Mohon tunggu...
Sri Ken
Sri Ken Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Swasta

Suka masak sambal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Ingkari Takdir Kita

30 Desember 2022   23:49 Diperbarui: 30 Desember 2022   23:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang pergantian tahun, kita diingatkan bahwa sekita 15 bulan lagi kita menghadapi peristiwa politik besar yaitu pemilihan presiden 2024 dan beberapa pilkada serentak di beberapa daerah, termasuk Jakarta.

Jika mendengar Pilpres dan Pilkada Jakarta, bagi beberapa pihak memang terasa traumatis. Tercatat pada Pilpres 2014 dan 2019 serta Pilkada Jakarta, politik identitas dipakai untuk meraih suara pemilih. Politik identitas itu meliputi agama, suku , ras dan warna kulit mewarnai kontestasi politik lima tahunan itu.

Cara itu dimainkan tidak saja pada saat kampanye tapi juga pada saat salat di masjid, pengajiam-pengajian eksklusif dll. Melalui pengeras suara kita tahu bahwa para penceramahnya membuat narasi-narasi yang bernada memojokkan salah satu kontestan yang berbeda etnis dan keyakinan. Mereka juga selalu menunjukkan siapa kontestan yang harus dipilih berdasarkan petunjuk agama.

Narasi-narasi yang sarat dengan politik identitas itu tidak hanya mempengaruhi para kaum dewasa yang berhak memelih, tapi juga anak-anak dibawah umur yang notabene belum berhak memilih. Mereka terpengaruh dengan narasi-narasi itu karena nyaris tiap hari mereka temukan tidak saja di alam nyata tapi juga di media televisi dan media sosial. Sehingga tak heran mereka menganggap narasi kasar kepada etnis lain itu layak diucapkan sebagai bahan olokan kepada pihak lain yang berbeda.

Situasi ini tak heran menimbulkan keterbelahan bangsa. Jakarta yang terdampak paling parah sampai sekarang membawa sentiment-sentimen tertentu di alam nyata dan maya. Kita mungkin ingat istilah kadrun atau cebong untuk menunjukkan pengikut siapa. Istilah itu dipakai sampai sekaang dan itu agaknya membawa kita yakin bahwa keterbelahan itu nyata adanya.

Dalam situasi itu, seakan kita tak sadar bahwa kita terjebak pada adu domba demi kepentingan politik (kekuasaan ) selama lima tahun semata. Kerukunan dan Kerjasama antar umat beragama dan etnis menjadi rusak tak tersisa hanya karena kita terjebak pada egoisme kekuasaan semata, yang sebenarnya hanya membawa kemudaratan.

Mungkin ini agak klise, namun saya harus mengatakan bahwa keterjebakan kita pada situasi seperti itu seharusnya tidak kita ulangi lagi. Karena bagaimanapun itu akar kita itu adalah perbedaan (kebinekaan) . Itu juga yang mendasari Pancasila menjadi dasar dan falsafah hidup kita. Semakin kita terjebak pada politik identitas, narasi bermuatan sara dan unsur keterbelahan lainnya, maka sejatinya kita mengingkari takdir kita sendiri sebagai bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun