Apakah LeVay menyangkal bahwa faktor genetik ikut membentuk orientasi seksual manusia? LeVay di halaman 122 bukunya yang terbit 1993 menulis sesuatu yang bagian-bagiannya kerap dikutip orang dengan keluar dari konteks seluruh isi bukunya untuk mendalihkan bahwa sang neurosaintis ini tidak membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik.
Saya perlu ingatkan bahwa LeVay bekerja sebagai seorang neurosaintis, bukan sebagai seorang genetisis meskipun dia juga memanfaatkan banyak aspek dari genetika dalam bukunya ini. Yang dia telah tunjukkan adalah bagaimana neurosains telah bisa memperlihatkan bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang bersifat serebral, terhubung dengan ukuran bagian tertentu struktur hypothalamus dalam otak manusia. Untuk temuannya ini dapat berstatus konklusif, itupun, katanya, harus menunggu dua sampai tiga dasawarsa ke depan (sejak 1993) ketika teknologi pemindaian (scanning technology) terhadap otak manusia yang hidup sudah berkembang dengan canggih.
Di bagian-bagian lain dari bukunya ini LeVay sama sekali tidak pernah menolak kemungkinan yang serius bahwa orientasi seksual seseorang juga genetik, sebagaimana segera akan juga saya tunjukkan. Cuma, di awal 1990-an pembuktian klinis tentang aspek genetik orientasi seksual manusia belum dimungkinkan. Pada kesempatan ini, saya merasa terbeban betul untuk menerjemahkan isi halaman 122 bukunya itu selengkapnya. Berikut ini. Bacalah dengan seksama./15/
“Bagi banyak orang, menemukan suatu perbedaan dalam struktur otak di antara kalangan gay dan kalangan lesbian sama dengan telah membuktikan bahwa para homoseksual ‘sejak lahir memang telah homoseksual’. Seringkali aku digambarkan sebagai orang yang ‘telah membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik’ atau semacam itulah. Aku belum membuktikan itu. Observasi saya dilakukan hanya pada orang-orang dewasa yang telah aktif secara seksual untuk kurun yang lama. Jika berdasarkan hanya pada observasi saya, maka tidaklah mungkin untuk menyatakan apakah perbedaan-perbedaan struktural otak sudah ada ketika orang dilahirkan, dan kemudian mempengaruhi mereka untuk menjadi gay atau heteroseksual, atau apakah perbedaan-perbedaan itu timbul saat mereka telah dewasa sebagai suatu akibat dari perilaku seksual mereka.
Dalam mempertimbangkan mana dari interpretasi-interpretasi ini yang lebih mungkin, baiklah kita kembali ke riset tentang hewan yang sudah dibicarakan dalam bab-bab sebelumnya. Sebagaimana sudah dibentangkan dalam bab 10, nukleus yang secara seksual dimorfik, yang terdapat di area preoptik medial pada tikus-tikus (yang dapat atau tidak dapat sejalan dengan INAH3 pada manusia), sangatlah rentan untuk mengalami perubahan selama masa kritis yang berlangsung beberapa hari sebelum dan setelah kelahiran seekor anak tikus. Setelah masa ini dilewati, nukleus ini sulit untuk berubah dengan cara apapun. Bahkan mengebiri tikus-tikus dewasa (dengan akibat menghilangkan sumber androgen tikus dan sangat melumpuhkan perilaku seksual si tikus) paling banter hanya menimbulkan sedikit efek pada ukuran nukleus itu.
Jika hal yang sama terjadi pada INAH3 dalam diri manusia, maka tampaknya dimungkinkan bahwa perbedaan-perbedaan struktural di antara orang homoseksual dan orang heteroseksual muncul selama periode awal terjadinya diferensiasi seksual pada hypothalamus. Jika kondisinya demikian, maka adalah mungkin perbedaan-perbedaan ini berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. Namun kita juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa dalam diri manusia yang memiliki masa kehidupan lebih panjang dan korteks serebral yang telah berkembang lebih baik, perubahan-perubahan yang sangat kentara dalam ukuran INAH3 dapat terjadi sebagai suatu akibat dari perilaku saat sudah dewasa.
Nah, tentu saja eksperimen yang ideal adalah mengukur besarnya INAH3 pada bayi-bayi yang baru dilahirkan dengan menggunakan teknik-teknik pemindaian, lalu menunggu sampai mereka mencapai usia dewasa 20 tahun untuk menyelidiki orientasi seksual mereka. Jika ukuran nukleus tersebut pada waktu kelahiran sedikit banyak memprediksi orientasi seksual dasariah seseorang, maka para ahli dapat berargumentasi dengan lebih kuat bahwa ukuran nukleus dapat berperan sebagai suatu penyebab orientasi seksual seseorang. Eksperimen ini tidak dimungkinkan setidaknya untuk waktu sekarang ini, berhubung teknik-teknik pemindaian yang mampu menghasilkan gambar-gambar INAH3 dalam diri orang yang masih hidup masih belum ada.”
Itulah ilmu pengetahuan dan cara-cara kerjanya. Bersamaan dengan makin berkembangnya instrumen-instrumen penelitian, temuan-temuan lama pun akan makin teruji, bisa terverifikasi makin kuat, bisa juga terfalsifikasi. Pandangan-pandangan saintifik lama selalu diuji kembali, dan akhirnya pun akan dapat berganti. Sains itu dibangun di atas pundak sangat banyak generasi para saintis, bahu-membahu, yang memungkinkan para saintis makin luas memandang horison-horison masa depan kehidupan.
Hormon-hormon seks dan faktor genetik
Ok, bagaimana, apakah LeVay memandang ada peran faktor genetik dalam penentuan seksualitas manusia? Atau dia sama sekali menafikannya? Apakah gen-gen mempengaruhi pembentukan orientasi seksual seseorang? Dalam pendahuluan bukunya, dia menyatakan bahwa
“Berdasarkan penemuan-penemuan ini dan penemuan-penemuan dari para peneliti lainnya, tampaklah masuk akal untuk bertanya apakah perbedaan-perbedaan bawaan kelahiran di dalam organisasi otak, setidaknya sebagian darinya berada di bawah kendali genetik, tidak dapat menjadi basis keanekaragaman di dalam fungsi-fungsi mental dalam diri manusia, termasuk fungsi-fungsi mental yang terkait dengan seks.”/16/