Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tiga Cara Meringankan Derita Orang Sakit Jiwa yang Dipasung di Kampung-kampung

6 Desember 2021   10:14 Diperbarui: 6 Desember 2021   10:19 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang dipasung - Kompas/Markus Makur

Pengalaman bertugas di sebuah pulau di luar Jawa membuat mataku terbuka akan kenyataan pahit. Di kampung-kampung, masih ada penderita sakit jiwa yang dipasung. 

Menurut data Human Right Watch, di Indonesia diperkirakan ada sekitar 57 ribu orang yang dipasung karena stigma sosial. Jumlah pasti sulit didapat karena sulitnya akses ke pelosok Nusantara ini. Belum lagi, ada kelompok warga dan keluarga yang sengaja menyembunyikan pasungan dari pantauan orang luar. 

Bagaimana edukasi agar penderita sakit jiwa tak lagi dipasung di kampung-kampung pelosok Nusantara? Inilah kisah nyataku dan langkah yang bisa kita lakukan.

Kakak-beradik penderita sakit jiwa

Tono dan Tini, sebut saja demikian, adalah kakak-beradik penderita gangguan sakit jiwa. Usia mereka sekitar 35-40 tahun. Sehari-hari mereka dirawat oleh ayah mereka yang sudah lama menduda. 

Tono sebenarnya sempat menjalani hidup normal sebagai petani gurem. Akan tetapi, suatu hari dia tiba-tiba mengamuk. Dua warga kampung dilukainya sehingga warga memutuskan untuk memasung Tono. Menyusul kakaknya, Tini, yang sudah lama dipasung karena suka mengganggu ketenteraman kampung.

Stigma kutukan

Tono dan Tini adalah anak kedua dan ketiga dari empat bersaudara. Satu saudara mereka, sebut saja Tondo, sudah meninggal saat lepas dari pasungan dan tenggelam di sungai beberapa tahun silam.

Hanya adik bungsu, sebut saja Sari, yang sehat. Sari bekerja sebagai guru di kampung lain. Masyarakat kampung setempat menganggap, si Sari selamat dari kutukan karena dia tinggal di kampung lain. 

Seandainya Sari tetap tinggal di kampung, dia pasti juga akan jadi gila dan pasti akan dipasung juga seperti tiga saudara kandungnya. 

Konon ada kutukan yang menimpa keluarga sederhana ini. Mungkin karena leluhur mereka ada yang melanggar suatu aturan adat di masa silam.

Langkah mengedukasi warga

Ketika aku bertugas di kampung itu selama setahun, aku berusaha mendidik warga akan konsep sakit jiwa dalam pandangan ilmu kesehatan modern. 

Harus diakui, mengubah pandangan "mistis" masyarakat pelosok Nusantara bukan hal mudah. Masyarakat kampung itu, terutama generasi tua, lebih menghargai adat dan pendapat tetua kampung alih-alih memahami ilmu kesehatan. 

"Kutukan" bisa aku jelaskan sebagai penyakit jiwa yang memang sebagian disebabkan faktor genetis atau keturunan. Tidak ada kaitan antara kutukan dengan sakit jiwa. 

Selamatnya satu anak dari sakit jiwa kemungkinan karena memang dia tidak mewarisi gen penyebab sakit mental yang diidap saudara-saudari kandungnya. 

Untuk melakukan edukasi ini, kerjasama antara pemuka agama, petugas kesehatan, dan tetua adat perlu dijalin erat. Warga akan mau mendengarkan jika penjelasan disampaikan secara kolaboratif, terutama dari tokoh-tokoh masyarakat setempat. 

Pengucilan dan penghinaan terhadap keluarga pasien atau Orang dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ) oleh masyarakat harus segera dihentikan. 

Langkah kedua, mengupayakan terapi medis dan pemenuhan kebutuhan dasar

Langkah kedua adalah mengupayakan terapi medis bagi pasien penderita gangguan kejiwaan. Ini tantangan di pelosok Indonesia. Sarana kesehatan berupa RS Jiwa sangat sulit diakses warga pedalaman. 

Langkah terapi yang bisa dilakukan adalah dengan merawat dulu luka-luka fisik akibat pasungan. Setidaknya "pasungan" bisa dibuat lebih manusiawi, dengan mengurangi ikatan yang membuat lecet dan membahayakan ODGJ. 

Pasungan untuk kakak-beradik itu sebenarnya sudah cukup lumayan. Mereka tidak diikat atau dijepit anggota tubuhnya, "hanya" dikurung bak dalam penjara. 

Kekurangan ada pada sanitasi dan kebersihan serta mutu makanan. Ini juga tantangan besar karena keluarga pasien sungguh kalangan bawah, dan pada saat itu belum punya akses layanan kesehatan apa pun. 

Kerjasama dengan perangkat desa dan tenaga kesehatan setempat perlu dijalin agar keluarga dan pasien mendapat akses bantuan sosial dan layanan kesehatan dasar. 

Jika Anda ingin berbuat sesuatu, silakan survei lingkungan di sekitar Anda untuk mendapatkan informasi adanya orang yang dipasung. Berikan bantuan yang sesuai kebutuhan mereka. Bisa berupa sembako dan atau hal lain. 

Merujuk pasien ke RSJ terdekat memang sulit. Mungkin solusi terbaik melaporkan serinci mungkin kondisi orang pasungan ke otoritas kesehatan di kecamatan, kabupaten, dan provinsi. 

Solusi untuk melepaskan total dari pasungan memang tidak mudah karena terapi kadang mengandaikan ada obat-obatan tertentu dan pendampingan intensif, yang sulit didapat di kampung pedalaman. Setidaknya, rumah dan ruang pasung dibuat lebih nyaman dan perlakuan pada pasien lebih manusiawi.

Jika ada perhatian dari pejabat dan layanan kesehatan, sebenarnya pasien ini bisa dirawat di RSJ atau panti sosial yang sesuai. Akan tetapi, biasanya keluarga pasien di kampung juga keberatan jika harus berpisah jauh dari pasien yang akan dirawat di kota. 

Langkah ketiga, pembinaan spiritual keagamaan

Bagaimanapun, warga kampung dan keluarga pasien ODGJ perlu terus dibina dalam hal spiritual keagamaan. Stigma-stigma yang tidak tepat bisa dikikis dengan pembinaan kerohanian yang komunikatif dan menghargai kearifan lokal.

Kunjungan rutin pemuka agama ke rumah pasien OGDJ dan disabilitas mental setidaknya bisa memberikan pengharapan dan sapaan manusiawi pada mereka. 

Salam peduli. Ditulis seorang kontributor untuk Inspirasiana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun