Kabupaten Subang belakangan ini menjadi sorotan akibat maraknya praktik prostitusi yang mengatasnamakan bisnis penginapan. Fenomena ini bukan hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga mencerminkan kegagalan pemerintah daerah dalam menegakkan hukum. Masyarakat resah. Mereka menuntut tindakan nyata: penggerebekan tegas, sanksi hukum yang berat, dan transparansi penanganan kasus. Sayangnya, hingga kini, respons pemerintah terasa setengah hati. Jika dibiarkan, praktik ini akan menggerus nilai moral sekaligus membuka ruang bagi kejahatan terorganisir seperti perdagangan manusia dan eksploitasi perempuan.
Pertama, perlu diakui bahwa prostitusi terselubung di Subang bukan sekadar pelanggaran moral, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap hukum. Penginapan yang seharusnya menjadi tempat istirahat justru disalahgunakan sebagai sarana transaksi seksual. Ini menunjukkan dua masalah: kelalaian pengawasan izin usaha dan lemahnya penindakan oleh aparat. Pertanyaannya, mengapa izin operasional penginapan mudah diberikan tanpa verifikasi ketat? Adakah oknum yang sengaja membiarkan praktik ini agar bisa mendapat "keuntungan" dari bisnis haram tersebut? Masyarakat berhak menaruh curiga ketika prostitusi tumbuh subur tanpa ada upaya serius untuk memberantasnya.
Kedua, dampak sosial dari prostitusi tidak bisa diremehkan. Selain meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular, praktik ini merusak citra Kabupaten Subang sebagai wilayah yang berbudaya dan religius. Keluarga-keluarga merasa terancam, terutama orang tua yang khawatir anak-anaknya terpengaruh lingkungan tidak sehat. Lebih buruk lagi, tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan perempuan di bawah umur atau korban trafficking yang dipaksa bekerja di tempat tersebut. Jika pemerintah diam, sama saja membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi di depan mata.
Ketiga, keberanian untuk bertindak harus diimbangi dengan strategi komprehensif. Penggerebekan sporadis tidak cukup. Diperlukan sinergi antara kepolisian, dinas terkait, dan masyarakat. Misalnya, membentuk satgas khusus yang memantau penginapan mencurigakan, merevisi peraturan perizinan usaha, serta memberi sanksi pencabutan izin bagi pelaku. Selain itu, penting membuka saluran pengaduan publik yang terpercaya agar warga bisa melaporkan tanpa takut dibungkam. Di sisi lain, pendekatan rehabilitasi bagi korban prostitusi juga wajib dilakukan. Mereka bukan sekadar pelaku, tetapi seringkali korban sistem yang memaksa.
Terakhir, pemerintah daerah harus menyadari bahwa diamnya mereka hari ini adalah bentuk pembiaran yang akan menuai kritik sejarah. Subang butuh pemimpin yang berani membersihkan "noda" ini, bukan sekadar pencitraan. Masyarakat sudah lelah dengan janji. Saatnya buktikan bahwa hukum tidak tumpul di tanah Subang. Jika perlu, libatkan pihak kejaksaan dan LSM anti-trafficking untuk memastikan proses hukum berjalan adil.
Prostitusi berkedok penginapan adalah ujian bagi integritas Kabupaten Subang. Jangan biarkan bisnis haram ini terus merajalela sementara generasi muda menjadi korban berikutnya. Tindakan tegas bukan pilihan, melainkan kewajiban!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI