Mohon tunggu...
M. Iqbal Irfany
M. Iqbal Irfany Mohon Tunggu... -

Musafir dalam random-walk kehidupan. Tinggal dan studi di Jerman. @iqbalirfany (twitter)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Prognosis Resesi Global

18 November 2011   19:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih Berlanjut

Resesi global bisa dikatakan sebagai periode suram dalam perekonomian dunia. Betapa tidak, resesi global yang walaupun diawali dari AS ini dampaknya begitu dirasakan oleh dunia terutama oleh mitra dagangnya serta para kreditur yang menyimpan assetnya di pasar keuangan AS. Berbeda dengan the Great Depression 1930-an, sangat eratnya dependensi pasar ekonomi global dengan AS berdampak sangat menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Resesi global sejatinya merupakan arus turbulensi global yang bersifat chaotic sehingga menjadi sulit diprediksi. Tak banyak ekonom yang dulu memprediksi akan terjadi resesi global saat ini dan walaupun ada yang telah dapat memprediksinya seperti Nouril Roubini. Akan tetapi, seberapa besar krisis dan dampaknya tampaknya belum pernah terprediksi secara tepat. Di samping itu, terlihat terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan, baik secara teoritis maupun secara praktis belum terselesaikan secara tuntas. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah seberapa lama dan seberapa parah resesi global ini akan terus terjadi? Apakah potensi untuk krisis ini akan tetap ada? Inilah yang menjadi bahan kajian dan perdebatan berbagai ekonom dunia hingga saat ini.

Sejumlah proyeksi dilakukan oleh berbagai lembaga dan para ekonom dunia. Blanchard (2009) melakukan investigasi bahwa walaupun puncaknya adalah tahun 2009 periode II dan III, krisis akan tetap berlanjut sampai 2010 atau 2011. Perlu kita garis bawahi bahwa prediksinya hanyalah prediksi jangka pendek yang tentu saja belum tentu meng-address permasalahan fundamental krisis itu sendiri. Menurut Blanchard, pasca guncangan Lehman Brothers, pasar keuangan AS saat ini sedang melakukan recovery, risk premium juga terus menurun. Di samping itu, stimulus fiskal dan respon the Fed sedang berjalan dengan maksud untuk mengatasi resesi berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan hasil proyeksi telah mencapai titik dasarnya pada kuarter III atau IV 2009 dan kemudian rebound lagi pada periode setelahnya. Di samping itu, negara-negara emerging economies dan negara berkembang diperkirakan akan memiliki tingkat growth yang melebihi negara-negara maju dan rata-rata dunia.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah tingkat pertumbuhan negara-negara di dunia akan mencapai tingkat yang sama seperti periode sebelum resesi global? Jawabannya tentu saja tidak. Imbas rendahnya permintaan dunia terutama AS, hampir semua negara apalagi terutama yang berorientasi ekspor (export-led growth countries), seperti negara-negara Asia dan Jerman, akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Pasca krisis, dalam jangka yang lebih panjang, para ekonom memprediksi bahwa tingkat growth periode sebelum krisis akan sangat sulit dicapai karena beberapa hal sebagai berikut (Rogers, 2009). Pertama, permintaan utang masyarakat yang tinggi seperti di masa lalu tidak akan kembali. Artinya para pengutang, terutama AS, tetaplah berutang, hanya saja tingkat utang mereka tidak sebanyak periode sebelum krisis. Kedua, telah berlalunya periode ‘shadow banking’ system. Ketiga, regulasi-regulasi yang semakin diperketat dalam sektor finansial yang kemudian akan menghambat permintaan kredit.

Prognosis berikutnya adalah terjadinya pergeseran orientasi ekonomi, terutama orientasi ekspor. Dalam hal ini, negara-negara yang berorientasi ekspor lambat laun akan “mengubah” orientasinya menjadi lebih mendorong ekonomi domestiknya, misalnya dengan program infrastruktur, perbaikan sarana sosial dan kebijakan ekspansif lain. Di samping itu, dalam perdagangan internasional, target pasar ekspor akan terus berubah mencari pasar-pasar non tradisional di samping pasar domestiknya.

