Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Potong Gigi dalam Bingkai Solusi Quarter Life Crisis

21 Januari 2022   08:33 Diperbarui: 27 Januari 2022   12:13 3706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual proses potong gigi | Foto: Dokumentasi Pribadi

Lontar Eka Prathama menjelaskan mengenai banten yang dipergunakan dalam menunjang pelaksanaan kegiatan, sehingga Lontar Eka Prathama merupakan tuntunan umat Hindu khususnya di Bali dalam melaksanakan upacara manusa yajna. Salah satu upacara yang dilaksanakan adalah prosesi upacra metatah yang terdapat dalam teks Lontar Eka Prathama. Dalam teks Lontar tersebut hanya dijelaskan sekilas mengenai pakean yang wajib dikenakan saat melaksanakan upacara potong gigi  serta banten yang dipergunakan dalam melaksanakan upacara metatah. Sehingga menjadi penting untuk mengkaji dari aspek tersebut.

Begitu juga selanjutnya upacara Potong Gigi/ metatah dimana upacara ini bermakna sebagai penyucian bagi anak yang telah akil balik, karena itu banten yang digunakan adalah banten pedudusan dan banten yang lainnya. Terakhir diuraikan adalah tentang upacara perkawinan. Ada semacam peringatan kepada mempelai dilarang keluar rumah dan sampai menginjakkan kakinya ke jalan raya sebelum melaksanakan upacara perkawinan (Suadnyana, 2019). Pelaksanaan upacara potong gigi/ metatah merupakan kewajiban orang tua kepada putra putrinya. Sebagaian besar pelaksanaan upacara metatah bertujuan untuk menghilangkan sadripu yang ada di dalam diri manusia.

Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong Gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebutMatatah atau Mesanggih, dimana 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini. Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut adalah: (1) Hawa nafsu, (2) Rakus/Tamak/keserakahan, (3) Angkara murka/kemarahan, (4) Mabuk,membutakan pikiran, (5) Perasaan bingung, dan (6) Iri hati/ dengki. Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal hal yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.

Akan tetapi terkait dengan pelaksanaan upacara yajna khususnya manusia yajna (metatah) terdapat etika yang terkekang didalammnya, etika tersebut tertuang dalam sadripu. Sadripu tersebut merupakan enam musuh yang berada dalam diri manusai yang akan dikendalikan oleh norma atau etika itu sendiri. Selain hal tersebut dalam pelaksanaan upacara metatah terdapat etika yang harus dipatuhi seperti cara berpakaian, seperti kutipan teks berikut.

Berikut pakean orang potong gigi. Apabila laki-laki memakai kain cepuksari, berbahagialah bila ada cepukmadhu, ikat pinggang bagus anom, dan tali kapuhnya kayu sugih. Apabila perempuan kain dalamnya cepuk lubeng luwih, kain luarnya sukawredi, ikat pinggangnya juga bagus anom, dan tali selendangnya kayu sugih. Dan sebagai tempat tidurnya beserta sprainya, baik yang laki mapun perempuan sama. Tempat tidurnya tikar halus, 1 lembar, digambari smara ratih, pelindung kapalanya, balai gading, ditutup dengan kain sebagai penutupnya, kain pada balai gading, kain gedingan geringsing, alasnya permadani dan patawalasutra. Dan pembungkusnya adalah pakis lulut. Lulut oneng, sudhamala dan kayu sugih.

Dari kutipan teks Lontar tersebut dijelaskan bahwa pakian orang yang akan metatah harus sesuai yaitu berisikan kain kuning, memakai kain cepuksari dan berbagai kain pendukung lainnya, serta yang terpenting antara pakean pria dan wanita dibedakan. Sehingga dalam setiap pelasanaan upacara yajna khususnya upacara metatah terdapat etika yang wajib untuk dipatuhi. Selain cara berpakean dalam teks Lontar Eka Prathama juga disebutkan bagaimana cara berludah dan juga tempat ludah pada saat prosesi potong gigi berlangsung. Kutipan teks Lontar Eka Prathama sebagai berikut.


Lagi sebagai tempat ludahnya kelapa gading muda dikasturi. Digambari Ardanareswari, sebagai alas membuang ludah adalah kain nagasari, kemudian ludahnya itu ditanam di belakang sanggar agung, alat perenggang gigi (mulut) tebu malem 3 ruas dan ranting dapdap, setelah selesai tanam bersama-sama tempat ludah itu. Dari kutipan teks Lontar tersebut dijelaskan bahwa sarana yang dipake untuk alas dan juga tempat air liyur di tempat khusus serta pada nantinya sarana yang dipergunakan terserbut mendapat tempat khusus sehingga tidak dibuang sembarangan. Dengan demikian terdapat etika yang sangat kental sekali yang tertanam dalam tradisi dan juga agama dari setiap upacara yajna yang dilaksanakna.

Inilah tatacara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, uakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci 4 perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Dibawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya. Mwah banten pedudusan, tekeng ayabannya, sega garuda tan kari, genep satingkahing caru padudusan.

Terjemahan: 

Lagi banten pedudusan, serta ayabannya, nasi garuda lengkap sebagai tata cara caru padudusan. Mwah ring arepning amuja dandaning adudus, paruk sawolu, makaklentingan, tekaning carat nyuk mawarna 8. Terjemahan: Lagi (upacara) di depan pendet memuja adalah perangkat penyucian, periuk delapan buah, berisi uang, disertai buah kelapa (muda) 8 jenis. Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala. Terjemahan: Lagi periuk kecil 4 buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat 4, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala.

Berdasarkan sarana upakara tersebut telah menunjukan bahwa Upacara Metatah dalam Teks Lonat Eka Prathama, merupakan sebuah religi kehidupan masyarakat yang memberikan pernyataan dan sahnya peningkatan status seorang anak menjadi dewasa. Saran upakara berfungsi sebagai religiusitas keagamaan masyarakat Hindu pada khususnya yang memilki fungsi sekala-niskala (alam nyata atau gaib), alam sekala menjadi saksinya adalah para manusia yang hadir dan menyelesaikan upacara tersebut, sedangkan niskala adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Hyang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk sarana upakara. Inilah menunjukan sikap bhakti manusia terhadap para dewa atau Tuhan yang telah memberikan segala anugrahnya kepada seluruh manusia di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun