Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angin Sepoi-sepoi Bertiup, Bunga Hati Pemimpin Bermekaran

25 Juni 2018   09:32 Diperbarui: 25 Juni 2018   09:39 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara burung cicit, dan desau riak angin sejuk berlalu menerpa daun-daun hijau muda, pertanda hari cerah mulai. Titik embun bergulir bagai kristal dipucuk rumput menyambut bianglala matahari yang mulai nampak berselimut awa tipis di timur. Demikianlah, tergambar tanda-tanda alam yang penuh mukzisat dalam alunan simponi semesta, yang bergerak teratur dan tak hirau, mengalir bak sungai jernih menuju samudera lepas, itulah rutinitas alam, seakan tak ada yang berubah, mengalir dalam aliran atmosfer bumi yang padu.

Walaupun disana beberapa waktu berselang terjadi perang besar. Tetap saja sketsa narasi permadani alam menggugah asa yang hadir sebagai pesan kehidupan yang agung. Bahwa aktivitas manusia apapun, alam semesta tetap berjalan tak hirau dan sepi, berjalan sesuai hukum alam yang teratur. 

Pesan-pesan bijak bergulir ritmis, seolah tak bergeming, walaupun padang rumput itu menjadi saksi bisu, setelah beberapa waktu berselang terjadi perang besar, untuk mempertaruhkan sebuah idealisme, yang berurat dan berakar pada lubuk dua kaum musuh bebuyutan antara Pandawa dan Kurawa. Bersitegang memandang dirinya yang paling benar, darahpun tertumpah dalam perang untuk mempertaruhkan sebuah pengakuan eksistensi. 

Disana terbesit pesan bahwa peniadaan eksistensi sekelompok komunitas manusia berakibat fatal, perang akan selalu meletus dengan ganasnya. Itulah narasi kisah manusia, yang dipadu dengan dawai alam, yang terus berundak dalam benak-benak manusia untuk menerangkan dengan gamblang, bahwa perang bisa jadi salah satu bentuk aktualisasi diri, walaupun dengan biaya yang tak ternilai, namun kerap hadir menjadi solusi, dan memberikan warna peradaban pada dua sisi bathiniah dan lariah, secara diametral. Itulah wahana peradaban manusia yang multi dimensi, dengan sisi romantisme kehidupan manusia yang unik. 

Dalam keunikan yang terbatas diantara ruang dan waktu menarik menelaah kunjungan Yudistira kepada Bisma yang agung, di pelataran padang Kuru yang sangat luas, tempat yang menjadi saksi bahwa " perang memang 'kerap' menjadi jalar keluar, karena kebuntuan akal dalam memecahkan masalah yang membelit jiwa-jiwa manusia. Artinya, pesan itu meneguhkan bahwa manusia memang layak mendapat predikat sebagai Homo homini lupus. 

Ketika Yudistira, sebagai pewaris sah tatah bangsa Kuru, walaupun lewat pertumpahan darah, namun jalan kepelataran singasana tidak mulus juga, masih terjadi perdebatan, dan keraguan. Keraguan itu bukan dari luar namun muncul dari dalam, yakni dalam diri Yudistira sendiri, berkecamuk perang baru antara rasa bersalah dan penyesalan yang dalam. Oleh karena itu, perlu diberikan semacam vitamin agar perjalanan menjadi lancar.

Yudistira sadar menjadi pemimpin dibutuhkan banyak dalil, nasihat atau petuah, serta kiat dan rumus jitu dari berbagai sumber seperti orang bijak, guru suci, dan tokoh dari para sesepuh bangsa Kuru sendiri atau dari berbagai pustaka suci, bagaimana memimpin sebuah negeri yang besar agar landuh. Sebab pemimpin dan kepemimpinan adalah sebuah dimensi yang bisa dipelajari, disamping karena memang bakat lahiriah. 

Atas dasar itu Yudistira, perlu mendapat nasihat, namun diapun ragu untuk menghadap Bisma, sang tokoh dari bangsa Kuru yang masih hidup dan tergeletak di medan Kuruksetra. Keraguan Yudistira itu muncul karena perasaan bersalah, dirinya merasa sebagai penyebab guru, kerabat, kakek, paman terbunuh dalam pusaran perang besar. Yudistira hatinya luluh dan malu bertemu sang kakek, adalah persoalan sulit yang terus menjajal hatinya diakhir perang dan diawal rencana penobatannya menjadi penguasa tunggal di negeri Astina. 

Saat Yudistira ragu, Krishna berkata, Yudistira, dirimu tak perlu menyesal, perang itu terjadi untuk mempertahankan kebenaran, tak ada jalan lain, sebab Kurawa, memang tidak pernah bisa berubah dan mereka mengendaki Pandawa hancur dan binasa. Yudistira, kata Krishna kembali untuk memotivasi, dan membujuknya agar menjenguk kakek Bisma, Engkau tidak salah, sebab jalur damai tak digubris Kurawa, Yudistira dirimu, telah melaksanakan tugas sebagai seorang ksatria, pembela kebenaran negara. 

Oleh karena itu, engkau telah berjalan di wilayah kewajiban seorang ksatria, yang berhak melawan musuh kebenaran itu, siapapun mereka. Ketika mereka melawan kebenaran, tidak ada hubungan keluarga, guru maupun sahabat dan keluarga, semua itu harus dihadapi dan engkau telah mengalahkan mereka, termasuk kakek mu Bisma Putra Gangga itu. 

Krishna berkata kembali, saat ini kakek Bisma akan segera meninggalkan alam mayapada, tidak ada waktu lagi, segeralah kita berangkat. Aku telah membaca tanda-tanda zaman lewat alam, yakni matahari telah condong di utara Katulistiwa (utarayana), saat dimana yang dikehendaki oleh Bisma sendiri , untuk meninggalkan dunia ini. Bisma yakin, saat utarayana, kematian itu membawa berkah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun