Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kualitas dan Bukan Kuantitas Pendidikan

9 Agustus 2016   21:18 Diperbarui: 10 Agustus 2016   00:11 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah full day school/additional extra curricular activity yang digagas Mendikbud baru, Prof.Muhadjir Effendy seharusnya tidak menimbulkan kegaduhan bila ide ini dikeluarkan setelah urusan tetek bengek pendidikan yang masih bejibun sudah dituntaskan dengan sempurna. 

Saya tidak mengerti apa mindset berpikir Profesor dengan menerjemahkan nawacita/revolusi mental dengan durasi pertemuan guru dan murid. Dengan alasan jam bertemu yang tidak matching antara jam pulang sekolah si anak dan jam pulang orang tua, saya pikir ide ini sepertinya tidak pas dengan kemajuan teknologi komunikasi saat ini yang bisa memungkinkan adanya video call, skype dll. 

Kita harus meletakkan murid/siswa sebagai subjek bukan objek yang dimainkan oleh para orang dewasa yang bisa jadi tujuannya bukan untuk kepentingan anak tapi untuk kepentingan pembuat kebijakan. Saya menangkapnya apakah ini langkah balas budi sang Menteri yang baru diangkat menggantikan relawan Jokowi sebelum jadi presiden, Prof Anis Baswedan?  

Seingat saya seorang scholar tidak begitu saja mengeluarkan gagasan yang "tidak/kurang matang" ke publik seperti halnya isu seperti mengumumkan ada biskuit mengandung minyak babi atau ada isu beras plastik. Masyarakat yang resah akan dengan mudah dimainkan oleh para spekulator dan mungkin musuh Jokowi untuk terus menggoyangnya.

Full Day School, harusnya dirubah objeknya menjadi Full Day School Attention!  Tidak mengatur kebiasaan belajar siswa, tapi full attention kepada kebutuhan siswa,guru,penjaga sekolah, prasarana sekolah dan lain-lain. Mengapa attention atau perhatian diperlukan para share holder sekolah? Karena disanalah letak permasalahan selama ini seperti kebijakan top-bottom dan bukan sebaliknya yang dipertontonkan lewat peraturan-peraturan yang kadang kurang dimengerti para guru dan pelaksana pendidikan di bawah.. Di jaman digital yang multi-layered communication, tidaklah pada tempatnya pemerintah/pejabat memerintahkan atau menggagas sesuatu yang tidak real dan down to earth

Sebagaimana riwayat dari Mendikbud sebelumnya yang dianggap kurang memahami aktifitas belajar mengajar siswa dan guru atau sebaliknya yang akhirnya membuat suatu konsep "pendidikan" yang dianggap benar dan up to date malah jadi kurang matang jadinya. Sertifikasi guru dan Kurtilas (Kurikulum 2013) memang penting tapi apakah pada latar pelaksanaan belajar mengajar sudah benar-benar memang dibutuhkan dan diharapkan masyarakat?  

Kita sering dihadapkan pada istilah ganti Mendikbud , ganti Kurikulum dan sepertinya setiap menteri punya gagasan baru untuk diimplementasikan namun sebagian sepertinya jaga image (jaim) untuk melanjutkan prestasi/keputusan menteri sebelumnya. Seperti contoh di Jakarta, sekolah negeri menjadi favorit karena disanalah letak kecukupan materi pendidikan dapat kita saksikan, mulai dari pendapatan guru yang memadai, fasilitas pendidikan yang modern serta siswa tidak bayar uang sekolah(gratis). Tapi bagaimana dengan sekolah swasta? Mereka sepertinya harus berjuang sendiri dengan memanfaatkan dana dari uang sekolah dan sedikit bantuan dari pemerintah untuk ikut serta membangun pendidikan di negeri ini yang semakin hari semakin berat tantangannya. 

Tantangan apa? Ya apalagi kalau bukan dengan makin mudahnya siswa berkomunikasi lewat gawai yang makin modern tapi murah, lebih dari alat komunikasi biasa. Survey terakhir terhadap pelajar remaja (SMP dan SMA) menunjukkan mereka lebih menyukai telpon genggam berbasis internet dari pada memiliki pesawat televisi atau alat komunikasi tanpa internet. Dan disinilah karena banyak yang kurang kontrol, prestasi siswa sekolah banyak yang menurun, karena konsentrasi terbelah, lalu  kurang tidur dan kurang gizi akibat hanya fokus pada permainan di gawai. 

Dengan dilarangnya gawai dibawa ke sekolah, sudah pasti anak-anak ingin segera pulang untuk menemukan "sahabat elektronika" nya ini. Jadi betapa beratnya tugas Bapak dan Ibu guru kalau ditambah harus mengontrol kegiatan ekskul hingga sore hari? Bapak dan Ibu guru pun manusia dan orang tua juga, lantas kalau ketentuan ini diperlukan, apakah kesejahteraan guru sudah dipikirkan. Dengan total jumlah mengajar 24 jam seminggu, bila full day school diberlakukan, mereka hanya perlu mengajar 2 hari saja, sisanya kalau dia mau mengajar harus dihitung lembur, kalau tidak ya dia bisa bisnis atau side job  yang lain.  Apakah ini pemecahannya? Bagaimana wibawa guru dan sekolah bisa dipertahankan?

Memang ini baru gagasan....tapi kalau seorang pejabat bicara seharusnya ide ini jangan membuat masyarakat resah, karena sepertinya pesan dan kesannya nggak nyambung. Pendidikan ini untuk kepentingan generasi masa depan, dan pembuat kebijakan seharusnya berhati-hati dalam membuat keputusan. 

Children must be taught how to think, not what to think.”  Margaret Mead

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun