Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Mencatatkan Sejarah?

8 Agustus 2021   08:17 Diperbarui: 8 Agustus 2021   08:51 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis, foto oleh Suzy Hazelwood dari Pexels


"Bila masa depan adalah misteri, setidaknya kita dapat menuliskan harapan dan mimpi untuknya di masa kini."

Pernahkah terlintas di masa lalu, saat ini kita dapat mendengarkan musik dari platform berbayar? Mengerjakan tugas sekolah dan menuntaskan pekerjaan dari layar genggam. Hingga memesan makanan, dan meminta tenaga kebersihan dengan aplikasi online.

Pernahkah kita berpikir, kemana perginya disket, kaset dan piringan hitam? Apakah ada di toko barang antik, gudang, atau kotak kenangan?

Teknologi semakin berkembang dan tools cepat berganti. Namun, satu hal yang tak pernah berubah, yakni tulisan.

Huruf dan angka masih dipergunakan, dalam bentuk cetak maupun digital. Tulisan tidak pernah tergantikan.

Kenapa tulisan masih bertahan padahal manusia modern cenderung menikmati tontonan? Rekaman video dan musik berganti platform. Begitupun buku-buku, jurnal, berita, instruksi dan komersial.

Menulis tak pernah ketinggalan zaman

Pada abad 31 SM atau sekitar 3000 tahun lalu, bangsa Sumeria telah mengembangkan aksara paku untuk mulai menulis. Berbeda dengan hieroglif di Mesir kuno yang menggunakan simbol-simbol. Tulisan paku dapat bertahan dan digunakan hingga awal abad 1 M.

Pada perkembangan selanjutnya dikenal aksara dari berbagai peradaban di belahan dunia lain, termasuk di Nusantara. Sebutlah aksara Pallawa, Sunda Kuna, Kawi, Rencong, Had Lampung dan lain-lain.

Konon, bukti tertulis berperan penting dalam mengungkap pola hidup masyarakat pada peradaban masa lampau. Tata nilai, budaya, penemuan dan teknologi di masa kini, terekam dalam prasasti, kitab, jurnal, dan sirah.

"Aksara bukan sekadar identitas. Lebih dari itu, ia adalah penerang jalan bagi ilmu pengetahuan."

Penggunaan aksara tak pernah ketinggalan zaman. Penulis-penulis termasyhur lahir dari kegemarannya merangkai aksara, berbagi inspirasi, dan merekam sudut-sudut peradaban pada masa mereka berada.

Pada masa kini, aksara dirangkai, terkadang sekadar untuk menceritakan tentang kehidupan sehari-hari. Sebagai media hiburan dan pengetahuan, dan dampaknya mungkin tidak instan.

Namun, kelak seluruh aksara yang dirangkai akan dapat diwariskan. Bermanfaat atau tidak, nilainya ada pada generasi mendatang.

Menulis adalah kebutuhan

Tome Pires pada abad ke-15 mencatat seluruh aktivitas penjelajahan dalam buku Suma Oriental. Catatan yang pada masa kini bermanfaat untuk mengetahui kondisi dan situasi Nusantara pada masa lampau.

Bila Tome Pires menulis untuk keperluan laporan, lain halnya dengan Bujangga Manik pada abad yang sama. Ia adalah Resi keturunan raja yang melakukan perjalanan Jawa - Bali.

Denyut kehidupan pada masa lampau di pulau Jawa diceritakan dengan gaya sastra memikat. Nama-nama tempat dan wilayah dilukiskan dalam syair berima.

Dikutip dari Wikipedia, naskah Bujangga Manik saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977: 181).

Di masa kini, menulis merupakan sarana menuangkan ekspresi. Baik yang bernilai komersial maupun sekadar katarsis.

Kebutuhan untuk menulis dirasa penting bagi jiwa-jiwa merdeka. Kecuali untuk mereka yang membiarkan kenangan dan momen berharga menguap di kepala.

Menulis mencatatkan sejarah

Henry David Thoreau, mungkin tidak pernah menyangka bahwa buku yang ditulisnya mampu memberi inspirasi bagi tokoh yang lahir setelah ia tiada. Sebutlah Ernest Hemingway, Mahatma Gandhi, dan John F. Kennedy.

Padahal pada tahun 1854, buku berjudul "Walden; or, Life in the Woods" hanya terjual sebanyak 2000 cetakan (Sumber: Wikipedia).

Buku tersebut berisi pengalaman hidupnya selama dua tahun. Rekaman dari kenyataan yang dialami, serta gagasan seputar tatanan kehidupan.

Pada masa hidupnya, mungkin tulisan Thoreau dianggap kurang menarik. Namun ternyata berdampak besar pada masa-masa setelahnya.

Kita tak pernah tahu siapa yang akan membaca tulisan kita. Namun, setidaknya kita sudah mencurahkan sebuah tanda di alur masa kehidupan dengan menulis.

Bila pada masa lalu seorang raja atau sultan mempekerjakan juru tulis untuk menyusun seluruh peristiwa dan kejayaan kerajaan. Maka pada saat ini semua orang dapat menjadi bagian dari sejarah hanya dengan menulis.

Selamat mencoba dan selamat senantiasa tetap menulis. Mencatatkan sejarah dan siapa tahu kelak bahkan tercatat sebagai sejarah.

Dituliskan oleh Dian Albatami untuk Inspirasiana.

Rujukan: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun