Bali dikenal sebagai pusat pariwisata Indonesia dengan keunikan budaya yang kuat. Namun, di tengah dinamika ekonomi, politik, dan budaya, muncul wacana agar Bali mendapatkan status Otonomi Khusus (Otsus) atau Daerah Istimewa (DI). Apakah status ini relevan dan menguntungkan bagi Bali?
Untuk memahami ini, kita dapat menggunakan pendekatan Threefolding dari Rudolf Steiner dan Nicanor Perlas, yang membagi sistem sosial menjadi tiga pilar: politik (pemerintah), ekonomi (sektor swasta), dan budaya (masyarakat sipil).
Perspektif Politik: Kewenangan dan Risiko Otonomi
Dalam konsep Threefolding, politik mencerminkan peran negara dalam menjaga keadilan dan hukum. Jika Bali mendapatkan Otsus, maka akan ada kewenangan lebih besar dalam pengelolaan regulasi pariwisata, pajak daerah, dan perlindungan budaya. Namun, Otsus juga bisa menjadi isu sensitif, mengingat pengalaman Papua yang mendapat status ini setelah berbagai konflik sosial.
Sementara itu, status Daerah Istimewa (DI) lebih berbasis pada sejarah dan budaya, seperti yang dimiliki Yogyakarta dan Aceh, secara praktis diterapkan di DIY berdasarkan UU No. 13 Tahun 2012 Sultan otomatis menjadi Gubernur, sistem pemerintahan berlandaskan tradisi kerajaan. Sementara di Aceh UU No. 11 Tahun 2006 Memiliki hukum Syariah dan bendera daerah, tetapi juga memiliki unsur Otsus. Papua dan Papua Barat (UU No. 21 Tahun 2001 direvisi jadi UU No. 2 Tahun 2021) Dana Otsus besar, tapi tetap dalam sistem NKRI.Â
Jika Bali mendapat status DI, maka kemungkinan besar akan ada penguatan peran Majelis Desa Adat (MDA) yang berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan Desa.Â
Perspektif Ekonomi: Peluang dan Tantangan untuk Sektor Swasta
Sektor ekonomi dalam Threefolding mencerminkan bagaimana kebijakan daerah berdampak pada bisnis dan investasi. Jika Bali memiliki Otsus, ada kemungkinan bisa menetapkan pajak khusus untuk turis asing, seperti pajak keberlanjutan yang lebih tinggi. Ini bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun berisiko membuat investor lebih selektif.
Di sisi lain, jika Bali menjadi Daerah Istimewa, pengelolaan ekonomi masih mengikuti aturan nasional, tetapi dengan fokus kuat pada keberlanjutan dan perlindungan ekonomi berbasis komunitas. Tantangannya adalah memastikan regulasi ini tetap menarik bagi dunia usaha.
Kepentingan ekonomi dalam ranah Daerah Istimewa tetap mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU) seperti daerah lain tanpa alokasi khusus tambahan. Sedangkan Otonomi Khusus mendapatkan Dana Otsus, yang biasanya lebih besar dibandingkan dana transfer daerah biasa, seperti Papua yang mendapat dana 2,25% dari DAU nasional.
Perspektif Budaya: Partisipasi Masyarakat dalam Tata Kelola