Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melewati Deru Prahara (I)

6 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 9 Oktober 2022   06:42 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melewati deru prahara | sumber foto: pxhere

Foto mereka, George dan Febi, masih berdiri dengan manis di atas meja. Keduanya tertawa bahagia di bawah pohon cemara di halaman kampus Febi.

Di bawah foto itu, di dalam sebuah bingkai berwarna keemasan yang manis, tertera sebaris kalimat yang mereka ukir dengan tinta emas. Bunyinya: George dan Febi, pasangan abadi yang punya endless love.

Febi tersenyum getir. Dipandanginya sekali lagi tubuh cowok jangkung berkulit putih yang merangkulnya dengan mesra dalam foto itu.

Ditatapnya mata biru yang selalu bersinar ceria, sepasang telaga bening yang pernah membuatnya begitu nyaman berenang-renang di sana.

Ditatapnya rambut ikal berwarna keemasan yang selalu berkilauan ditimpa cahaya matahari. Ditatapnya hidung mancung yang sangat disukainya, senyum tulus yang mampu menggetarkan senar-senar paling halus dan tersembunyi jauh di dasar hatinya.

Ketulusan senyum itu serasa melambungkannya jauh ke sebuah benua tak bertuan yang bermandikan cahaya surgawi, ketika cowok itu membisikkan sebaris kalimat di telinganya: “kebahagiaan yang terbesar bagiku adalah saat-saat di mana aku merasa dapat membahagiakan kamu, Febi.”

Tidak ada rayuan atau kata-kata muluk berisikan sejuta janji pada awal musim bunga mereka. Tidak ada kalimat-kalimat usang yang selalu disitir anak-anak muda yang sedang dimabuk asmara.

Baca juga: Angelia

Ya! George tidak pernah berkata: I love you, Febi; atau: You’re everything to me; atau: I can not live without you, Febi.

Tetapi, apakah kata-kata seperti itu lebih berarti dari apa yang diberikan George selama ini? Tentu saja tidak!

Baca juga: [RTC] Rahasia Ayah

Kalimat-kalimat klise itu, siapa pun dapat menirukan dan mengucapkannya dengan amat mudah. Tetapi yang setiap saat siap membuat Febi bahagia, yang setiap saat siap melindunginya, menghiburnya jika ia berduka, memperhatikan setiap keperluannya sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya, yang bersedia mendengarkan mimpi-mimpi indahnya dengan setia?

Ah, barangkali cuma ada satu orang di dunia ini. Dan Febi tahu benar, orang itu adalah George!

Rasanya luas langit dan dalam lautan pun tidak cukup untuk mengimbangi cinta George kepada Febi. Setahun lamanya mereka berjuang bersama membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua dunia.

Betapa banyak air mata yang terkuras, luka hati yang terpatri, dan doa-doa yang terucap pada awal perjuangan mereka. Hanya dengan modal kasih, ketabahan, dan kesetiaan, mereka berjuang bersama meyakinkan orangtua George dan orangtua Febi yang semula menentang hubungan mereka.

Masih hangat dalam ingatan Febi, bagaimana mereka berpelukan dalam luapan kebahagiaan ketika orangtua mereka akhirnya mengerti dan menyetujui hubungan mereka. Saat itu, untuk pertama kalinya, ia melihat George meneteskan air mata.

“Kau bahagia, Febi?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku … masih perlukah kamu tanyakan itu?” Febi meletakkan kepala ke dada George yang bidang.

George merangkulnya, membelai-belai rambutnya dengan lembut.

Febi menikmati setiap getaran yang tercipta. Menikmati sejuta kebahagiaan yang hanya dapat terungkap dalam tatap mata George, dalam belaiannya yang penuh kasih.

Saat itu, Febi baru menyadari bahwa ada kasih yang begitu lembut, begitu tulus, begitu murni, begitu indah. Febi tahu, kasih itu tak berkesudahan, tak akan habis terucapkan.

“George,” bisiknya dengan wajah tengadah.

“Hm?” George menatapnya. Dalam sepasang mata yang mirip telaga yang teduh itu, Febi membaca sebaris kalimat: “Ada apa, Sayang?”

“Kau … bahagia?”

George mengecup keningnya, lembut sekali. “Sebenarnya, tanpa kukatakan pun, kamu sudah mengerti. Betapa besarnya keinginanku untuk membuatmu bahagia. Kebahagiaan yang terbesar bagiku adalah detik-detik di mana aku merasa dapat membahagiakan kamu, Febi.”

Hari-hari selanjutnya dalam hidup Febi adalah musim bunga yang indah. George begitu pandai mengukir kenangan dalam setiap lembar kitab kehidupannya. Setiap warna yang disapukannya ke atas lembaran itu, selalu mampu membuat Febi tersenyum bahagia di wajahnya, di hatinya.

Febi menghela nafas dalam-dalam. Detik-detik bersama George serasa bergulir dengan cepat.

Empat tahun sudah mereka lalui. Empat tahun bergandengan tangan meniti sebuah jembatan yang mereka bangun bersama. Empat tahun berbagi tawa dan air mata.

Kini, haruskah semua itu dibiarkan terenggut oleh sebuah petaka? Haruskah? Akan mampukah mereka, George dan Febi, merelakan kebahagiaan yang diperjuangkan dan dibina bertahun-tahun, menguap begitu saja?

Bersambung ke:

Melewati Deru Prahara (II)

Melewati Deru Prahara (III)

Melewati Deru Prahara (IV - Tamat)

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 159, 18 April 1985

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun