Disabilitas terutama dengan diagnosa mental and intellectual disorder serta sensorik adalah kaum rentan para predator pelaku pelecehan seksual. Â Banyak di antara mereka memiliki kesulitan berkomunikasi bahkan sekedar mengekspresikan perasaan mereka, apalagi mengadukan perlakuan yang diterima dari lingkungan sekitar, termasuk pelecehan seksual dari wali asuh atau orang terdekatnya.Â
DISABILITAS USIA ANAK
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disabilitas diartikan sebagai keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan/atau sensorik yang dialami seseorang dalam jangka waktu lama.Â
Keterbatasan ini dapat menyebabkan hambatan dan kesulitan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan.Â
Sementara yang dimaksud dengan usia anak menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun dan dalam hal ini belum menikah.
Disabilitas usia anak-anak yakni mereka yang  berusia di bawah 18 tahun, tidak menikah dan memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual dan sensorik menetap.  Â
DISABILITAS MENTAL/INTELEKTUAL DAN SENSORIK KORBAN EMPUK PREDATOR
Anak disabilitas dengan hambatan mental/intelektual dengan aneka diagnosa yakni tunagrahita, spektrum autisme, hiperaktif, down syndrome, bipolar, skizoprenia, depresi, kecemasan dan gangguan kepribadian serta disabilitas sensorik  yakni mereka yang tunanetra, tunawicara, tunarungu adalah sasaran empuk predator.  Predator adalah mereka yang memanfaatkan kedisabilitasan korban untuk memuluskan aksinya melakukan tindak pelecehan seksual.
Anak disabilitas dengan hambatan mental dan intelektual secara kasat mata, fisik tubuh mereka tumbuh sesuai usia kalender, namun tidak diikuti dengan perkembangan usia mental.  Fungsi pikir, emosi dan perilaku mereka terganggu, meski perkembangan tubuh normal.  Satu kasus anak perempuan dengan diagnosa autisme usia 16 tahun yang  memiliki fisik gadis remaja usia 16 tahun, namun usia mentalnya setara usia anak 8 tahun. Â
Anak dengan hambatan sensorik seperti tunanetra, tunarungu dan tunawicara memiliki keterbatasan, karena tidak dapat melihat dan mendengar, sehingga refleks perlindungan diri terhambat.
Tanpa kita sadari kaum predator justru ada di sekeliling kita, bahkan para wali yakni orang atau badan yang kita beri kepercayaan penuh atas pengasuhan anak kita. Â Mereka bisa saja memakai topeng pengasuh, pendidik, keluarga inti, keluarga besar, tetangga, sekolah dan lingkungan sekitar. Â Nurani dan akal budi mati melihat kemolekan anak disabilitas dan mereka mengetahui bahwa anak disabilitas terutama dengan hambatan mental, intelektual dan sensorik amat sulit berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan mereka. Â Predator biasanya melakukan aksinya dengan iming-iming, janji manis bahkan ancaman.