"Satu Ekor Kambing untuk Atisa"
Oleh: Tanaya Faza Atisa
Hari itu langit tampak cerah, tapi hati Atisa mendung. Di usia sepuluh tahun, ia sudah terlalu akrab dengan kehilangan. Ayahnya meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan kerja di proyek bangunan. Sejak itu, ibunya, Bu Rahma, banting tulang sebagai buruh cuci demi menyambung hidup mereka.
Kini Hari Raya Qurban tiba. Hari yang biasanya ditunggu-tunggu anak-anak karena suasananya yang riang, bau sate yang menggoda, dan suara takbir yang menggema dari masjid ke masjid. Tapi bagi Atisa, hari raya hanya berarti satu hal: hari di mana ia menonton dari kejauhan---lagi.
Dari jendela rumah kontrakan mereka yang sempit, Atisa melihat anak-anak lain riuh menuntun kambing, beberapa bahkan membantu panitia masjid menguliti hewan qurban. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa iri yang muncul diam-diam.
"Bu, tahun ini kita qurban gak?" tanyanya pelan, hampir berbisik.
Bu Rahma menoleh, senyum lembut tapi letih menghiasi wajahnya. "Belum bisa, Nak. Insya Allah, kalau Allah kasih rezeki lebih, tahun depan ya."
Atisa mengangguk pelan. Ia tahu ibunya tidak berbohong. Ia tahu mereka bahkan sering harus menahan lapar kalau tidak ada pekerjaan mencuci selama seminggu.
Namun dalam hatinya, Atisa diam-diam berdoa. Bukan agar bisa makan daging---tapi agar suatu hari, ibunya bisa menjadi orang yang berqurban, bukan hanya yang menerima.
Pagi Hari Raya, Atisa tetap ikut ke masjid bersama ibunya. Baju yang ia kenakan sudah lusuh, tapi disetrika rapi. Sepatu sekolah yang sudah agak sempit menjadi satu-satunya alas kaki terbaik yang mereka punya. Ia duduk tenang mendengarkan khotbah, matanya melirik ke halaman masjid tempat kambing-kambing sudah siap disembelih.