Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Presiden dan Wakil Rakyat yang "Angesti Giri"

25 Oktober 2018   11:51 Diperbarui: 25 Oktober 2018   12:16 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana tentang pemimpin menarik untuk dikaji, sebab sebentar lagi ada pemilu presiden dan wakil rakyat  akan bertarung untuk mendapatkan jatah kursi di puncak kekuasaan dan parlemen . Pencarian pemimpin menjadi rebutan, paling tidak ditujukan untuk publik yang mana perlu dipilih, salah satu indikatornya adalah  mampu merealisasikan ''Good Governance'' dan ''Clean.

 Nalar publik  selalu bertumpu pada nilai  karakter, seperti  kebersihan  diri dari kasus korupsi, terbukti dapat menjalankan harmonisasi rumah tangga, dan selalu empati dan simpati  pada rakyat kebanyakan, dalam bentuk keberpihakan pada rakyat miskin.

Dikoridor itu,  benar  adanya, bahwa pemimpin akan menjadi besar kalau mau membantu orang lain, lebih-lebih mensejahterakan rakyat,khususnya membuat rakyat miskin lebih sejahtera.  

Zig Ziglar, motivator ulung, menulis dengan rapi "Anda bisa memiliki semua hal yang Anda inginkan dalam kehidupan jika Anda bersedia membantu orang lain mencapai apa yang mereka mau". Inilah sebenarnya yang harus diresapi untuk menjadi seorang pemimpin baik di daerah maupun di pusat.

Permasalahan yang muncul saat ini, adalah (1) Para pemimpin biasanya senang mengobral janji, namun jarang yang menepatinya, (2) Para pemimpin yang sedang menjabat dari benar-benar kemaruk akan kekuasaan, tidak sedikit langsung terjerumus menjadi kaki tangan kekuasaan dan masuk penjara. Artinya kekuasaan kerap menjadi jalan mulus ke ruang terali besi,  (3) Orang tidak pernah memiliki idealisme dalam memperjuangkan nasib rakyat, yang sering diperjuangkan adalah kepentingan diri dan kelompok (4) masalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih meraja-lela, masalah mafia hukum dan mafia pajak, masalah penegakkan hukum yang tebang pilih, dan lain-lain, (5)  Dan kini, Indonesia memerlukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dipimpin oleh seorang pemimpin  yang bersih, amanah dan berwibawa, yang mengabdi untuk seluruh rakyat, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, partai dan golongan, memupuk kekayaan sebagaimana yang kerap muncul  selama ini.

Dalam dimensi itulah, kita bisa mencermati 'tesis' tentang kepemimpinan  yang dikemukakan oleh gaya kepemimpinan yang diusulkan oleh Apter (1965) dalam The Politics of Modernization,  mengatakan bahwa pluralitas dan  kolektif sakral. Kini, kedua calon presiden  seakan berada dalam kompetisi di dua kutub itu. 

Kolektif sakral adalah  kolektivitas  mobilisasi kehendak. Liberatian dan kolektivitas kerap  tertatih-tatih di wilayah baru belajar dan menerapakan model demokrasi, kondisi ini semakin belum gayut ketika  masyarakat kehilangan basis religiusitasnya dan menghamba pada materialisme,  akibatnya  masyarakat kita terancam untuk menjadi sebuah sistem penjarah terorganisasi terhadap demokrasi  dimana makna diturunkan dari perolehan pribadi, ketertiban yang ada sekedar pemenjaraan anarki dan dimensi kemanusiaan menjadi paradok, sehingi ga pencapain pembangunan politik saat ini tidak lebih dari sekedar ke arah nilai fungsional individu semata.

Di terminal itu,  pemimpin, yang selalu mementingkan dirinya sendiri atau kelompokknya karena kemaruk kekuasaan memiliki kaki pendek, dan kebenaran hukum segera akan  dapat mengejarnya. 

Oleh sebab itu teori pemimpinnya  Apter dengan sistem pluralistiknya  akan terus berdengung di zaman serba digital ini. Konsepsinya itu sesungguhnya telah lama ada, seiring dan sejalan dengan konsep Kautilya Arthasastra , sebuah tradisi sastra Hindu dalam kekuasaan Negara, yang menyebutkan bahwa tujuan proses kepemimpinan adalah sejatinya terungkap dengan indah "apa yang membuat raja senang bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah kesenangan seorang raja".

Implikasi dari pernyataan ini bahwa tujuan dan makna kesuksesan sebuah proses kepemimpinan adalah apabila tercipta kesejahteraan bagi seluruh anggota organisasi, bahkan lebih luas adalah kebahagiaan dunia (sukanikang rat) atau nampaknya itu tetap berada ditataran bibir, bila kaki pemimpin kita, bertindak lain. Akibatnya, idealisme untuk mensejahterakan rakyat  tetap berada di tataran ideal, tak pernah ada dalam kenyataan

 Kondisi  sukanikang rat ini telah lama tergurat rapi dalam  konsepsi yang dikemukakan oleh 'Gajah Mada' pada  zaman Majapahit,  ketika merealisasikan sumpah palapanya dalam wujud konsep abhikamika. 

Abhikamika adalah sebuah kepemipinan dengan aras utama tampil sebagai  seorang pemimpin yang simpatik, berorinetasi kebawah, mengutamakan  kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan. 

Nilai ini  sangat relevan saat ini, dan nampaknya bisa menjadi tolak ukur ketika kita memperhatikan memilih pemimpin (presiden) wakil-wakil rakyat di parlemen. Indikator lain adalah, pemimpin bukan hanya sekedar  dekat dengan rakyat, namun  menjadi pamong praja (pelayan) dan bukan pemimpin pangreh praja (berkuasa).

Saat ini, kita rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan,  pemimpin sejatinya memang bukan siapa-siapa ,dia adalah pelayan sang rakyat, sebagai  pemimpin memang harus berangkat dari pengikut, berikut adalah beberapa konsep siapa yang berhak memimpin kita, yakni  

  1.  mereka adalah orang yang berani, saya hanya ingin dalam majunya abad modern yang luar biasa saat ini, berani tampil beda, 
  2. rasa keadilan yang tajam. Ketika peimpin tidak mampu berlaku adil maka, dengan sendirinya  untuk mempertahankan penghargaan pengikutnya.
  3. pengendalian pribadi. 
  4. melakukan kerjasama, entah dengan pasangannya atau dengan kendaraan yang pernah menghantarkannya, inilah salah satu penilaian (5) memikul tanggungjawab penuh  untuk mensejahterakan rakyat.

Lalu sangat lengkaplah, ketika kita menatap Negara Indonesia,  maka kepemimpian  nasional selalu sebagai  magnet besar, pusat  hepisentrum  inovasi perubahan  paradigma bernegara, yang dapat disebutkan antara lain dalam  bidang politik, terus menguras perhatian publik dengan  berbagai kasus korupsi yang menggeliat,  aroma tak sedap akan terus  bergelayut  ketika pengangkatan pegawai  negeri seperti saat ini, tidak transparan, oleh karena itu  harus mendahulukan kompetensi dan prestasi,  Itu sebabnya pemimpin harus berani sebagai contoh adil dan untuk menunjukkan bahwa 'siapun yang diterima sebagai PNS adalah bagian keluarga bangsa kita, yang berhak mengabdi  kepada negara.

Dibingkai itu,  pemimpin saat ini, sangat diharapkan  bijaksana, yakni pribadi yang tidak emosional, tidak egois, penuh kasih sayang, cinta akan nasihat dan memiliki semangat terus menerus untuk membangun dirinya, bawahan atau yang dipimpinnya. Yang lebih penting, seorang pemimpin,  dia tidak akan peduli walaupun dibalik kebangkitan yang ada dia mungkin akan tenggelam, tidak peduli akan popularitas dan tidak peduli dengan adanya pujian manusia karena kuncinya adalah ketulusan hati. 

Pemimpin itu telah mengejewantah dalam dirinya karakter  angesti giri" seperti gunung yang teguh dalam menegakkan kebenaran, seperti Bimasena dalam pewayangan, sosok yang telah mampu melakukan perjalan ke tengah samudera, hany berbekal keteguhan sikap bahwa mengikuti perintah guru (Drona) akan selalu behasil dan terselamatkan, sehingga Bimasena dapat   menikmati tirta suci pawirta sari (kamandalu), setelah proses panjang itu  dia mampu memaknai tujuan hidup,   hakikat  mati dan asal mula kehidupan  dan kemana pergi setelah kehidupan ini.

Sifat angesti giri inilah, yang  kerap ditunjukkan oleh pemimpin dunia, satu diantaranya sebagai model,  Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincol, terbukti   rakyat sedih atas kepergiannya yang tragis, rakya Amerika mengenangnya karena prilakunya seirama, dengan ucapannya yang terkenal yaitu  " Saya tidak terikat untuk menang, tetapi saya terikat untuk menjadi nyata. 

Saya tidak terikat untuk sukses, tetapi saya terikat dengan cahaya yang saya miliki. Saya harus berdiri bersama dengan siapapun  yang berdiri di jalur yang benar, dan berdiri dengan mereka yang saat itu benar, dan berpisah dengannya ketika mereka mulai salah" nampaknya ucapan itu masih relevan ketika kita memilih pemimpin, agar kita tidak salah pilih.*****

 Penulis : Sekretaris Program Studi Magister  Pendidikan (S-2) IPA   Undiksha, Alumni Doktor ITB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun