Negeri yang subur ini, ironi muncul bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena kelimpahan yang terampas oleh sedikit tangan rakus. Sudah lama kita mengenal kata "korupsi", namun setiap kali angka itu terungkap, kita kembali tercengang. Awal tahun 2025, misalnya, publik dikejutkan oleh pengusutan gratifikasi besar-besaran yang melibatkan mantan Bupati Kutai Kartanegara. Berdasarkan dokumen penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat tersebut dituduh menerima bukti transfer tunai senilai Rp 350 miliar dari 36 rekening pribadi, ditambah USD 6,2 juta dan SGD 2 juta sebuah jumlah yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 450 miliar. Di balik statistik itu, tersimpan hak-hak dasar masyarakat yang terampas seperti jalan rusak tanpa perbaikan, fasilitas kesehatan terbiar, dan kepercayaan publik yang kian luntur. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan luka mendalam bagi tubuh bangsa yang menanti keadilan hakiki.
Jika hukum positif bisa dipelintir, masih adakah kamar di mana keadilan sungguh-sungguh berlaku tanpa celah? Inilah titik di mana ajaran Hindu menawarkan refleksi mendalam. Dalam cakrawala kesadaran, setiap tindakan baik maupun buruk akan kembali kepada pelakunya melalui hukum sebab akibat, atau karma phala. Ia tak mengenal pertimbangan politik dan tak bisa diintervensi oleh birokrat atau pengacara handal. Ini dimana hukum semesta berjalan terus, tanpa jeda.
Dalam ajaran Hindu, keadilan tak berhenti di ruang sidang; ia menjelma dalam bentuk yang lebih halus namun tak terhindarkan, yaitu karma phala, buah dari setiap perbuatan. Secara etimologis, karma berasal dari Sanskerta yang berarti "tindakan", sedangkan phala berarti "buah" atau "akibat". Dengan kata lain, setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan kita sekecil apa pun akan menuai konsekuensi. Prinsip ini mengingatkan bahwa sekadar "berbuat baik akan dibalas baik" belum mencakup seluruhnya tetapi ada lapisan waktu, ruang, dan niat yang menentukan kapan dan bagaimana buah itu muncul.
Tiga Bentuk Utama Karma Phala Menurut Agama hinduÂ
- Sancita Karma Phala
Merupakan akumulasi semua tindakan kita, baik di kehidupan sekarang maupun kehidupan sebelumnya. Layaknya "tabungan" karma yang belum terselesaikan, dampaknya bisa terasa kapan saja, tanpa kita sadari. - Prarabda Karma Phala
Adalah bagian dari sancita yang sedang "dijalani" sekarang. Segala suka dan duka yang kita alami hari ini dianggap sebagai buah masa lalu yang saatnya berbuah. Dampaknya terasa langsung, seolah waktu memadat dalam menit, jam, dan hari. - Kriyamana Karma Phala
Adalah karma yang kita ciptakan saat ini melalui setiap tindakan dan pikiran. Ia menambahkan "setoran" baru ke dalam sancita dan akan berbuah pada waktunya baik di kehidupan ini maupun kehidupan mendatang.
Prinsip ini menegaskan satu hal penting yaitu tidak ada perbuatan yang sia-sia, dan tidak ada yang benar-benar bisa lolos dari akibatnya seperti yang tertulis dalam Bhagavad Gita 4.17:
karmao hyapi boddhavya boddhavya cha vikarmaa
akarmaah cha boddhavya gahan karmao gati
artinya
"Sulit untuk memahami tindakan; karena tindakan, tidak-tindakan, dan salah-tindakan sering tampak serupa. Maka renungkan dengan hati-hati sebelum bertindak."
Dalam konteks sosial hari ini, ajaran ini menyuarakan hal seperti keadilan sejati bukan hanya urusan hukum negara, tapi juga soal keseimbangan semesta. menjelaskan tentang hakikat tindakan (karma), tindakan yang salah (vikarma), dan tidak melakukan tindakan sama sekali (akarma), serta betapa sulitnya memahami hakikat dari semua itu.Â
Dalam pandangan Hindu, korupsi bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran terhadap tatanan semesta. Ia merusak keseimbangan antara manusia, alam, dan nilai-nilai kebenaran. Ketika seseorang memilih untuk menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi, ia sebenarnya sedang memutus hubungan dengan Dharma atau prinsip kebenaran yang menopang kehidupan itu sendiri.
Korupsi mungkin tampak menguntungkan di permukaan. Rumah jadi mewah, rekening makin tebal, orang-orang seolah hormat. Tapi sesungguhnya, setiap rupiah yang diambil bukan dari haknya akan menciptakan beban batin. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga keterikatan pada akibat yang kadang tak langsung terasa, namun akan muncul dalam bentuk penderitaan di waktu yang tak terduga.
Dalam kerangka karma phala, setiap tindakan jahat apalagi yang merugikan banyak orang akan berbuah pada penderitaan yang setara. Ini bukan ancaman, tapi prinsip dasar alam yaitu apa yang ditanam, itulah yang tumbuh. Bahkan jika hari ini pelakunya bebas, dihormati, atau tampak berjaya, itu bukan berarti ia lolos. Bisa jadi, ia sedang diberi ruang oleh semesta untuk belajar. Tapi ketika waktunya tiba, buah dari karmanya tetap akan datang, entah sebagai keruntuhan dalam hidup, penyakit, kehancuran relasi, atau penderitaan batin yang sunyi tapi dalam.
Dalam ajaran Hindu, kehidupan dipandang sebagai rangkaian perjalanan jiwa yang terus berlanjut, dan di dalamnya terdapat konsep punarbhawa yaitu kelahiran kembali. Artinya, apa pun karma yang belum terselesaikan di kehidupan ini tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan melekat pada jiwa dan ikut terbawa ke kelahiran berikutnya, seperti utang yang diwariskan. Oleh karena itu, tindakan korupsi tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran sosial, tetapi juga sebagai awal dari rantai penderitaan yang panjang, bahkan lintas kehidupan. Ketika seseorang menyengsarakan banyak orang demi kepentingan pribadi, ia tidak hanya merusak tatanan sekarang, tapi juga sedang menanam fondasi bagi penderitaan yang akan dituainya kembali, baik dalam kehidupan ini maupun di kehidupan mendatang.
Punarbhawa bukan sekadar pengulangan hidup, tapi kelanjutan dari tanggung jawab yang belum selesai. Jiwa membawa jejak karmanya, baik dan buruk, dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Korupsi yang tidak dibayar lunas di kehidupan ini akan dibawa ke kehidupan berikutnya dalam bentuk penderitaan yang sulit dijelaskan secara logika biasa seperti fenomena kemiskinan, penyakit, kehilangan, atau ketidakberdayaan yang tampak "tidak adil", padahal sesungguhnya adalah bagian dari keseimbangan karma. Lebih dari itu, tindakan korupsi juga melemahkan kualitas batin seseorang. Ia menciptakan kebiasaan buruk dalam jiwa seperti keserakahan, tipu daya, dan ego yang terbentuk dalam-dalam. Jiwa yang demikian, ketika lahir kembali, akan cenderung mengulang pola yang sama jika tidak ada kesadaran dan perubahan. Inilah kenapa ajaran Hindu tidak hanya bicara soal akibat luar, tapi juga soal pembersihan batin.
Ajaran tentang karma dan punarbhawa bukan ditujukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan. Bahwa setiap tindakan kita, bahkan yang tampak sepele, memiliki gema panjang. Bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibangun di atas penderitaan orang lain. Dan bahwa kekuasaan, ketika digunakan tanpa dharma, bukan berkah, melainkan beban dimana jika seseorang menyadari ini, maka pertobatan bukan lagi soal formalitas hukum. Ia menjadi perjalanan batin untuk memperbaiki diri, memutus rantai karma buruk, dan membuka jalan menuju kelahiran yang lebih bersih dan bermakna.
Korupsi bukan sekadar masalah hukum atau ekonomi. Ia adalah cermin dari krisis batin saat manusia lupa bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tapi tentang bagaimana kita menjalaninya. Bahwa kekuasaan bukan soal siapa yang lebih tinggi, tapi siapa yang mampu menjaga yang di bawahnya. Bahwa uang bisa membeli banyak hal, tapi tidak bisa menyuap karma.
Bagi siapa pun yang pernah tergoda menyimpang, ini bukan undangan untuk takut melainkan kesempatan untuk kembali. Kembali ke jalan yang seimbang. Kembali ke niat yang bersih. Karena hukum karma tidak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran. Ia memberi ruang untuk belajar, memperbaiki, dan melanjutkan hidup dengan lebih sadar.
Dan untuk generasi yang sedang tumbuh, harapan itu ada pada kalian. Tumbuhlah dengan kepekaan, bukan hanya kepintaran. Belajarlah bukan hanya untuk bisa menjawab soal, tapi juga untuk bisa membedakan benar dan salah. Karena bangsa ini tidak hanya butuh orang cerdas, tapi juga orang benar mereka yang mampu berdiri tegak walau sunyi, karena tahu bahwa dharma tak selalu disambut tepuk tangan.
Di hadapan hukum manusia, mungkin seseorang bisa lolos. Tapi di hadapan Dharma, tidak ada jalan pintas.
Mari jadi bagian dari generasi yang tak ingin "menang" dengan cara curang. Generasi yang memilih jalan terang, meski lebih sepi. Karena dari sanalah masa depan yang adil dan damai akan tumbuh.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI