Warung Buncit... nama yang aneh, dulu tahun 80-an jalan Warung Buncit Raya, yang sekarang bernama jalan Mampang Prapatan adalah sebuah jalan kecil dengan kendaraan dua arah saja. Tanpa pembatas jalan. Pelebaran pertama membuat jalan menjadi terbagi dua dengan trotoar pembatas jalan. Dan jalan sekarang, mungkin sudah menjadi 4 kali lebarnya dari awal mula jalan yang hanya dua arah itu. Kendaraan tidak sepadat sekarang, mobil yang lewat masih jarang-jarang. Setelah 35 tahun berlalu, ternyata pemandangan yang terpampang adalah kemacaten permanen setiap pagi dan polusi suara serta asap knalpot kendaraan saja. Padahal dulu jalan ini juga rindang.
Lokasi kantor taksi Blue Bird yang dulu kecil hanya bagian depan saja, persis di seberang hotel yang sekarang. Tapi sekarang kantor taksi Blue Bird menjulang menjadi sebuah gedung megah, yang menggusur perkampungan disekitarnya, dimana kami dulu bermain ke rumah teman-teman yang ada disekitarnya. Saat ini nyaris tanpa ada lagi perkampungan disekitar bagian depannya, habis tergusur. Sebuah rumah bersalin Budi Satria yang dulu berada di sebelah kirinyapun, kini menjelma menjadi sebuah ruko. Pintu gerbang hotel, yang dulunya pemakaman keluarga tak luput dari penggusuran untuk sebuah perkembangan kota. Dulu dipintu gerbang hotel dan sebuah bangunan kantor yang ada didepannya, adalah komplek pemakaman keluarga, bagian kiri pintu masuk hotel dahulu terkenal dengan warung ayam goreng kampungnya. Agak masuk sedikit, sempat ada Indah panti pijat yang sempat di tentang warga. Karena tidak lazim tempat itu ada sebuah panti pijat pada masa itu bagi masyarakat sekitar.
Dan bangunan inti hotel, yang dulunya disebut sawah, padahal hanya sebuah tanah sisa perkebunan, berupa tanah lapang yang cukup luas. Kini menjelma menjadi sebuah hotel bertingkat yang bangunannya hampir tembus sampai ke jalan Warung Buncit 3, sekarang jalan Mampang Prapatan 6. Dulu disitu ada 2 empang besar dan tanah lapang itu sebagai lapangan bola, dimana orang-orang kampung sekitarnya bermain bola setiap sore dan bermain layang-layang. Tak ada yang tersisa, tinggal cerita kenangan saja.
Pom bensin Shell diseberang gedung tinggi kantor taksi Blue Bird itu, dulunya adalah sederetan rumah, macam rumah dinas. Salah satu penghuninya yang paling kanan, ada 2 orang anak lelaki dan seoarng perempuan kalau tidak salah, karena saya bertetangga dengan mereka. Entah dimana mereka kini berada setelah lebih dari 35 tahun. Dan gedung disebelah pom bensin Shell sekarang adalah rumah yang letaknya agak ke dalam, dengan halam depan yang luas, penghuninya kakak beradik dengan rumah disebelahnya, yang sekarang jadi sebuah gedung perkantoran tepat dibelakang halte kecil, berada disebelah jalan Mampang Prapatan 6 yang ada jembatan penyeberangan. Dahulu disitu ada warung kelontong kecil,dan pohon seri yang rindang.
Bagian belakang gedung perkantoran itu dulu ada sebuah rumah besar adalah milik Pak Bara, begitu orang kampung menyebutnya. Ada anjing herder besar yang dipelihara untuk menjaga rumah itu. Karena suasana kampung masih sepi. Dibelakang rumah besar yang ada anjing herder itu ada kamar kecil macam toilet, disampingnya ada pompa air ungkit dragon. Entah kenapa rumah itu akhirnya ditinggalkan kosong melompong dan menjadi tempat tongkrongan tukang becak, preman dan jagoan-jagoan kampung masa itu. Rumah tersebut sempat kosong lama. Entah dimana sekarang pak Bara dan keluarganya tinggal, semua tinggal cerita masa lalu yang nikmat untuk diingat saja.
Pembangunan menggerus kehidupan perkampungan dan meninggalkan kenangan, apalagi gedung-gedung di sekitar segitiga Kuningan dan jalan Gatot Subroto. Berapa banyak perkampungan sudah habis, termakan bangunan bertingkat itu. Penggusuran demi pembangunan terus terjadi, menyisakan kenangan masa kecil penghuni kampung, yang asing melewati tempat tinggal masa lalunya. Semua terjadi begitu saja sampai kita ingat dan menyadari bahwa kita pernah tinggal disitu. Dan hanya tinggal cerita untuk anak cucu, bahwa kita mengalah demi kota yang kejam, serakah dan tak mengenal siang malam untuk mencari nafkah.
Kala itu bisa kota yang melintas pun hanya Metro Mini S75 Blok M-Pasar Minggu dan Kopaja T57 terminal Cililitan-Blok M yang masih ada sampai hari ini. Juga Bemo dengan rute pasar Mampang Prapatan yang sekarang menjadi perempatan padat kemacetan walaupun sudah ada jembatan layangnya, tetap saja selalu macet dan semrawut. Rute Bemo dari pasar Mampang itu sampai pasar Warung Buncit, dekat perempatan lampu merah jalan Duren Tiga Raya. Tak ada kebut-kebutan parah Metro Mini yang mengejar setoran seperti sekarang. Dulu penumpang menunggu bisa kota, sekarang bis kota menunggu penumpang. Bis kota kalah dengan kendaraan pribadi. Kalaupun lama menunggu, tak segan jalan kaki dari pasar Mampang ke depan pom bensin Shell yang sekarang atau bahkan pom bensin Pertamina sebelah sevel, perempatan Warung Buncit 4-sekarang Mampang Prapatan 8.
Di Sevel itu, dulu ada warung indo mie yang terkenal tempat kumpul anak-anak muda sekitarnya, masih juga rindang dengan pohon belimbing, serta TK Bu Kasur. Pintu masuk pom bensin Pertamina itu dulunya sebuah warung, ada gang kecil dimana didalamnya orang kenal sebagai tempat bersalin, rumah bidan Engkus, yang anak-anaknya AA, Deden dan Inong adalah teman sepermainan.
Percetakan Subur yang sekarang, dahulu dihuni oleh keluarga sahabat saya, Gatot yang tuna wicara, yang almarhum karena tenggelam dikolam renang komplek Hankam diseberang gedung imigrasi saat ini. Gatot anak yang baik dan ramah, lantaran bicaranya yang tidak jelas dan kurang dipahami orang, hingga sedikit saja yang dekat dengannya. Dibelakang rumah Gatot ada pabrik minuman limun Sarsaparila, dahulu sering terdengar dari luar tembok pabrik itu, gemerincing botol-botol beradu sedang diolah dan diisi. Entah pindah kemana pabrik itu kini, ataukah sudah tidak ada lagi.
Diseberang sevel, yang sekarang menjadi ruko berderet dengan toko Alfa Mart, juga sederet dengan sebuah mesjid yang hanya dipisahkan oleh gang kecil, ruko itu dulu adalah juga rumah sahabat saya, Wawan Kimbo yang mempunyai bengkel.
Wawan Kimbo (Almarhum).... kami bersahabat kental, sejak bertualang ke Bandung dengan jumping menumpang truk dari lampu merah terminal Cililitan, yang dulunya terkenal sebagai terminal bis antar kota antar propinsi. Sebelum dipindah dan adanya terminal bis antar kota di Kampung Rambutan. Petualangan itu pun terjadi tanpa sengaja, mengalir begitu saja tanpa rencana, cuma karena kami saling mempunyai jiwa muda yang nekat bepergian tanpa modal.
Saat siang itu pulang sekolah setelah ujian SMA usai, setelah melewati jalan Buncit 3 masuk ke dalam arah pulang, di warung bang Fuad disebalah kanan jalan, disitulah Wawan nongkrong. Tanpa ba bi bu....dia mengajak, gimana kalau kita jalan ke Bandung jumping-numpang numpang truk ke Bandung? OK... kata saya.
Rupanya ada 3 atau 4 orang teman sekolahnya yg mau ikut, tapi mereka naik bis antar kota dari terminal Cililitan, sedangkan kita berdua hanya mengantar sampai terminal saja, sampai mereka masuk dan naik ke dalam bis. Setelah itu kami berdua jalan kaki ke perempatan lampu merah, dengan tas ransel kecil masing-masing, mencari tumpangan kendaraan ke arah jalan raya Bogor yang belum selebar saat ini.
Sore menjelang malam itu, kami memilih-milih kendaraan truk apa yang bisa kami lompati untuk dinaiki sampai ke Bandung, kami cari plat D atau F. Dapatlah sebuah truk sedang, dimana rupanya ada juga serombongan anak-anak muda lain yang membantu kami, mengulurkan tangan untuk memanjat menaiki truk tersebut. Masa itu lumrah dan banyak anak-anak muda menumpang truk tujuan Bandung via jalan raya Bogor entah lewat Sukabumi atau jalur puncak. Kami serombongan berdiri menghadap keluar, memegangi pinggiran bak truk menyaksikan pemandangan jalan malam yang gelap. Dingin angin malam membuat darah bertualang kami mendesir.
Perasaan pengalaman baru dan menikmati perjalanan tak terasa, sampai akhirnya truk berhenti di pom bensin dan mengisi minyak, entah di daerah mana, kami tak ingat lagi. Kami semua diturunkan karena truk tak sampai Bandung. Turunlah kami, berjalan menepi dan mencari tumpangan lagi, ada sebuah mobil bak pick up membawa sayur dan kami ijin ke pengemudi untuk menumpang, kami bilang tujuan kami ke Bandung. Tapi mereka menolak karena mereka tidak kesana, hampir kami menaiki mobil bak pick up itu dan turun lagi.
Akhirnya kami dapat tumpangan mobil truk lagi di pom bensin itu dan entah bagaimana, karena tertidur dalam perjalanan yang diiringi malam yang semakin larut. Tibalah kami disekitar alun-alun kota Bandung, malam itu masih dini hari. Kami lompat turun dan mencari persinggahan. Malam itu malam minggu, masih banyak orang begadang sampai pagi. Kami berhenti di pos polisi kecil dekat alun-alun, disitu kami melanjutkan tidur hingga subuh.
Paginya kami bangun dan berjalan keliling tak tentu arah, sambil mencari jajanan sarapan, hingga sampailah di sebuah perumahan. Jalan keliling gak jelas tujuan, muter keliling perumahan tersebut, hingga sampai pada sebuah rumah yang dijadikan kantor, dan kami sempat ngobrol dengan penjaga rumah itu yang merangkap office boy, juga membersihkan rumah karena tinggal disitu sendiri. Kami ceritakan perjalanan kami dari Jakarta. Jadilah keakraban yang tidak disengaja itu, hingga kami dapat tempat istirahat siang.
Ngobrol ngalor ngidul dari di luar rumah, hingga kami dijinkan masuk ke dalam, disitulah kami tahu kalau rumah ini ternyata adalah sebuah kantor dan bukan tempat tinggal biasa. Entah apa yang kami bicarakan sepanjang siang itu, saya lupa. Yang saya ingat, menjelang sore kami sempat menumpang mandi dan sore menjelang malam, kami berdua, saya dan Wawan Kimbo berjalan lagi, setelah pamit dan berterima kasih. Kalau diingat-ingat kejadian masa itu adalah sebuah keajaiban, jika hal itu terjadi saat ini, dimana kami yang baru kenal bisa menumpang mandi dan diterima dengan baik. Mungkin keadaan suasana dulu dan sekaranglah pembedanya.
Kami berjalan lagi menikmati sebagian kecil jalanan kota Bandung, sebagai pelancong tanpa modal, hanya modal nyali dan kemauan jalan-jalan seadanya. Maklumlah, jaman kami bertualang, belum ada internet. Tidak seperti anak-anak muda traveler sekarang, yang melakukan perjalanan dengan sangat rapih dan bermodal, dengan rencana yang baik. Sudah ada bayangan tempat-tempat yang akan dikunjungi, sudah bisa melihat lokasi-lokasi yang akan dikunjungi dengan browsing internet. Petualangan sejatinya seperti itulah, benar-benar menikmati perjalanan yang tidak terencana dan tanpa modal besar, karena hanya mencari pengalaman masa muda. Untuk berbagi cerita dan pengalaman saja saat kumpul-kumpul, bukan mencari cerita untuk dibanggakan dalam narsis medsos.
Tak ada wisata kuliner. Dalam menyusuri jalan malam itu, mencari makan malam di warung pinggir jalan seketemunya. Kami singgah disebuah warung untuk makan malam, dimana disebelahnya ada toko material yang hampir tutup, karena malam makin larut. Sambil menghisap rokok sebagai teman perjalanan, mengusir dingin udara malam kota Bandung. Kami ijin ke penjaga dan pemilik tempat tersebut, untuk numpang tidur di emperan toko material tersebut, didepan rumahnya. Kami hanya bawa ply sheet bahan parasit sebagai alas tidur yang sudah kami siapkan. Ketika ply sheet sudah digelar dan kami rebahan diemperan rumah yang jadi toko material tersebut, pemiliknya bilang,
“de... jangan tidur disini deh, nanti malam banyak patroli nanti di tanya-tanya”. “lho... kenapa banyak patroli Pak ?” kami ingat, dijelaskan kalau malam itu adalah malam peringatan G30S PKI, dimana banyak patroli keliling. Jadi, ingatlah kami kalau malam itu adalah tanggal 30 September. Keamanan dan patroli untuk persiapan upacara besok itulah yang dikhawatirkan pemiliknya untuk kami. Kami jelaskan bahwa kami punya KTP dan bertanggung jawab, tidak melakukan perbuatan apapun yang menyusahkan dia. Yang saya ingat, sempat terjadi perdebatan yang hampir membuat kami tidak bisa tidur diemperan itu. Setelah penjelasan kami berdua, ahkirnya dia bisa mengerti dan kami bisa tidur diemperan situ dengan alas ply sheet bahan parasit yang tadinya akan kami lipat lagi dan tas ransel kecil sebagai bantalnya.
Perjalanan itulah yang mengentalkan persahabatan kami berdua, saya dan Wawan Kimbo. Bagaimana dia menjadi almarhum, mungkin akan saya kisahkan dibagian lain. Karena melihat ruko sebelah toko Alfa Mart, diseberang pom bensin Pertamina, sebelah sevel di Warung Buncit 4 & 5 (Sekarang Mampang Prapatan 7 & 8), membangunkan ingatan lamunan pengalaman bertualang saya dengan anak pemilik rumah itu, 35 tahun lebih yang lalu.
Bangunan gedung bertingkat yang pertama kali ada, dijalan Mampang Prapatan adalah yang ada disebelah jalan Mampang Prapatan 4 (dahulu jalan Warung Buncit 1). Disitu juga ada warung kelontong yang terkenal H. Sa’ari. Yang saat ini menjadi gedung perkantoran juga, disebelah kiri jalan masuk Mampang Prapatan 4. Warung kelontong yang tersisa hingga saat ini adalah toko gas, yang dulu dikenal dengan warung Ayung dan toko minuman Akku, saling bersebarangan sampai saat ini, sebelum jalan selebar sekarang. Entah sampai kapan mereka bisa bertahan tergerus majunya perkembangan kota.
Ada juga sebuah rumah makan Tjepu yang sekarang jadi gedung dealer Mercedes Benz. Anak pemilik warung tersebut seorang perempuan hitam manis jangkung, yang satu sekolah dengan saya sampai kelas dua di Madrasah Al-Falah, lokasi sekolahnya, jalan yang sekarang masuk disebelah kirinya ada dealer motor Honda. Entah pindah kemana warung makan Tjepu itu, semua tinggal kenangan.
Mesjid Al Falah yang berseberangaan dengan madrasah Al Falah, kala itu akan dikunjungi oleh wakil presiden H. Adam Malik. Kami ingat betul semua polisi tidur dijalan itu, diratakan dengan jalan karena kedatangan beliau ke mesjid Al Falah tersebut. Semua di cat putih dan dibersihkan sebagai penyambutan untuk beliau.
Satu-satunya tempat belanja yang dianggap wah dan sangat modern kala itu adalah Hero Super market di dekat pasar Mampang Prapatan, sekarang berganti nama menjadi Giant Hypermart. Ada juga toko buku Trio, yang sekarang kantor masih diruko yang sama, disebelah delarer Honda dekat Al Falah, dahulu anak-anak SD berbondong-bondong membeli keperluan sekolah disitu, tempatnya lain dari yang lain, lebih nyaman dan lebih bagus. Sedangkan toko buku yang sangat tekenal dipasar Mampang kala itu adalah toko buku Palapa. Tampaknya hampir semua murid sekolah dari perempatan pasar Mampang sampai sekitar perempatan Sevel Warung Buncit, pernah membeli buku disini.
Pasar tradisional kala itu hanya 2, pasar Mampang Prapatan dan pasar Warung Buncit. Kini pasar Mampang bertingkat bersanding dengan gedung hotel dibelakangnya, sedangkan pasar Warung Buncit terbelah oleh pelebaran jalan yang sekarang, sehingga masa itu dibangunlah pasar inpres, di pindah ke seberang RPH, rumah pemotongan hewan yang di sebut jagal. Dan rumah jagal pun tinggal cerita karena dipindah juga. Banyak sapi-sapi dan kerbau dikirim dari Jawa dengan truk-truk besar ke RPH jagal, didepan pasar inpres tersebut. Banyak juga mata pencaharian masyarakat Warung Buncit dari rumah jagal Buncit ini. Sekarang itu juga tinggal bagian cerita masa lalu, untuk anak cucu bagi mereka yang pernah melakoninya sebagai tukang jagal di RPH Buncit.
Semakin kesini, semakin banyak gedung dan pilihan untuk tinggal menjadi semakin menjauhi Warung Buncit. Penduduk kampung Warung Buncit bahkan kini terganti oleh penghuni gedung-gedung perkantoran, pindah demi perkembangan kota yang serakah dan katanya untuk kemajuan, yang menggusur pribumi menjadi penduduk pendatang di daerah lain. Seberapa berdampak positifkah perubahan itu, membawa manfaat bagi pengorbanan penduduk lokal sekitarnya? Ini bukan hanya cerita tentang Warung Buncit, mungkin juga kisah ini berlaku didaerah lain, dimana hal yang sama bisa saja terjadi. Yang bisa saja menyisakan kenangan kisah haru untuk masa lalu dan masa kecil yang menyenangkan, yang kini tampak asing ketika kita melewatinya. Padahal dahulu itu adalah tempat tinggal kita, tempat kita bermain.
Benar kata bang Iwan Fals, tanah moyangku tergusur demi serakahnya kota, terjual habis satu persatu, sawah, kebun dan ternak. Memang tak ada yang perlu disesalkan, tapi kita juga harusnya memikirkan. Bisa jadi anak cucu kita nantinya bekerja dibangunan gedung atau pabrik, bekas rumah dan tanah sawah-tanah keluarga kita. Jika kita tak bisa tinggal disitu selamanya, biarlah anak cucu kita menempatinya sebagai rumah siang dimana mereka bekerja ditempat masa kecil kita tinggal. Akan kah nama Warung Buncit tetap ada? Entahlah.... Karena sekarang nama jalan Warung Buncit sudah berganti nama sejak lama menjadi jalan Mampang Prapatan, entah karena apa ? Mungkin karena namanya yang aneh.... Warung Buncit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI