Keesokan harinya, dokter memberinya laba-laba plastik itu dan menyuruhnya untuk membawanya pulang.
"Di mana laba-laba muncul di rumah Anda?" tanya psikiater.
"Biasanya di kamar mandi," kata temanku. "Taruh laba-laba di bak mandi," katanya.
Temanku menurutinya dan berhasil tidak teriak walaupun dia sebenarnya ketakutan.
Keesokan harinya lagi, psikiater menyuruhnya meletakkan laba-laba di ruang tamunya. Temanku meletakkannya di atas televisi. Awalnya dia merasa laba-laba itu mengawasinya dan dia merasa takut. Kemudian dia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanya laba-laba plastik.
Keesokan harinya, psikiater menyuruhnya meletakkan laba-laba di tempat tidurnya. 'Tidak mungkin!' dia berkata. "Aku tidak mau!"
"Kenapa tidak?" tanya psikiater.
:Itu laba-laba!" jawab temanku.
"Tidak, tidak," kata psikiater, "Itu laba-laba plastik. Itu bukan yang asli."
Temanku menyadari bahwa dokternya benar. Dia meletakkan laba-laba plastik di tempat tidurnya dan dia tidur di sana sepanjang malam. Dia hanya merasa sedikit takut.
Keesokan harinya, dia kembali ke psikiater. Kali ini, dia mengalami syok... syok besar. Ada seekor laba-laba di meja si psikiater. Dan kali ini laba-laba sungguhan. Temanku ingin berteriak dan melarikan diri, tetapi dia tidak melakukannya. Dia duduk di pojok ruangan, sejauh mungkin dari laba-laba, kemudian sekitar lima menit, lalu dia bangkit dan pergi meninggalkan ruangan. "Sampai jumpa besok!" teriak psikiater padanya saat dia pergi.
Keesokan harinya dia kembali, dan kali ini psikiater membiarkan laba-laba asli itu berlarian di mejanya. Sekali lagi, temanku tinggal selama lima menit, lalu pergi.
Keesokan harinya dia tinggal selama sepuluh menit, dan hari berikutnya, lima belas menit. Akhirnya, psikiater memegang laba-laba itu, laba-laba asli dengan kaki berbulu panjang dan mata kecil yang merah. Dia meminta temanku untuk mendekat dan menyentuhnya. Awalnya dia menolak, tetapi dokter bersikeras. Akhirnya dia menyentuh laba-laba itu, walaupun hanya sedetik. Keesokan harinya dia menyentuhnya selama beberapa detik, kemudian selama beberapa menit, dan setelah itu dia memegang laba-laba itu di tangannya sendiri.
Kemudian dia membawa pulang laba-laba itu dan membiarkannya berlarian di dalam rumahnya. Dia memang merasa takut, tapi hanya sedikit.
...
"Jadi sekarang aku punya laba-laba!" dia memberitahuku lagi.
"Wow selamat ya!" Kubilang.
"Hanya ada satu masalah," katanya, dan ketika dia berbicara, aku memperhatikan bahwa seluruh tubuhnya menggigil. Kemudian dia berteriak dan naik ke kursi. Dia menunjuk sesuatu di lantai. "Di sana!" dia berteriak. "Lihat! Itu ada kumbang! "