Dengan melihat kenyataan di atas, setidaknya, ada 4 alasan utama dari otokritik di atas. Pertama, hanya sedikit saja intelektual Indonesia memiliki gairah untuk membangun sendiri pemikirannya.
Kebanyakan dari mereka lebih nyaman menjadi intelektual "pengecer". Maksudnya adalah menjadi penjaja atas pemikiran-pemikiran yang sudah jadi dan siap diajarkan sehingga tidak banyak atau bahkan jarang melakukan elaborasi terhadap kemungkinan pemikiran-pemikiran baru. Akibatnya, sumber pemikiran baru yang bisa ditawarkan menjadi langka.Â
Kedua, tidak adanya apa yang disebut peer group di dalam alam kesarjanaan Indonesia. Hal ini menyebabkan absennya kebiasaan untuk saling mengkaji dan
mengomentari pemikiran para kolega di kalangan sarjana Indonesia. Gagasan yang pernah dihasilkan pada akhirnya menguap seiring waktu atau hanya bertahan dibicarakan selama penggagasnya hidup dan lalu segera punah ditelan waktu.Â
Ketiga, buruknya perpustakaan dan lembaga arsip di Indonesia. Kesulitan utama dalam melakukan studi pemikiran adalah langka dan sulitnya menelusuri arsip-arsip dari para sarjana yang pemikirannya hendak dijadikan bahan kajian. Hal ini diperburuk oleh lemahnya tradisi mengarsip dan melakukan dokumentasi di kalangan akademisi. Hanya sedikit saja sarjana di Indonesia yang memiliki perpustakaan pribadi yang bisa disebut lengkap, paling tidak sebatas ruang lingkup bidang kajian yang ditekuni. Keempat, tradisi riset di Indonesia masih didominasi oleh riset berjenis terapan dan itu berlaku hampir untuk seluruh bidang keilmuan.Â
Dalam riset terapan, peneliti disibukkan oleh pertanyaan mengenai relevansi sosial, terutama dalam kaitannya dengan kegunaan kerangka teori di wilayah yang bersifat praksis. Kajian pemikiran, karena terutama bersifat teoritis dan konseptual, bukan terapan, dengan sendirinya tidak menjadi bidang penelitian ataupun metode yang populer.