Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memberi Pengemis atau Membayar Lebih Untuk yang Mau Bekerja

7 Desember 2013   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:12 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_297005" align="aligncenter" width="640" caption="Lelaki tua kurus yang memikul 2 kursi panjang bambu seharga 50 ribuan (foto : dokpri)"][/caption]

Lagi-lagi ini soal pengemis. Ya, pengemis yang tampak cacat namun sebenarnya baik-baik saja. Itulah keadaan lelaki setengah tua yang selalu kutemui "beroperasi" tiap akhir pekan di seputaran area jogging track tempatku berolah raga. Dia duduk diatas sebilah papan beroda, kedua kakinya ditekuk mirip posisi orang bersila, kedua tangannya memakai sepatu yang sudah dimodifikasi jadi bentuk selop dengan sol sepatu ditambal karet hingga tinggi. Dengan posisi kedua tangan dimasukkan ke dalam "selop" khusus itulah dia mendorong dirinya di atas papan kayu. Melihat kondisinya seperti itu, siapapun akan langsung berasosiasi kedua telapak kakinya tak sempurna. Sesungguhnya dengan posisi kedua tungkai ditekuk seperti itu, tak seorangpun yang bisa melihat dengan jelas posisi telapak kakinya. Apalagi dia selalu "meluncur", menyelusup diantara ramainya pengunjung jogging track – terutama hari Minggu – tak seorangpun yang mau berepot-ria memperhatikan kakinya. Yang jelas, dengan penampilan begitu, dia sukses mengundang rasa iba pengunjung, yang selalu rela merogoh kocek untuk lelaki itu.

Aku termasuk yang selalu iba melihat keadaannya. Aku tahu, tiap hari Minggu ada sekelompok pengemis yang sengaja di-drop untuk mangkal di beberapa titik area jogging track karena hari Minggu itulah saat yang tepat untuk mendulang rejeki di sana. Pengemis dengan beragam “acting” selalu kuabaikan, karena kutahu itu cuma sandiwara mereka saja. Tapi bapak yang satu itu, aku yakin dia benar-benar invalid. Bahkan kerap kulihat beberapa pengunjung yang lalu lalang pun selalu menyempatkan diri berhenti sekedar untuk mengulurkan lembaran rupiah padanya. Sampai sekali waktu, Aku melihat keanehan itu.

[caption id="attachment_297006" align="aligncenter" width="464" caption="Pengemis pura-pura cacat kaki ketika naik ke jalanan miring"]

1386407751162065103
1386407751162065103
[/caption]

Hari, Minggu, seperti biasa aku berangkat sejam lebih pagi, agar masih bisa jalan sehat dulu dan dapat posisi yang “pewe” untuk ikut senam. Sekitar jam 6 pagi, aku sudah tiba di jalanan yang melingkupi area jogging track. Para pedagang kaki lima baru berdatangan, pedagang makanan masih sibuk mendirikan tenda atau mengatur warmob (warung mobil) mereka. Sebelum berbelok ke pintu masuk jogging track, kulihat pengemis itu duduk di depan penjual makanan. Ibu penjualnya mengangsurkan sepiring besar penuh berisi nasi kuning dan lauk pauk komplit. Aku kaget. Bukan karena porsinya yang ‘jumbo’ atau lauknya yang komplit dan tentu harganya tidaklah murah, tapi karena ada yang kurasa aneh. Akupun menghentikan lari-lari kecilku, sejenak kuperhatikan lelaki paruh baya itu dari samping. Ahaay!! I see! Itu kaki yang biasanya dilipat, kini keduanya tak lagi bertumpu pada papan beroda. Meski pantatnya masih tak beranjak dari papan berodanya, tapi kedua kakinya menjejak tanah, sebab kedua tangannya sibuk memegang piring dan menyuapkan sendok ke dalam mulutnya. Apakah dia tidak cacat? Ah, aku akan melihatnya nanti, seusai senam.

[caption id="attachment_297008" align="aligncenter" width="474" caption="Ups.., akhirnya sampai di puncak setelah 2 tanjakan curam didaki"]

138640781711483142
138640781711483142
[/caption]

Sayangnya, seusai senam aku berkeliling seputaran jogging track tak juga kujumpai pak tua itu. Namun Minggu depannya, 10 Nopember 2013, tak dinyana aku justru tak sengaja bertemu dengannya saat aku masih di rest area jogging track hendak ke area refleksi kaki. Kulihat pengemis itu sedang melintasi jalan pintas yang memotong jogging track dengan rest area. Karena kontur tanahnya, maka jalanan pavingnya agak menanjak. Setelah itu, untuk naik menuju rest area, harus menaiki sejumlah anak tangga atau berjalan di atas lintasan miring yang diperuntukkan bagi pesepeda atau yang mendorong kereta bayi. Nah, ini dia saat yang kutunggu. Aku ingin melihatnya naik melewati jalanan setapak yang menajak dan naik tangga atau lintasan miring yang sangat curam dan licin. Beberapa kali aku melewatinya dengan sepatu olah raga, tetap saja nyaris tergelincir kalau tak menjejak dengan benar.

Kuarahkan kamera siap meng-candid. Lelaki itu turun dari papan berodanya untuk baik ke jalanan setapak yang menaik. Setelah itu duduk lagi dan mendorong tubuhnya dengan tangan berselop seperti biasa. Kini tibalah ia di tanjakan miring.Kulihat apakah dia akan memilih undakan tangga atau jalan miring itu. Ternyata dia memilih jalan miring yang kemiringannya 45 derajat. Tentu kali ini tak bisa lagi dia mendorong papan berodanya, sebab itu melawan gravitasi, bisa-bisa dia justru meluncur ke bawah tak terkendali. Dia tampak sigap turun dari papan beroda, meletakkan papan beroda di depan tubuhnya, selop pun diletakkan di atas papan, lalu dengan sedikit terbungkuk ia naik, hap! Sampailah di puncak dan dia pun melompat secepat kilat, begitu sampai di jalanan datar rest area, dalam hitungan detik ia sudah duduk manis di papan berodanya. Semuanya begitu cepat sampai kameraku kalah cepat dengan gerakannya.

[caption id="attachment_297009" align="aligncenter" width="442" caption="Secepat kilat segera beraksi kembali"]

13864078681625608476
13864078681625608476
[/caption]

Segera ia memulai actingnya : meletakkan tangan di selop dan mulai mendorong tubuhnya mendekati warga yangsedang asyik bercengkerama di saung-saung atau yang sedang melakukan refleksi kaki. Tampak beberapa orang yang tadi sempat melihatnya naik, saling berpandangan lalu saling menunjukkan mimik wajah yang keheranan. Merekapun berlalu dengan cuek, kini tak tampak lagi rasa iba. Aku pun menyimpan kamera dan meninggalkan tempat itu.

Minggu berikutnya, 17 Nopember 2013, kali ini kutemui dia usai senam. Saat semua orang berlomba menawarkan dagangannya dan para pengunjung sibuk tawar menawar, lelaki itu dengan cueknya membuka tasnya, menghitung perolehannya hari itu. Kalau saja dia memulai “operasi”nya sekitar jam 6.30 dan saat itu jam 8.00, maka dalam tempo 1,5 jam sudah segenggam uang diperolehnya. Tak ada uang logam, semuanya lembaran kertas. Rupanya, rasa iba orang membuat mereka tak sekedar memberinya recehan. Lama kuperhatikan dia, kuambil beberapa foto, dia sama sekali tak menyadarinya, terlalu asyik menghitung perolehannya. Tak peduli keramaian sekitarnya. Sejak itu, sama dengan wajah-wajah mengernyitkan dahi yang kutemui Minggu sebelumnya, aku tak lagi iba padanya. Saat memindahkan foto-foto ke hard disk, baru kusadari dia memakai arloji dan tas yang disandangnya berganti dari Minggu sebelumnya ke Minggu ini. Bukan tas lusuh, tapi masih mengkilat. Di seputaran jogging track memang ada saja pedangan tas kaki lima.

[caption id="attachment_297010" align="aligncenter" width="459" caption="Pakai arliji dan tas yang disandangnya masih mengkilat pertanda baru"]

1386407929827163845
1386407929827163845
[/caption]

Lelaki paruh baya itu bukan satu-satunya yang kutemui. Sekelompok pengemis yang rutin mangkal di jembatan penyeberangan pun sama. Berpura-pura buntung-lah, atau bahkan sama sekali tak berpura-pura cacat, dia sehat walafiat, tubuhnya agak tambun – maklum selama jam kerja dari pagi sampai petang dia hanya duduk manis – memakai sarung dan kopiah, siap menadahkan tangan tiap kali ada pejalan kaki melintas. Pernah aku melihatnya duduk manis di sebuah kios rokok, sambil menyeruput segelas kopi hitam dan menghisap sebatang rokok, saat lelaki lain bergegas ke masjid hendak sholat Jumat. Kali lain kulihat dia sudah duduk di kursi sebuah rumah makan di samping jembatan penyeberangan, menikmati menu yang tersaji. Jam masih sekitar pukul 11.30, setengah jam sebelum para pegawai rehat dan makan siang.

[caption id="attachment_297011" align="aligncenter" width="382" caption="Minggu depannya sudah ganti tas lagi"]

1386407977789855385
1386407977789855385
[/caption]

=======================================

Ironisnya, di kali lain aku justru bertemu lelaki difable sejati yang tetap berusaha bekerja. Sore itu, sekitar 3 minggu lalu, cuaca cerah sekali setelah sekitar sepekan Cilegon selalu diliputi mendung dan hujan sepanjang hari. Sudah jelang petang tapi tampak masih terang. Pulang kantor aku naik angkot dan memilih duduk di kursi depan, samping sopir. Betapa kagetnya ketika kulihat kedua tangan Abang sopir. Masya Allah.., kedua tangannya cacat. Mohon maaf kalau kulukiskan : telapak tangannya hanya separuh dari telapak tangan orang normal dan agak membulat (tidak pipih seperti telapak tangan pada umumnya). Lalu sebagai ganti 5 ibu jari, ada sebuah “jari” yang bentuknya sedikit melengkung. Sama, tangan kanan dan kiri seperti itu keadaannya. Tapi karena rupanya sudah terbiasa mengemudi, dia enjoy saja. Aku sempat memperhatikan ketika dia menekan klakson yang sudah dimodifikasi. Tombolnya di bagian bawah roda kemudi, entah seperti apa bentuknya sehingga “jari” yang melengkung itu dengan mudah memencetnya.

[caption id="attachment_297012" align="aligncenter" width="507" caption="yang lain sibuk berniaga, pengemis sudah menghitung hasilnya"]

13864080161110677688
13864080161110677688
[/caption]

Lelaki muda usia awal tiga puluhan itu tampak tenang wajahnya. Cara mengemudinya pun tak seperti umumnya sopir angkot yang ugal-ugalan atau ngebut rebutan penumpang pada saat jam pulang kerja. Bahkan ketika tiba di depan sebuah SPBU, ada 2 mobil pribadi memotong jalan dari arah berlawanan karena tak sabar untuk masuk ke SPBU meski sebenarnya pintu masuk SPBU masih sekitar semeter lagi, Abang sopir itu tersenyum dan menghentikan mobilnya seraya berkata “Biarin aja, gak sabaran banget sih. Itu orang-orang geblek, Teh”. Aku sempat mengajaknya mengobrol, karena kulihat kaca belakang mobil angkotnya bersih dari sticker dan poster caleg.tak seperti angkot-angkot yang berseliweran di sekitarnya. “Ah.., sopir angkot itu Teh, asal ada yang bayar ya mau aja. Lumayan, 200 ribu bisa buat nutup setoran kan?”.

Saat jelang sampai tujuan, aku membayar. Abang sopir menerima uang dengan kedua tangannya. Dua “jari” dari kedua tangannya menjepit lembaran uang. Duuh..., aku jadi trenyuh. Bagaimana kalau anak sekolah naik angkot dan bayar pakai uang logam? Tentu dia akan lebih kesulitan lagi. Tapi, Allah Maha Besar, Dia memberikan keistimewaan bagi setiap hambaNYA. Alah bisa karena biasa, jadi si Abang sopir sudah terbiasa dengan kondisi tangannya yang tak sesempurna manusia pada umumnya. Yang jelas, dia tak merasa perlu mengkasihani dirinya sendiri apalagi minta dikasihani. Sama sekali tak ada aura minder di wajahnya yang tenang dan murah senyum itu. Bahkan ketika aku turun, ia masih sempat berpesan “Ati-ati ya Teh”. Ah..., semoga si Abang dimudahkan jalannya menjemput rizki dari Sang Maha Pemurah dan kepenatannya diganti dengan barokah bagi diri dan keluarganya,amiiin...

[caption id="attachment_297013" align="aligncenter" width="507" caption="Dalam tempo 1,5 jam sudah banyak hasilnya"]

138640807472547110
138640807472547110
[/caption]

=======================================

Ini kali ketiga aku menulis tentang pengemis. Tepat 2 tahun lalu, pernah kutulis tentang pengemis yang di pagi hari mengemis, malam hari uang hasil mengemis ia jadikan rente, alias dipinjamkan pada orang miskin dengan bunga mencekik leher. Pernah pula kutulis pengemis khusus Ramadhan dan Idul Fitri, yang berlagak jadi manusia gerobak. Dalam sebulan bisa belasan juta di dapat. Ternyata, tak perlu menunggu lebaran, Walang pun dalam 15 hari bisa mengumpulkan 25 juta rupiah di gerobaknya. Tak perlu brankas besi, sebab siapa yang bakal curiga gerobak butut dan 2 lelaki tua kumuh itu membawa uang sebegitu banyak. Begitulah fenomena sebagian besar – kalau tak bisa dikatakan hampir semuanya – pengemis di kota-kota besar. Mereka sudah jadi bagian “profesi” dan “industri” penghasil uang di metropolitan.

Karenanya, ada atau tidak himbauan Pemerintah daerah, aku memilih tak lagi memberi pada pengemis seperti itu. Lebih baik membayar lebih bagi mereka yang masih memilih bekerja meski ada kendala di tubuhnya, meski usia renta menggerogotinya atau meski pekerjaannya itu tak menjanjikan. Terkadang kutemui orang yang berjualan benda-benda yang nyaris jarang dibutuhkan orang dan kemungkinan lakunya kecil. Seperti pak tua kurus yang menggendong sebuah kursi panjang bambu, yang sebuahnya hanya dibandrol Rp. 50 – 75 ribu, meski ia harus memikulnya dari desa ke kota berkilo-kilo meter. Atau anak muda yang memikul cobek batu berat, tak tiap bulan ibu-ibu butuh cobek, bahkan setahun sekali pun tidak. Atau lelaki tua lain yang mengumpulkan sampah sampai menggunung di sepedanya. Atau anak idiot yang memulung apa saja.

[caption id="attachment_297017" align="aligncenter" width="301" caption="Berat nian memikul dua tumpuk cobek batu ini"]

13864083421333867106
13864083421333867106
[/caption]

Jangan tawar jualan mereka, kalau bisa berikan bayaran lebih. Mungkin 5000 perak tak terlalu berat buat kita, tapi lumayan bagi mereka. Membantu pemulung mengumpulkan barang tak terpakai dan memberikan padanya, bukanlah hal yang susah, tapi sangat membantu mereka. Orang yang masih mau bersusah payah bekerja, perlu di motivasi. Mereka bukan orang yang bisa menuntut upah minimum, mereka bukan orang yang dijamin biaya berobatnya jika sakit. Sehari tak bekerja, tak ada nasi terhidang di meja. Tapi setidaknya mereka masih memilih bekerja dan tak hanya menadahkan tangan meminta-minta, apalagi sambil “menipu” agar orang iba.

[caption id="attachment_297018" align="aligncenter" width="590" caption="Kakek tua yang terus mengayuh sepeda tuanya mengangkut berkarung-karung sampah setiap hari"]

13864084011617548335
13864084011617548335
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun