Mohon tunggu...
intaniasifa
intaniasifa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa hukum UPN veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi Hukuman Cambuk di Aceh: Antara Otonomi Khusus, Sejarah Syariat, dan Pelanggaran HAM

7 Juni 2025   08:09 Diperbarui: 7 Juni 2025   08:09 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aceh memiliki status otonomi khusus, yang memberikan kewenangan luas dalam penyelenggaraan pemerintahan di bawah sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan UUD NRI 1945, khususnya Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2). Kekhususan ini juga diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, yang kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). UU Pemerintahan Aceh ini memberikan kewenangan signifikan kepada Pemerintah Aceh untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di wilayahnya. Selain itu, UU Pemerintahan Aceh juga mengamanatkan pembentukan qanun, yang merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan kewajiban konstitusional dan menjadi pedoman dalam mengelola urusan pemerintahan secara mandiri, sebagai bagian integral dari kedaulatan Indonesia. 

Sejarah Provinsi Daerah Istimewa Aceh tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau. Sejak awal berdirinya Kesultanan Aceh, penerapan hukum Islam sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahannya, berlangsung dari masa Sultanah Taj 'Alam Syafiyyat al-Din hingga Sultanah Kamalat al-Din (1688-1699). Beberapa kebijakan hukum pada masa kesultanan Aceh meliputi hukuman mati dan pemotongan anggota tubuh untuk pencurian, serta hukuman menelan timah panas bagi pelanggar yang mengonsumsi minuman keras (khamr).

Namun, pada masa pemerintahan Sultanah Nur al-'Alam Naqiyyat al-Din (1675-1678) untuk pertama kalinya diterapkan sanksi hukuman cambuk untuk pencurian ringan, sementara pencurian berat tetap dikenakan sanksi pemotongan anggota tubuh. Melihat perjalanan kebijakan ini, doktrin hukuman cambuk bagi pelanggaran syariat Islam telah mengakar kuat dalam masyarakat Aceh. Selain itu, hukuman cambuk juga disebutkan sebagai salah satu bentuk hukuman dalam agama Islam, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadis.

Ada pro kontra mengenai keberlakuan hukum cambuk ini, seperti contohnya yang di kutip dalam artikel amnesty internasional Indonesia yang berjudul *Akhiri Hukuman Cambuk di Aceh, Tidak Manusiawi*, artikel tersebut menjelaskan bahwa hukuman cambuk adalah bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, serta melanggar hukum hak asasi manusia internasional, meskipun diterapkan di bawah hukum syariat setempat.

Artikel ini menyoroti dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkan pada korban, menekankan bahwa hukuman semacam itu tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang adil dan manusiawi. Mereka mendesak pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Provinsi Aceh, untuk menghapus hukuman cambuk dan sebaliknya berfokus pada pendekatan rehabilitasi dan keadilan restoratif bagi para pelanggar. Tujuannya adalah memastikan bahwa semua hukum dan praktik di Aceh sejalan dengan standar hak asasi manusia nasional dan internasional.

Hukuman cambuk di aceh tidak hanya untuk orang orang muslim, karena itu lah menuai berbagai pro kontra terhadap hukuman tersebut seperti yang tertuang dalam artikel ICJR artikel tersebut menerangkan bahwa Praktek pemberian hukuman cambuk juga dilakukan kepada warga Aceh yang bukan beragama muslim yakni seorang perempuan bernama Remita Sinaga ia dipidana cambuk pada Tanggal 12 April 2016 di halaman Gedung Olah Seni (GOS) Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Perempuan tersebut dieksekusi hukum cambuk 28 kali karena menjual alkohol, tersebut merupakan warga non-Muslim pertama yang dihukum cambuk di bawah hukum Syariah, yang sebelum Oktober 2015 hanya diterapkan kepada orang-orang Muslim di propinsi Aceh.

Dalam sepanjang pelaksanaan eksekusi cambuk tersebut ICJR juga mendapati pelaksanaannya sarat akan pelanggaran.Penggunaannya yang diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan. Hukuman cambuk yang di pertontonkan secara umum juga menghasilkan budaya kekerasan di masyarakat Aceh.

ICJR Meminta Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk corporal punishment dalam peraturan perundang-undangannya dalam hal ini menghapuskan hukuman cambuk. Meminta Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah evaluasi terhadap Qanun Jinayat yang secara faktual telah mengakibatkan adanya praktik penyiksaan, perbuatan sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Meminta Pemerintah pusat khususnya Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Qanun Jinayat secara keseluruhan.

ICJR mendorong Masyarakat Aceh di setiap lapisan untuk terus mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat yang sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran. Meminta masyarakat Indonesia juga turut mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat. Meminta Organisasi Internasional untuk terus mengawasi dan melakukan tindakan dalam menghentikan hukuman cambuk khususnya Qanun Jinayat, yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat khususnya perempuan, anak-anak, dan LGBT.

Hukuman cambuk di Aceh adalah bagian dari penegakan Syariat Islam yang diatur dalam Qanun Jinayat. Hukuman ini menuai banyak kontroversi dan kritik karena dianggap tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia, namun tetap dipertahankan oleh Pemerintah Aceh sebagai bagian dari upaya menegakkan hukum syariat di wilayahnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun