisa ngasih makan berapa ribu orang miskin yang gak mampu beli makanan” Teri Asin – yang selama ini selalu “nrimo” saja – nyerocos mengungkapkan isi hatinya.

Ikan Tongkol yang sejak tadi diam saja, kini ikut bersuara “Saya prihatin sekali. Sekarang ini kalo kita pakai Google untuk mencari gambar diri kita, dengan mengetikkan kata kunci ikan piranha, ikan salmon, yang muncul bukan lagi gambar kalian, tapi wajah-wajah penghuni Senayan. Ini kan sudah melecehkan eksistensi kita sebagai pemilik sah nama itu. Saya rasa wajah kita lebih baik ketimbang wajah mereka”. Pernyataan Ikan Tongkol itu langsung diaminkan ikan lainnya.

Akhirnya, setelah 1 jam, Sidang memutuskan untuk membuat petisi. Isinya : “Komunitas ikan MENOLAK KERAS disamakan dengan anggota Dagelan Parodi Rakyat Republik Indungnesa, karena itu merendahkan harkat dan martabat ikan”. Untuk itu mereka menuntut 2 hal :

Pertama : Menuntut mereka yang sudah melecehkan nama-nama ikan, untuk meminta maaf secara terbuka dan tidak mengulangi lagi kebiasaan asbun.

Kedua: Menuntut para anggota Dagelan Parodi Rakyat untuk fokus mengurusi masalah yang dihadapi rakyat yang memilih mereka dan bukan ngurusin soal watak ikan.

Setelah petisi dan tuntutan itu ditandatangani 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Ikan, mereka membawanya ke Senayan. Sesuai kabar yang terdengar, hari Senin, 14 Januari 2012, di Senayan bakal ada Sidang Paripurna jam 09.00 WIB. Sampai sejam lebih mereka menunggu, ternyata hanya separuh manusia penghuni Senayan yang hadir. Ikan Lele yang kelaparan, mencoba mencari-cari dimana dia bisa menemukan makanan. Maklum, ikan lele wakil rakyat dari Fraksi Lele ini memang selalu makan agak siang.Pagi hari, saat manusia buang hajat, dia mendahulukan konstituennya makan lebih dulu. Kalau konstituennya sudah kenyang, barulah Lele wakil rakyat ini mencari-cari sisa kotoran untuk mengisi perutnya.

[caption id="attachment_155005" align="alignright" width="300" caption="Lele"]

1326178271213523087
1326178271213523087
[/caption]

Dengan terseok-seok Lele berjalan menuju ke toilet. 22 toilet dia jelajahi, akhirnya Lele kembali ke tempat semula. Dilihatnya Udang – meski bukan bangsa ikan tapi udang termasuk anggota DPR Republik Ikan – dengan tubuh bongkoknya duduk terpekur, sedikit terpisah dari ikan-ikan lain yang mulai resah menunggu. “Dari mana kau Le?” sapa Udang ramah. “Toilet. Aku coba-coba cari sisa kotoran manusia, perutku lapar” jawab Lele. “Terus, dapet?” Udang kembali bertanya. “Enggak, toilet disini bagus-bagus, gak kayak kakus di kampung.Di kakus seperti itu aku gampang cari makan. Sepertinya toilet disini jarang dipakai. Aromanya harum, tiap beberapa menit ada botol yang nyemprotin parfum ke seisi ruangan” kata Lele masih sedikit heran. “Maklumlah, penghuni aslinya jarang masuk, mereka lebih sering berada di cafe-cafe dan lobby hotel berbintang. Yang pakai toilet disini kebanyakan wartawan yang nge-pos disini, petugas security, adik-adik mahasiswa yang disebut Fraksi Balkon, atau para aktivis yang berdemo” Udang menjelaskan.

“Dang, aku heran, meski tiap beberapa menit di semprot parfum, tapi gedung ini kok tetap bau ya?” tanya Lele.”Hush! Yang bau itu bukan toiletnya, Le. Tapi mulut mereka yang busuk. Manusia itu omnivora, Le, mereka pemakan apa saja. Kebetulan spesies yang duduk di Senayan ini termasuk super duper omnivora. Mereka makan apa saja, besi beton, baja, aspal, semen, semuanya masuk perut mereka. Makanya mulut mereka aromanya busuk” Udang menerangkan. “Haah?! Mana bisa semua benda itu masuk ke mulut manusia Dang?” Lele keheranan.”Bisa saja, mereka selalu minta disuapin sebelum anggaran pembangunan cair untuk daerah yang membutuhkan. Ada jatah 7 – 10% dari anggaran itu yang masuk ke mulut penghuni di sini.” Udang memberikan gambaran lebih jelas. “Ooh.., begitu” Lele manggut-manggut.

“Dang, aku tiap hari makan tai manusia. Tapi aku tetaplah ikan yang bermanfaat, kandungan proteinku tinggi, hargaku murah. Itu makanya banyak yang doyan makan aku. Meski makananku tai manusia, tapi bau tubuhku tak sebusuk bau mulut penghuni gedung ini ya Dang?” Lele seolah minta persetujuan Udang. “Iya Le, itu karena hatimu lebih mulia dari mereka. Kau lihat aku, tiap hari tai-ku nongkrong di atas kepala. Itu sebabnya manusia seenaknya saja bilang ‘dasar otak udang’ kalo mereka mencaci orang yang melakukan kebodohan. Padahal, kebodohan apa yang kulakukan coba? Adakah kebodohan yang lebih tolol dan konyol dari pada yang dilakukan manusia yang memilih orang-orang seperti penghuni Senayan ini untuk menjadi wakil mereka?” Udang curhat. “Selama ini aku diam saja, aku enggan protes. Meski aku memahkotai kepalaku dengan tai-ku, tak berarti otakku kosong melompong! Mereka yang menghuni gedung ini ada yang memahkotai kepalanya dengan tiara bertatah emas, karena dia bergelar ‘Putri Indonesia’. Ada juga yang memahkotai kepalanya dengan kopiah dan sorban, agar tampak alim dan santun. Tapi sebenarnya isi kepala mereka sama saja. Kalau sudah bicara uang dan jabatan, watak aslinya kelihatan : serakah dan tak mau mengalah!” kata Udang. Lele makin mengangguk-angguk paham.

[caption id="attachment_155006" align="alignleft" width="300" caption="Udang"]

13261783241040555560
13261783241040555560
[/caption]

“Le, kita ini cuma binatang, kita hanya punya sedikit pikiran yang bekerja berdasarkan insting. Kita hanya menjalani kodrat dan fitrah kita. Kamu dikodratkan makan tai manusia, aku dikodratkan menggendong tai-ku sendiri di kepala, Piranha dikodratkan makan daging. Tapi kita tak pernah munafik. Kamu kodratnya makan tai, tak pernah kepengen makan daging seperti Piranha. Aku dikodratkan memikul tai sebagai mahkota, tapi tai itu tak pernah mengotori pikiranku. Piranha juga tak pernah bertopeng, dia selalu tampilkan tampang ganasnya agar manusia berhati-hati. Nah, manusia itu makhluk paling mulia, mereka punya pikiran, perasan dan hawa nafsu. Mereka bisa memoles penampilannya. Meski kepala mereka dimahkotai aneka assesori, tapi pikiran mereka tetap bisa dikotori nafsu serakah dan ambisi akan jabatan. Mereka dikodratkan jadi omnivora dan itu seolah melegalkan mereka untuk makan sesamanya. Tahukah kamu Le, kita binatang ini sebenarnya lebih bermartabat ketimbang mereka.” Udang menasehati Lele.

Rupanya pembicaraan Lele dan Udang didengarkan ikan-ikan lainnya. Akhirnya Piranha ikut menyela “Kalau begitu, percuma dong kita kemari, mengajukan petisi dan tuntutan. Yang hadir saja cuma separuh, itupun belum tentu mereka menyimak, biasanya tidur, ngobrol atau sesekali buka gambar bokep. Kalau aspirasi sesama manusia yang memilihnya saja tak didengar, apalagi aspirasi kita? Jadi, untuk apa kita disini?”. “Yaa..., betiuuull...” ikan-ikan lain mengiyakan Piranha. Akhirnya ikan-ikan itu kembali pulang, bukan dengan langkah lesu dan kepala tertunduk, tapi dengan langkah tegap dan kepala terangkat. Kini mereka tahu, tak ada gunanya protes pada penghuni Senayan, mereka sudah bebal. Kembalilah ikan-ikan itu ke habitatnya dan menjalani kodratnya masing-masing. Tak lagi peduli pada apapun yangkeluar dari mulut manusia-manusia penghuni Senayan.

dipersembahkan khusus untuk Sutan Bhatoegana (Demokrat), Bambang Soesatyo (Golkar) dan Nasir Djamil (PKS) yang sudah seenaknya tanpa membayar royalty menggunakan nama-nama ikan untuk ejekan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun