Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angelia

30 Maret 2022   06:00 Diperbarui: 3 Oktober 2022   06:06 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angelia | Desain oleh Yoanna Yudith

Aku ingin menangis mendengar kata-kata mama saat itu. Aku tahu, mama hanya menghiburku.

Namun, aku turuti juga kata-kata mama. Kupikir, kalau Bram memang benar-benar ingin bersahabat denganku, ia tentu tidak peduli apakah aku secantik tuan puteri atau sejelek nenek sihir.

Tetapi apa yang terjadi? Bram memang tidak menyatakan kekecewaannya. Hanya ia semakin terlambat membalas surat-suratku. Lalu, ia memutuskan persahabatan sama sekali.

Bukan main! Ini sebuah penghinaan bagiku! Sejak itu, aku semakin menutup diri.

Kadang-kadang aku menyesali nasibku. Kenapa aku tidak mewarisi kecantikan wajah mama atau ketampanan wajah papa? Kenapa? Aku bahkan pernah merasa curiga, jangan-jangan aku cuma anak angkat mereka.

Aku pernah mengatakan hal ini kepada mama yang tentu saja sangat terkejut saat mendengarnya. Aku tak pernah lupa ekspresi wajah mama saat kuutarakan kecurigaan tersebut.

Saat itu, aku menyesal sejadi-jadinya. Betapa tidak tahu dirinya aku.

Hanya karena aku merasa risih dengan wajahku yang jelek, aku tega mengucapkan pertanyaan dan kata-kata yang membuat mama sedih. Aku tega meragukan kenyataan bahwa aku pernah hidup sembilan bulan dalam rahimnya.

Mama memang perempuan yang bijaksana. Mama selalu mengerti perasaanku. Selalu.

Meskipun aku sering tanpa sengaja menyakiti hati mama, ia tidak pernah marah. Seperti saat itu. Ia hanya tersenyum lembut dan bertanya, "Mengapa kamu ragu, sayang? Kalau bukan anak kandung mama dan papa, tentu kamu tidak dapat mewarisi kelembutan hati mama dan semangat serta kecemerlangan otak papa."

Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika mama melanjutkan, "Yakinlah, papa dan mama justru sangat bangga kepadamu. Kelembutan hatimu, semangatmu, itu lebih berarti, sayang, jauh lebih berarti dari sekadar kecantikan wajah yang cepat pudar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun