Saat siang itu pulang sekolah setelah ujian SMA usai, setelah melewati jalan Buncit 3 masuk ke dalam arah pulang, di warung bang Fuad disebalah kanan jalan, disitulah Wawan nongkrong. Tanpa ba bi bu....dia mengajak, gimana kalau kita jalan ke Bandung jumping-numpang numpang truk ke Bandung? OK... kata saya.
Rupanya ada 3 atau 4 orang teman sekolahnya yg mau ikut, tapi mereka naik bis antar kota dari terminal Cililitan, sedangkan kita berdua hanya mengantar sampai terminal saja, sampai mereka masuk dan naik ke dalam bis. Setelah itu kami berdua jalan kaki ke perempatan lampu merah, dengan tas ransel kecil masing-masing, mencari tumpangan kendaraan ke arah jalan raya Bogor yang belum selebar saat ini.
Sore menjelang malam itu, kami memilih-milih kendaraan truk apa yang bisa kami lompati untuk dinaiki sampai ke Bandung, kami cari plat D atau F. Dapatlah sebuah truk sedang, dimana rupanya ada juga serombongan anak-anak muda lain yang membantu kami, mengulurkan tangan untuk memanjat menaiki truk tersebut. Masa itu lumrah dan banyak anak-anak muda menumpang truk tujuan Bandung via jalan raya Bogor entah lewat Sukabumi atau jalur puncak. Kami serombongan berdiri menghadap keluar, memegangi pinggiran bak truk menyaksikan pemandangan jalan malam yang gelap. Dingin angin malam membuat darah bertualang kami mendesir.
Perasaan pengalaman baru dan menikmati perjalanan tak terasa, sampai akhirnya truk berhenti di pom bensin dan mengisi minyak, entah di daerah mana, kami tak ingat lagi. Kami semua diturunkan karena truk tak sampai Bandung. Turunlah kami, berjalan menepi dan mencari tumpangan lagi, ada sebuah mobil bak pick up membawa sayur dan kami ijin ke pengemudi untuk menumpang, kami bilang tujuan kami ke Bandung. Tapi mereka menolak karena mereka tidak kesana, hampir kami menaiki mobil bak pick up itu dan turun lagi.
Akhirnya kami dapat tumpangan mobil truk lagi di pom bensin itu dan entah bagaimana, karena tertidur dalam perjalanan yang diiringi malam yang semakin larut. Tibalah kami disekitar alun-alun kota Bandung, malam itu masih dini hari. Kami lompat turun dan mencari persinggahan. Malam itu malam minggu, masih banyak orang begadang sampai pagi. Kami berhenti di pos polisi kecil dekat alun-alun, disitu kami melanjutkan tidur hingga subuh.
Paginya kami bangun dan berjalan keliling tak tentu arah, sambil mencari jajanan sarapan, hingga sampailah di sebuah perumahan. Jalan keliling gak jelas tujuan, muter keliling perumahan tersebut, hingga sampai pada sebuah rumah yang dijadikan kantor, dan kami sempat ngobrol dengan penjaga rumah itu yang merangkap office boy, juga membersihkan rumah karena tinggal disitu sendiri. Kami ceritakan perjalanan kami dari Jakarta. Jadilah keakraban yang tidak disengaja itu, hingga kami dapat tempat istirahat siang.
Ngobrol ngalor ngidul dari di luar rumah, hingga kami dijinkan masuk ke dalam, disitulah kami tahu kalau rumah ini ternyata adalah sebuah kantor dan bukan tempat tinggal biasa. Entah apa yang kami bicarakan sepanjang siang itu, saya lupa. Yang saya ingat, menjelang sore kami sempat menumpang mandi dan sore menjelang malam, kami berdua, saya dan Wawan Kimbo berjalan lagi, setelah pamit dan berterima kasih. Kalau diingat-ingat kejadian masa itu adalah sebuah keajaiban, jika hal itu terjadi saat ini, dimana kami yang baru kenal bisa menumpang mandi dan diterima dengan baik. Mungkin keadaan suasana dulu dan sekaranglah pembedanya.
Kami berjalan lagi menikmati sebagian kecil jalanan kota Bandung, sebagai pelancong tanpa modal, hanya modal nyali dan kemauan jalan-jalan seadanya. Maklumlah, jaman kami bertualang, belum ada internet. Tidak seperti anak-anak muda traveler sekarang, yang melakukan perjalanan dengan sangat rapih dan bermodal, dengan rencana yang baik. Sudah ada bayangan tempat-tempat yang akan dikunjungi, sudah bisa melihat lokasi-lokasi yang akan dikunjungi dengan browsing internet. Petualangan sejatinya seperti itulah, benar-benar menikmati perjalanan yang tidak terencana dan tanpa modal besar, karena hanya mencari pengalaman masa muda. Untuk berbagi cerita dan pengalaman saja saat kumpul-kumpul, bukan mencari cerita untuk dibanggakan dalam narsis medsos.
Tak ada wisata kuliner. Dalam menyusuri jalan malam itu, mencari makan malam di warung pinggir jalan seketemunya. Kami singgah disebuah warung untuk makan malam, dimana disebelahnya ada toko material yang hampir tutup, karena malam makin larut. Sambil menghisap rokok sebagai teman perjalanan, mengusir dingin udara malam kota Bandung. Kami ijin ke penjaga dan pemilik tempat tersebut, untuk numpang tidur di emperan toko material tersebut, didepan rumahnya. Kami hanya bawa ply sheet bahan parasit sebagai alas tidur yang sudah kami siapkan. Ketika ply sheet sudah digelar dan kami rebahan diemperan rumah yang jadi toko material tersebut, pemiliknya bilang,
“de... jangan tidur disini deh, nanti malam banyak patroli nanti di tanya-tanya”. “lho... kenapa banyak patroli Pak ?” kami ingat, dijelaskan kalau malam itu adalah malam peringatan G30S PKI, dimana banyak patroli keliling. Jadi, ingatlah kami kalau malam itu adalah tanggal 30 September. Keamanan dan patroli untuk persiapan upacara besok itulah yang dikhawatirkan pemiliknya untuk kami. Kami jelaskan bahwa kami punya KTP dan bertanggung jawab, tidak melakukan perbuatan apapun yang menyusahkan dia. Yang saya ingat, sempat terjadi perdebatan yang hampir membuat kami tidak bisa tidur diemperan itu. Setelah penjelasan kami berdua, ahkirnya dia bisa mengerti dan kami bisa tidur diemperan situ dengan alas ply sheet bahan parasit yang tadinya akan kami lipat lagi dan tas ransel kecil sebagai bantalnya.
Perjalanan itulah yang mengentalkan persahabatan kami berdua, saya dan Wawan Kimbo. Bagaimana dia menjadi almarhum, mungkin akan saya kisahkan dibagian lain. Karena melihat ruko sebelah toko Alfa Mart, diseberang pom bensin Pertamina, sebelah sevel di Warung Buncit 4 & 5 (Sekarang Mampang Prapatan 7 & 8), membangunkan ingatan lamunan pengalaman bertualang saya dengan anak pemilik rumah itu, 35 tahun lebih yang lalu.