Selain itu, banyak studi Barat mengenai Islam dinilai tidak memperhatikan konteks sosial dan budaya masyarakat Muslim. Islam dipelajari dari luar tanpa empati terhadap pengalaman keagamaan pemeluknya. Pendekatan yang sekuler dan materialistik ini membuat studi Islam kehilangan keseimbangan antara aspek ilmiah dan spiritual. Dalam banyak kasus, hasil penelitian para orientalis mencerminkan pandangan dunia Barat yang memisahkan antara agama dan kehidupan, sehingga tidak mampu memahami Islam sebagai agama yang menyatukan dimensi duniawi dan ukhrawi.
Sebagai tanggapan terhadap kelemahan ini, Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam modern asal Pakistan, menawarkan pendekatan hermeneutik sebagai jalan keluar. Menurutnya, pemahaman terhadap Islam harus dilakukan melalui dua langkah: pertama, memahami teks wahyu (Al-Qur'an) dalam konteks sejarah turunnya; dan kedua, menafsirkan kembali maknanya agar relevan dengan kondisi masyarakat modern. Dengan cara ini, ajaran Islam tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga dihidupkan kembali dalam konteks sosial yang terus berubah. Pendekatan hermeneutik ini dianggap mampu menjembatani antara rasionalitas ilmiah Barat dan spiritualitas Islam yang bersumber dari wahyu.
Upaya Rekonstruksi oleh Sarjana Muslim Indonesia
Di Indonesia, beberapa pemikir Muslim berupaya melakukan rekonstruksi metodologi studi Islam agar lebih sesuai dengan kebutuhan zaman serta terbebas dari dominasi paradigma Barat. Salah satu tokoh yang menonjol adalah M. Amin Abdullah, yang memperkenalkan konsep pendekatan interkonektif-integratif. Ia berpendapat bahwa ilmu agama tidak seharusnya dipisahkan dari ilmu sosial dan humaniora, sebab keduanya sama-sama penting dalam memahami realitas kehidupan umat Islam. Melalui pendekatan ini, studi Islam diharapkan mampu menyinergikan antara ilmu normatif (wahyu) dan ilmu empiris (realitas sosial), sehingga menghasilkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh.
Selain Amin Abdullah, Nurcholish Madjid atau Cak Nur juga memberikan kontribusi penting dalam pembaruan studi Islam. Ia menekankan pentingnya ijtihad dan dialog antara Islam dan ilmu modern. Menurutnya, Islam harus terus terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak terjebak pada pemahaman dogmatis yang kaku. Dengan mengedepankan semangat rasional dan keterbukaan, Cak Nur ingin menunjukkan bahwa Islam bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai agama wahyu.
Kedua tokoh ini sama-sama menegaskan pentingnya menghadirkan metodologi studi Islam yang kontekstual dan inklusif, yang mampu menjawab tantangan globalisasi dan modernitas. Upaya rekonstruksi ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara dimensi rasional dan spiritual dalam kajian Islam. Dengan memadukan ilmu agama dan ilmu sosial, para sarjana Muslim Indonesia berharap dapat melahirkan tradisi keilmuan Islam yang kritis, relevan, dan tetap berakar pada nilai-nilai ilahi.
Kesimpulan
Perbedaan antara epistemologi Islam dan Barat merupakan faktor utama yang menimbulkan perbedaan dalam cara memahami Islam. Dalam epistemologi Islam, sumber pengetahuan utama adalah wahyu Ilahi, sedangkan akal berfungsi sebagai sarana untuk menafsirkan dan mengamalkannya. Sementara itu, epistemologi Barat menempatkan akal dan pengalaman empiris sebagai dasar utama pengetahuan, sehingga cenderung menyingkirkan dimensi transendental. Perbedaan pandangan ini berimplikasi pada metode dan hasil kajian: Barat lebih menekankan aspek rasional dan historis, sedangkan Islam menempatkan nilai spiritual dan moral sebagai inti pengetahuan.
Untuk itu, diperlukan metodologi studi Islam yang lebih integratif dan objektif---yakni metode yang mampu memadukan rasionalitas ilmiah dengan spiritualitas wahyu. Pendekatan seperti ini akan melahirkan kajian Islam yang ilmiah, terbuka, dan relevan dengan perkembangan zaman, namun tetap berakar pada nilai-nilai keimanan. Dengan demikian, studi Islam tidak hanya menjadi aktivitas akademik yang bersifat teoritis, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembentukan kesadaran moral dan spiritual umat manusia.
Melalui rekonstruksi metodologis yang dilakukan oleh para pemikir Muslim seperti Amin Abdullah dan Nurcholish Madjid, studi Islam diharapkan dapat berkembang menjadi disiplin ilmu yang mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan identitasnya. Di sinilah pentingnya menegaskan kembali paradigma keilmuan Islam yang berasaskan tauhid---yang menyatukan antara ilmu, iman, dan amal---sebagai fondasi utama dalam membangun peradaban yang berkeadaban dan berkeilmuan.
Daftar Pustaka