Prognosis selanjutnya adalah implikasi dari dua hal yang pertama, kedua faktor di atas akan menekan tingkat growth dunia dalam jangka menengah dikarenakan proses adjustment yang terkendala. Adalah sangat sulit mengubah pola orientasi ekonomi dari consumption-driven menjadi savings-driven di negara-negara Barat secara seketika dan begitu pula sebaliknya, apalagi ditambah permasalahan perubahan perilaku sosial budaya.

Terakhir, aksi-aksi spekulatif masih akan berlangsung tapi kali ini akan masuk ke pasar komoditas seperti minyak bumi dan emas. Pada periode resesi, harga minyak dunia jatuh secara signifikan karena permintaan dunia melemah, namun ketika ada recovery ekonomi global, harga minyak bumi lambat laun akan naik dan mau tidak mau akan mendorong tindakan spekulasi di pasar. Hal ini menjadikan PR tersendiri bagi regulator untuk mengatasi tindakan spekulatif yang bermuara pada potensi terjadinya bubble dan burst di kemudian hari.

Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat sejauh apakah resesi global yang sekarang terjadi dengan melihat perbandingan kondisi saat ini (para ekonom sering menyebutnya dengan “the Great Recession”) dengan the Great Depression pada 1930-an. Studi-studi komparatif ini menarik dilakukan di samping untuk melihat seberapa jauh tingkat keparahan krisis juga untuk memperkirakan seperti apa dan seberapa lama recovery resesi global dibandingkan dengan yang apa yang telah terjadi pada saat the Great Recession tahun 1930-an. Salah satu di antaranya adalah studi yang dilakukan Eichengreen and O’Rourke (2009) yang mengkategorikan analisisnya pada besaran dan lama penurunan produksi industri manufaktur (manufacturing production), penurunan perdagangan dunia serta kejatuhan harga saham global. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa secara global penurunan industrial production yang dalam 9 bulan awal resesi global relatif lebih dalam daripada 9 bulan pertama awal krisis 1929. Perkiraan ini memberikan ilustrasi awal bahwa resesi global relatif lebih buruk dari apa yang telah terjadi pada the Great Recession. Tambahan lagi, hal tersebut belum memasukkan luasnya dampak krisis (spread) ke berbagai penjuru dunia secara cepat.

Penurunan perdagangan dunia pun menunjukkan pola yang serupa dimana penurunan volume perdagangan dunia lebih cepat daripada periode 1929-1930. Hal yang sama terjadi pada penurunan pasar saham dunia. Investigasi Eichengreen dan O’Rourke (2009) menunjukkan bahwa pasar saham global saat ini bahkan menurun lebih cepat dan lebih tajam dari apa yang terjadi pada saat permulaan the Great Depression.

Singkatnya, menurut Eichengreen dan O’Rourke (2009), resesi global saat ini memiliki indikasi yang lebih buruk daripada the Great Depression, baik dari sisi penurunan industrial production, volume perdagangan internasional maupun pasar saham dunia. Dengan kata lain, argumen mereka membantah statement yang menganggap kondisi resesi global saat ini yang terlalu optimistik. Implikasi lanjutannya tentu saja menyangkut lama recovery dari resesi global saat ini yang diperkirakan akan lebih lama dari the Great Recession. Bila pada the Great Depression dibutuhkan 3 tahun untuk keluar dari krisis, diprediksi resesi global saat ini mungkin bisa lebih lama dari itu untuk recovery. Kabar baiknya adalah bahwa respon kebijakannya relatif berbeda, data perkiraan fiscal deficit berdasarkan World Economic Outlook (IMF), dimana kemauan (willingness) untuk melakukan defisit fiskal saat ini lebih besar sesuai anjuran Neo Keynesian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun