Dalam artikel yang sama, kita baca tentang hasil penelitian lapangan yang dilakukan Universitas Negara San Francisco tentang kekuatan mental kalangan LGBT yang tertekan dan ditolak jika dibandingkan kalangan LGBT yang dapat hidup happy dan wajar dan diterima. Ditemukan fakta bahwa “dibandingkan dengan kaum LGBT yang tidak ditolak oleh orangtua dan pengasuh mereka karena mereka memiliki identitas gay atau transgender, orang LGBT yang ditolak dengan kuat memiliki peluang kemungkinan 8 kali lipat untuk bunuh diri, nyaris 6 kali lipat mengalami depresi berat, lebih dari 3 kali lipat menggunakan obat-obat terlarang, dan lebih dari 3 kali lipat kemungkinan terkena HIV dan STDs.”
Psikiater terkenal dari APA, Saul Levin, menyatakan bahwa “usaha mengubah OS seseorang lewat apa yang dinamakan ‘terapi konversi’ dapat dan sering menimbulkan bahaya yang real. Faktanya, risiko-risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup rasa cemas, depresi, bunuh diri, isolasi sosial, hilangnya kemampuan untuk membangun hubungan yang akrab, dan berbagai tindakan lain yang mau merusak diri sendiri.” Lebih jauh Levin menegaskan bahwa “penting untuk dicatat tidak ada bukti bahwa usaha-usaha untuk mengubah OS seseorang pernah berhasil, pun ketika si individu dengan ikhlas ingin OS-nya diubah.”/37/
Sangat penting diketahui bahwa kalangan LGBT (khususnya tipe distonik, yakni LGBT yang tidak merasa berbahagia dengan keadaan diri mereka sendiri) juga potensial menjadi homofobik terhadap LGBT lain. Akarnya ini: tekanan sosiopsikologis yang sangat kuat, yang mereka alami dari orangtua dan saudara-saudara mereka di rumah, mereka pendam dan desak kuat-kuat ke dalam alam bawah sadar mereka.
Karena LGBT distonik jenis ini tidak ingin melawan dan melukai perasaan orangtua dan saudara-saudara mereka, mereka berusaha semampu mereka untuk hidup seolah mereka hetero, sesuai kehendak keluarga mereka. Akibatnya, mereka menyangkali dan menolak dengan kuat jati diri mereka yang sebetulnya LGBT. Inilah “self-rejection” atau “self-denial” yang mereka paksakan atas diri mereka sendiri. Akibat selanjutnya, mereka juga membenci diri mereka sebagai LGBT.
Tekanan sosiopsikologis yang dipendam ini, dan kebencian dan penolakan serta kemarahan mereka terhadap diri mereka sendiri, akhirnya mereka harus salurkan juga demi keseimbangan jiwa mereka kepada sesama LGBT dalam masyarakat; alhasil, LGBT jenis ini juga menjadi homofobik.
Dalam relasi-relasi sosial, kultural dan religius, dan juga dalam urusan-urusan politik penyelenggara pemerintahan setempat, katarsis psikologis LGBT yang semacam ini membuat mereka tidak ragu untuk memperlihatkan sikap homofobik yang sangat garang, tindak kebencian dan kata-kata yang brutal, terhadap sesama LGBT, dan juga dalam banyak kebijakan politis dan dalam perlakuan diskriminatif terhadap kalangan LGBT.
Sudah banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa homofobia dalam diri LGBT timbul karena sikap dan kelakuan orangtua dan anggota keluarga yang represif, otoriter dan antipatetis terhadap para LGBT. Ini tentu saja suatu fakta yang mungkin sekali sangat mengagetkan bagi banyak orang yang selama ini menduga bahkan menuduh bahwa orang-orang yang membela LGBT sebetulnya adalah LGBT juga. Realitasnya ternyata kebalikannya./38/
Ambil beberapa contoh saja. Pendeta gereja evangelikal di Amerika Serikat, Ted Haggard, sangat anti-gay dalam khotbah-khotbahnya dan dalam sikap dan kelakuannya. Tapi di tahun 2006 Haggard terbukti terlibat skandal seksual dengan seorang gay. Begitu juga mantan ketua Young Republican National Federation, Genn Murphy, yang dikenal sebagai ideolog anti-LGBT dan perkawinan sejenis, telah dituduh melakukan serangan dan kekerasan seksual pada 2007 terhadap seorang pria berumur 22 tahun. Homofobia di kalangan LGBT juga menjadi penyebab dibunuhnya Matthew Shepard pada 1998.
Nah, jika diperhadapkan pada semua data dan fakta di atas, semua klaim NARTH tentang reparasi LGBT memang harus sungguh-sungguh diragukan, atau lebih tegas lagi, harus ditolak. Ketimbang bersikap negatif terhadap LGBT, kita sebaliknya harus bersikap positif.
Situasi dan Kondisi di Indonesia
Di negeri kita Indonesia, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini, 12 Februari 2016, menyatakan bahwa kaum LGBT ada untuk diayomi dan dilindungi sebagai sesama WNI yang minoritas, bukan untuk dibenci, diusir atau dibunuh./39/ Saya ingatkan kembali, bahwa para pakar kesehatan dan seksologi bangsa kita sendiri, atas nama Depkes RI, di tahun 1993 sudah menyatakan bahwa homoseksualitas bukan suatu penyakit gangguan jiwa.