Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Erupsi Gunung Agung dan Budaya Ketahanmalangan

3 Juli 2018   07:38 Diperbarui: 3 Juli 2018   08:39 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung Agung kembali  mengeluarkan lava, dan secara ilmiah  fenomena itu  disebut  erupsi strombolian dengan suara dentuman. Erupsi bersifat eksplosif melontarkan batu pijar karena ada tekanan dari dalam kawah. Sifat magma yang lebih cair, kemugkinan   menyebabkan mudahnya terjadi lontaran batu pijar

Dalam kondisi seperti saat ini, hanya doa dan keawaspadaan yang terus dipacu, berharap Tuhan yang menciptakan, memelihara dan sekaligus mengembalikan ke asalNya(pralina), memberikan jalan yang terbaik bagi  warga di Bali, dan warga sekitar Gunung Agung. Semoga ke depan ,  menjadi hari-hari yang tidak terlalu sulit untuk memikul beban, karena kebersamaan sudah terjalin dengan baik.  

Tidak hanya manusia semua ekosistem penunjang pun tergantikan. Penduduk di sekitar  kali Unda, banyak  melihat ikan-ikan baik besar maupun kecil   menggelepar-gelepar, tersengat  belerang, keluar dari persembunyiaannya dan berpisah dengan lingkungannya asli, meruang ke asal yang abadi.

Selain itu, bagi masyarakat yang terdampak, sejak nopember tahun lalu telah sekitar 8 bulan telah terbangun  sebentuk  budaya mental ketahanmalangan, sehingga antisipasi terhadap letusan gunung Agung  saat ini menjadi tidak terlalu sulit untuk berada pada level  siaga bencana, karena semangat itu terus dikobarkan

Di terminal itu, pemahaman terhadap letusan gunung api perlu diketahui. Bahaya letusan gunung api dapat dipilah menjadi dua. Pertama, bahaya langsung saat gunung meletus seperti awan panas (aliran piroklastik), guguran material letusan, bebatuan, abu vulkanik, lava dan erosi tanah. Kedua, bahaya tak langsung seperti terjadinya polusi udara oleh zat beracun, air tercemar, lahan rusak akibat lava panas, lahar dingin, karena bisa menimbulkan banjir kiriman, serta material padat yang mengemulsi di atmosfer (stratosfer).

Namun, yang perlu diketahui adalah bagaimanakah mekanisme yang terjadi di lapisan atmosfer? Jawabannya memang agak rumit. Oleh karena proses emulsi material padat, yang disemburkan oleh letusan gunung berapi ke udara menjadi aerosol, sehingga bertahan lama diudara, tergantung besar kecilnya material yang dimuntahkan, sehingga memakan waktu beberapa hari sampai tahunan.

Akibat terbentuknya aerosol diudara, sertanya adanya berbagai gas akibit letusan gunung, maka dapat menimbulkan efek rumah kaca, efek rumah kaca merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Gas atau partikel arosol menyerap panas dan memantulkan kemabali ke bumi, sehingga meningkat suhu permukaan bumi dan merembet mengakibatkan perubahan iklim, dan bagi Bali akan sangat terasa jika musim dingin sekitar bulan Angustus.

Perubahan iklim berdampak pada kehidupan musim tanam sehingga bisa menimbulkan kerugian dalam waktu yang relatif lama. Letusan Gunung Agung, tahun 1963 misalnya, menghasilkan debu terbesar ke wilayah statosfere, dan dirasakan selama lebih dari 50 tahun, kondisi ini mengilhami banyak kajian ilmiah moderntentang dampak letusan gunung api (Robock, 2000).

Selain itu debu silika gunung berapi sangat ringan dan memiliki titik leleh pada suhu 1.100 derajat celsius. Lelehan itu bisa menempel dan melumerkan komponen bilah-bilah turbin di dalam mesin jet, atau nozzle, yang dalam pesawat jet modern suhunya bisa mencapai 1.400 derajat celsius. Kondisi inilah, mengapa penerbangan perlu waspada pada debu vulkanik itu.

Berbeda dengan Gunung Agung, Gunung St. Helens yang meletus tahun 1980 sangat eksplosif namun tidak menyuntikkan banyak sulfur ke stratosfer, sehingga memiliki efek global yang sangat kecil [Robock, 1981a]. Lain lagi, letusan Gunung Tambora menghasilkan "tahun tanpa musim panas "di tahun 1816 Yang paling Ekstensif yang dapat mempengaruhi dampak letusan oleh Royal Society, adalah letusan gunung Krakatau tahun 1883, menimbulkan fenomena alam yang menakjubkan seperti pelangi saat matahari terbenam akibat abu vulkanik , di dekat Kota London(Robock, 2000); Wallace, 2005)

Material lain yang muncul dari letusan gunung adalah gas beracun yang biasanya muncul pada gunung api aktif seperti karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida, hidrogen sulfida, asam klorida dan karbon monoksida CO, N2 ,HCN, H2S, SO2 , HCl (asam klorida) pada konsentrasi di atas ambang batas yang dapat membunuh kehidupan, termasuk manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun