Titik inilah membuat Ayu bisa menarik kesimpulan, bahwa tarian ini ada untuk mematahkan stigma-stigma negatif yang leluasa menjalar di berbagai kalangan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Tari Bedhaya merupakan tarian klasik  yang penarinya merupakan perempuan dari Keraton Yogyakarta maupun Surakarta. Tarian tersebut bersifat sakral dan mempunyai aturan (pakem ) tertentu  baik dalam lingkup siapa yang boleh menarikan dan ditarikan pada peristiwa tertentu (Inawati,2014,h.198).
Menilik dari hal tersebut, Tari Bedhaya Banyu Ning Segara menyuguhkan sesuatu hal yang berbeda. Sang pencipta karya berani memodifikasi dan melampaui gerakan-gerakan yang bersifat pakem. Tarian tersebut bisa ditarikan dimana saja terlebih tanpa iringan musik.
Tantangan ada para penubuh yang menyelaraskan gerak dan menggunakan insting untuk bekerja sama satu sama lain dalam menyeragamkan gerak.  Lewat tarian ini, merupakan suatu dinamika untuk  berusaha menggali dan mengenali diri sendiri.  Sang pencipta karya berkata bahwa tarian tersebut sudah beberapa kali ditarikan di pinggir jalan sudut kota Yogyakarta.Â
Â
Mengapa Bedhaya Banyu Ning Segara?
Â
Tarian tersebut berkisah tentang doa para perempuan untuk bumi yang mereka pijak. Biasanya, tarian ini ditarikan oleh Sembilan orang yang melambangkan arah mata angin serta Sembilan lubang pada tubuh manusia. Perempuan  diartikan seperti air yang mempunyai kekuatan dan kedudukan mulia, sejajar, sebagai pendorong di depan ataupun di belakang.Â
Tari Bedhaya Banyu Ning Segara merefleksikan tentang nilai asal muasal kita sebagai manusia, siklus kehidupan yang diibaratkan muaranya adalah lautan luas.Â
Aliran lubang di tubuh manusia  dan semuanya dialiri oleh air yang menejukkan namun juga bisa merusak. Saling tarik-menarik dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.